3.1

18 0 0
                                    

5 - Pertemuan yang Tertunda

Hiruk pikuk suasana pagi itu, tepat di hari Selasa terasa begitu menyesakkan Kota Serang. Rupanya hujan lebat yang mengguyur kota itu sejak dini hari hingga waktu subuh tadi, tak menyurutkan niat mereka untuk memenuhi Stadion Maulana Yusuf. Para peserta acara tahunan yakni pawai penyambutan lomba MTQ tingkat provinsi yang selalu diadakan Bulan November serta pembimbing dan rekan-rekannya sudah berkumpul sejak pukul u setengah delapan meski rintik-rintik hujan masih setia membasahi Kota Serang.

Laki-laki berparas tampan dengan kulit agak kecokelatan itu menjauh dari kerumunan. Dengan mengenakan rompi khas sekolahnya, ia berjalanan menyusuri pinggir lapangan. Tak luput pula, di lehernya tergantung kamera yang selalu ia bawa. Raksa melempar pandangannya ke seluruh penjuru Stadion Maulana Yusuf. Lalu, mengangkat kameranya, mengatur fokus lensanya seraya menyeringai.

“I got it!” gumam Raksa sesaat setelah objek itu terpatri dalam kamera.

Kalau dipikir-pikir, sejujurnya laki-laki itu tidaklah termasuk ke dalam tim ataupun pembimbing dari Marching Band sekolahnya yakni Gita Trione. Namun, hanya saja, sekolahnya yang sekarang mengosongkan jam belajar mengajar tiap kali acara tahunan diadakan. Sehingga, Raksa dapat leluasa menyusup ke barisan peserta pawai. Yap, tentunya dengan bantuan Dito yang merupakan tim inti Marching Band sekolahnya tahun lalu.

“Rak!” sapa laki-laki bertubuh besar dari kejauhan.

Raksa mengalihkan pandangannya. “Ada apa?”

“Nggak! Manggil doang, sih, Rak!” Cengiran khas Dito terbit begitu saja setelah mengatakan hal tersebut.

Laki-laki itu kembali membiarkan kameranya menggantung di lehernya. Dia mendengus. “Sumpah, penting banget ya, Dit!”

“Si Wahid nggak ke sini?” tanya Raksa begitu menyadari teman sohibnya yang satu itu tak ditemukan batang hidungnya.

“Anjir! Ya kali, gue bawa dia ke sini. Bisa gempar dunia kalau dia di sini karena sibuk nyari makan,” sahut Dito dengan nada berlebihan.

Raksa tertawa membayangkan bagaimana sohibnya itu tengah marah-marah karena tidak diizinkan mengikuti pawai ini. Bahkan membayangkan Wahid berada di sini, mampu membuat Raksa tergelitik. Dia tahu, apa itu ‘mencari makan’ yang dimaksud Dito. Ya, tidak lama setelahnya, pastilah kota ini gempar dengan berita yang dibawa oleh si nomer satu.

“Parah lo, Dit,” celetuk Raksa masih dengan sisa tawanya.

Dito hanya tertawa, menganggap tak acuh apa yang dilontarkan temannya. Kini, ada yang lebih menarik perhatiannya. Ada sesuatu, katanya saat itu dalam hati.

Laki-laki bertubuh besar dengan kulit putih itu mengangkat satu alisnya seraya bertanya, “lo ngapain?”

“Ya, dari tadi gue ngobrol sama lo, ‘kan, Dit?” Raksa mengangkat kameranya dan kembali memfokuskan lensa kameranya pada suatu objek.

“Anjir! Lo tahu bukan itu maksud gue, Rak....”

Sekarang, gantian Raksa yang mengangkat satu alisnya, memandang Dito bingung.

“Dari tadi lo ngapain di sini?” tanya Raksa dengan penuh penekanan pada setiap kata.

Kali ini Raksa benar-benar menurunkan kameranya, membiarkannya kembali menggangtung di lehernya secara bebas. Dia menatap Dito sekilas, lalu melemparkan pandangannya pada barisan peserta pawai. “Apa maksud lo?”

“Gue dari tadi di sini ngobrol sama lo, Dito gembul...,” Raksa menjeda perkataannya, “dan juga lagi nyari objek menarik buat bahan kerjaan gue.”

“Objek menarik?” ulang Dito dengan rasa penasaran yang semakin tinggi.

Raksa mengangguk, lalu melangkahkan kakinya menjauh, meninggalkan Dito dengan rasa penasaran itu sendirian. Dalam hatinya, ia mati-matian untuk menahan agar kalimat ‘itu’ tidak terlontar. Maka untuk mempermudah rencananya, meninggalkan satu orang yang mungkin saja menjadi penghambat atau bahkan penghancur rencananya adalah pilihan yang terbaik.

DenaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang