2.2

28 1 0
                                    

4 – Alasan yang Tak Terungkap

Raksa melihatnya. Gadis dengan wajah super jutek yang menyapanya beberapa minggu lalu itu kini ada di hadapannya. Tidak tepat di depannya memang. Hanya saja tak ada lagi jarak dan ruang yang cukup jauh untuk memandangnya. Entah kenapa hatinya ikut menghangat kala melihat tingkah laku gadis itu yang menurutnya terbilang agak menyebalkan. Ini aneh! Dia yakin ada kesalahan pada sistem di tubuhnya.

Perlahan senyuman di wajahnya mengembang. Kamera yang tadi sempat ia turunkan, kini kembali ia angkat pelan-pelan. Tangan kirinya sibuk mengatur fokus objeknya sementara tangan kanannya menopang benda yang setia dibawanya ke mana pun ia pergi dan siap untuk membidiknya. Dia baru saja mendapat kepuasan saat objek yang ingin ia raih dengan lensanya itu berada di titik paling terindah yang berhasil ia temukan tepat ketika sesuatu, oh mungkin seseorang mengganggu fokus yang telah ia dapatkan.

Raksa mengalihkan pandangannya dari kamera yang digenggamnya. Menatap sengit seseorang yang mengganggu titik fokusnya. Matanya menelisik, meneliti dengan seksama apa dan siapa pengganggu itu. Keningnya berkerut samar. Rintikan hujan di luar toko tempatnya berdiri begitu deras, membuat pandangannya agaknya menjadi buram. Dia menggosok kedua mata, berharap setidaknya pandangannya menjadi sedikit jelas. Ya, setidaknya begitu setelah matanya benar-benar mendapatkan si perusak titik fokusnya.

Hembusan napas berat keluar begitu saja selaras dengan kamera yang terlepas dari genggamannya—teronggok dan menggantung pada lehernya. Dia melipat kedua tangannya. Pelan-pelan ada rasa aneh yang muncul ke permukaan hatinya. Namun, kali ini rasa aneh itu berbeda. Rasa aneh yang tidak lagi membuat hatinya menghangat. Rasa aneh yang bahkan kalau bisa dia pilih tidak ingin ia rasakan.

Dia masih menatap kedua objek itu. Melihat tawa milik gadis itu mampu membuat darahnya berdesir. Membuatnya bahagia sekaligus sesak yang sedikit demi sedikit memenuhi rongga dadanya. Dia yakin bukan karena itu. Bukan karena rasa yang kalian kira itu benar adanya. Namun, tampaknya dia tak dapat menyangkal semua perkiraan kalian. Dan lambat laun, tanpa ia sadari, dia membenarkan semua.

Ragu-ragu, Raksa kembali mengangkat kameranya. Memandang objek itu dari lensa kesayangan. Sementara jari telunjuknya masih menggantung di udara seakan tak rela menekan tombol yang 'kan mematri dua objek itu di kamera. Pandangannya seketika buyar sesaat kala berbagai kemungkinan bercamuk di otaknya. Saling bergulat. Mempertahankan egonya masing-masing.

Lagi, hembusan napas itu keluar untuk kesekian kalinya. Dia mendesah keras-keras lalu mengusap wajahnya kasar. Langkahnya itu lalu membawanya pergi. Meninggalkan objek yang sedari tadi menjadi fokusnya.

oOo

Deana mendongakkan kepala, menatap langit malam yang kelabu. Hari ini tampaknya bintang dan bulan telah bersepakat untuk tidak menampakkan dirinya. Gelapnya langit malam pun kini terasa begitu menyedihkan tanpa ada penghias serta pemanis yang biasa melengkapinya. Mulut gadis itu bergerak cepat. Pupil mata berwarna cokelat gelap itu sibuk memindai sederet huruf yang berjejer rapi di layar ponselnya. Jemarinya lalu mengetikkan beberapa kata yang senada dengan pesan-pesan sebelumnya.

Kayaknya nggak bisa deh, Cuy....

Seusai mengetikkan kata-kata tersebut, hembusan napas berat terdengar jelas dari bibir mungil Deana. Dia kembali melemparkan pandangan ke langit yang kelabu. Secepat ponselnya yang bergetar lagi, secepat itu pula ingatan akan kejadian seusai makan malam tadi kembali berputar. Perkataan bagai sambaran petir yang menggelegar di langit itu masih saja terngiang-ngiang di pikiran Deana. Dia mendesah.

"Gimana sekolah kamu, De?" tanya lelaki yang hampir menyentuh usia setengah abad yang duduk di kursi kebangsaan—ujung meja makan.

Deana menoleh sesaat lalu tersenyum setengah hati. "Biasa aja, Pa. Ya, masih sama kayak kemarin-kemarin."

DenaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang