2 – Dunia yang Berbeda
Kalau kalian bilang berada di tengah keramaian itu menyenangkan, maka laki-laki bermata hitam gelap itu akan menolak mentah-mentah pernyataan tersebut. Kalau kalian bilang warna cerah yang mengelilingi hidupmu itu membuat duniamu lebih berwarna, maka laki-laki itu lagi-lagi menyanggah penyataan tersebut. Kalau kalian bilang dunia akan mencapai kedamaian yang abadi apabila ruang lingkupmu dilimpahi oleh cinta, maka laki-laki itu akan mengatakan bahwa semuanya omong kosong.
Hidup berwarna dengan penuh cinta memang dunia yang paling didambakan oleh sejuta umat di dunia. Namun tidak bagi laki-laki yang tengah menerawang langit-langit yang dihiasi dengan kerlap-kerlip bintang. Baginya, semua itu hanyalah khayalan. Coba perhatikan, di balik cerahnya langit yang kau pandang tentu ada awan tebal yang ditutupinya. Seolah hanya kebahagian yang terlihat dari sampulnya. Dan dia terlalu bosan hidup di dunia yang seperti itu.
Menurutnya, cinta hanyalah sebuah jalur temu yang tak sengaja dilalui oleh dua hati. Kalau saja cinta itu abadi, maka ia pun yakin takkan pernah ada tangis perpisahan di akhir sebuah cerita cinta. Kalau saja cinta bukanlah omong kosong, maka tak perlu banyak kata yang harus diungkapkan untuk menjelaskan sebesar apa rasa itu. Kalau saja cinta....
Laki-laki bernama Raksa itu mengacak rambutnya kasar. Entah mengapa ia harus kembali merasakan perasaan se-cheesy itu. Namun, punya kuasa apa dia untuk dapat mengendalikan rasa? Kau tahu, rasa tak pernah mampu untuk diatur bahkan setinggi apapun jabatan yang kau miliki. Sungguh, telah ia kerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membendung rasa itu. Bukan menolak sifat manusiawi, melainkan ia takut jatuh seperti kejadian lalu. Bukan dia memang. Hanya saja itu semua meninggalkan bekas yang tak dapat dihilangkan.
Kini, tampaknya ponsel terlihat lebih menarik dari gemerlap bintang di langit malam. Kalau biasanya, dia akan segera mengambil kamera di nakas kamarnya dan memotret objek yang selalu memikat hatinya itu—oke, rasanya bukan sekali dua kali saja objek itu berhasil menarik hatinya, melainkan sudah banyak foto-foto dengan objek yang sama, keindahan langit malam di satu folder khusus laptopnya. Kali ini yang ia lakukan justru menatap ponselnya yang menampilkan chatroom antara Raksa dengan seorang gadis yang entah kenapa telah berhasil membuatnya tertarik untuk tidak 'kembali' mengirimkan pesan LINE lagi.
Tolong sadarkan Raksa bahwa dalam catatan sejarah hidupnya selama tujuhbelas tahun, tak pernah sekalipun ia berniat untuk memulai obrolan dengan gadis manapun kecuali benar-benar dalam kondisi gawat darurat—penting. Dia ... Raksa yang sekarang terjebak dalam sebuah ruang lingkup yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Laki-laki itu tertawa singkat saat merasakan ponselnya bergetar dan menampilkan pesan baru dari gadis yang ditunggunya.
De : Gatau. Ngaku aja susah amat sih.
De : Kayak nama lo itu mahal banget gitu ya sampai sok misterius. Najisun tahu nggak?!
Raksa buru-buru mengetikkan beberapa kata dan dikirimnya dengan cepat. Dia tidak ingin menunggu pesan balasan itu lama lagi seperti beberapa saat lalu ketika ia satu jam lebih mendiamkan pesan dari gadis bernama De tersebut.
Bukan mendiamkan, sih. Tapi memang timing-nya kurang tepat karena saat itu keluarganya tengah diundang makan malam di rumah tetangganya—sepupunya mungkin lebih tepat. Dan seolah balas dendam, gadis itu pun mendiamkan pesannya lebih dari dua jam. Baiklah, tolong ingatkan pada laki-laki itu bahwa kini jam telah menunjukkan pukul duabelas lebih duapuluh menit. Oke, bahkan ini sudah tergolong pagi.
Sa. : Et? Masih hidup nih bocah. Tidur nak udah malam.
Sa. : Eh, pagi deng.

KAMU SEDANG MEMBACA
Denara
Teen Fiction-November 2016- Ini hanyalah sepenggal kisah tentang rasa yang menyusup dalam keheningan. Tentang rasa yang pernah menggetarkan lalu redup. Ini hanyalah sepenggal kisah milik Sang Hujan di Bulan November yang menunjukkan pada kita bagaimana caranya...