Godzilla

395 28 0
                                    

Halo, Gilang! Kita bertemu lagi. Eh, tidak, ya? Ya, anggap saja kita sekarang sedang bertemu, lah. Jadi, kali ini, aku akan bernostalgia saat dulu kita satu kelompok saat MPLS.

Kamu ingat, kan, kalau dulu kita satu kelompok? Ingat dong, pasti.
***
Aku mungkin sok tahu. Tapi, kurasa kamu suka monster, deh. Aku ingat saat dulu, kita sedang diskusi kelompok. Saat itu, kita sedang  ribut menentukan tempat tinggal mana yang cocok untuk para penumpang pesawat yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Kamu, yang entah kenapa, tiba-tiba keukeuh ingin para penumpang untuk tinggal di atas pohon kelapa. Membangun rumah katamu. Agar mereka tidak dimakan oleh Godzilla yang kelaparan. Kamu tahu, Lang? Kamu itu; unik. Lucu. Aku suka itu. Di saat semua orang dengan bangganya mengelu-elukan para pahlawan super macam Superman dan Batman, kamu justru dengan senangnya mengidolakan monster seseram Godzilla. Itu, abnormal. Anti mainstream, kata orang.

“Jadi, kita bakal pilih tinggal di mana?” tanya Bayu, si ketua. Kalian tahu Bayu, kan? Cowok berkacamata yang dulu duduk di sampingku saat awal MPLS. Ya anggap saja kalian tahu.

“Terserah kalian gue mah. Bebas,” ucapku. Malas berpikir. Lagian, tugasku saat itu hanyalah menulis.

“Yeh, nggak boleh gitu dong. Kita semua tuh harus berkontribusi demi kelangsungan kelompok kita ini. Kita harus mengeluarkan segala kemampuan kita, agar bisa memecahkan masalah para penumpang ini.” Ucap kamu terlihat sungguh-sungguh.

Jeda sejenak.

“Anjay, udah  keren belum kata-kata gue?” Aku ingin tertawa saat itu, Gilang. Tapi, aku, yang saat itu sudah mengikrarkan diriku bahwa aku menyukaimu, hanya terdiam. Pura-pura tak peduli.

“Kalo kata gue, sih, mending mereka bangun gubuk gitu deh di pinggir pantai. Biar mereka bisa ngelihat kali aja kalo ada kapal lewat, mereka bisa langsung minta tolong.” Kini Gede yang menanggapi. Nah, kalau yang ini, aku yakin, kalian belum tahu, kan? Dia itu Gede. Cowok tinggi berbadan besar dan berkulit hitam. Tidak hitam sih, tapi kecoklatan. Ciri khas sekali orang Indonesia, hitam manis. Dia itu penggemar anime bertajuk hentai dan echi. Tahu, kan? Kalau tidak tahu, cari di internet apa itu hentai dan echi.

Ku lihat Bayu mengangguk-anggukan kepala saat itu. Terlihat bijaksana. Dia memang mempunyai bakat menjadi pemimpin yang baik, sepertinya. Tapi tetap, menurutku calon imam yang baik untukku nanti adalah kamu seorang. Yang omong-omong, menunjukkan reaksi yang berbeda dengan Bayu. Kamu terlihat menggelengkan kepalanya tidak setuju.

“Nggak, itu bahaya,” ucap kamu. Aku hanya memperhatikan.

“Bahaya apanya, sih, Lang?” Kini Rina bersuara. Satu-satunya cewek selain aku yang berada di kelompok ini.

Dengan wajah serius, kamu berkata dengan pelan dan tajam, “Nanti ada monster atau predator yang menyerang. Bahaya.”

Aku hanya menggeleng  sebagai reaksi. Sedangkan anggota yang lainnya mulai protes dan beradu argumen dengan kamu, Gilang. Sungguh, saat itu, aku hanya bisa menahan tawa mendengar setiap omonganmu, Gilang. Kamu itu, kreatif. Eh, imajinatif mungkin lebih cocok.

Dan, kamu ingat, kan, saat kamu akhirnya mengalah dan menuruti pendapat akhir kalau mereka tinggal di pinggir pantai? Ah, seharusnya kamu ingat. Dan, aku juga ingat, saat kamu dengan sangat amat terpaksa berdiri maju sebagai perwakilan kelompok untuk mengungkapkan pendapat kelompok kita.

“Jadi, di sini saya ingin mengungkapkan apa yang teman-teman saya telah perbincangkan tadi mengenai para penumpang pesawat yang dengan beruntungnya masih bisa selamat dan terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni.”

Semua peserta MPLS terlihat tertawa dengan pembukaan yang kamu buat. Apalagi melihat ekspresi kamu yang begitu beragam. Dan pengucapan kata demi kata yang terdengar begitu lancar tanpa jeda. Seolah kamu mengucapkannya tanpa bernapas.

“Kami sepakat, untuk membangun tempat tinggal di pinggir pantai. Agar jika nantinya ada kapal nelayan lewat, atau kapal milik siapapun, lah, intinya kapal ya.”

Terdengar tawa lagi.

“Oke, saya ulangi. Agar kapal yang lewat bisa melihat para penumpang dan menolong para penumpang tersebut.  Atau, para penumpang yang terdampar tersebut dapat meminta tolong pada kapal yang lewat dengan cara melambaikan tangan mereka. Jujur, sebenarnya saya kurang setuju dengan pendapat ini. Karena, saya pikir akan bahaya jika mereka tinggal di pinggir pantai tersebut. Karena, terdapat banyak ancaman yang akan muncul nantinya. Seperti, munculnya monster dan predator. Kita kan, tidak tahu pulau itu isinya hewan macam apa? Siapa tahu, di dalamnya ada Godzilla yang siap memakan mereka kapan saja. Atau, macan purba bertaring panjang yang bisa merobek kulit mereka dan memakannya.”

Lagi-lagi terdengar tawa yang menggema di ruang kelas tanpa meja dan kursi itu. Aku pun ikut tertawa saat itu, Lang. Kamu memang lucu. Ucapanmu seperti anak kecil, kurasa. Polos. Menggemaskan ketika melihat kamu menerangkan pendapat kamu.

Apalagi ketika kamu meraba kepalamu yang sudah berubah menjadi botak itu. Lucu.

“Kalau nggak setuju, kenapa kalian tetap memilih untuk membangun rumah di pinggir pantai?” tanya guru pembimbing.

Kamu terlihat mengedikkan bahumu, “ Ya, mau gimana lagi, Bu. Satu lawan empat. Ya saya kalah.”

Dan lagi-lagi, tawa terdengar begitu riuh saat kamu mengatakan jawaban itu.
***
Bagaimana? Sudah ingat? Jelaslah kamu ingat.

Oh iya, Lang. Asal kamu tahu saja, aku mengetik ini dengan posisi yang tidak nyaman. Berselonjor, tiduran, tengkurap bahkan. Tapi nggak papa, demi kamu, apa sih yang nggak?

Untuk Gilang [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang