[Cerpen] Nyatanya, manusia hanya bisa berencana.

9 3 0
                                    

Malam Sepi, Yura Yunita.
***

Hari ini menyenangkan. Aku dan Gilang baru saja berkencan. Tadi siang, setelah kita bertengkar selama dua Minggu, mengacuhkan semua pesanku, nggak menyapaku saat bertemu, akhirnya kita baikan. Dan, setelahnya, Gilang bilang dia menyukaiku. Sejak malam di saat kita sering mengobrol hingga lupa waktu, sejak dia sering marah karena aku terlalu sering mengobrol dengan Anto di kelas, sejak itu dia ternyata mulai menyukaiku.

Aku menerimanya, tentu saja. Aku pikir, aku juga menyukainya. Menyenangkan bicara dengannya. Mengobrol, bercanda, atau bahkan hanya mendengarkan ocehan dia mengenai betapa menyebalkannya Anto yang menurutku, bahkan biasa saja.

Rasanya menakjubkan. Tiba-tiba obrolanku dengan Gilang menjadi sedikit romantis. Dia mengirimiku emoji hati yang bergerak seperti berdetak. Dia juga mengirim emoji kecup yang berhasil buat aku malu karena sikapnya yang jadi begitu.

"Aku sayang kamu, Ra. Kayaknya, kalau kita nanti berpisah, aku bakal nangis karena nggak sanggup ditinggal kamu." Ucap Gilang, ketika kami baru genap berpacaran sebulan. Aku hanya tertawa, bagaimana Gilang bisa menangis jika dia sendiri lupa kapan terakhir menangis? Waktu itu memang sudah dekat dengan hari Ujian Nasional. Gilang jadi sering uring-uringan, dalam seminggu sering mengajakku pergi jalan-jalan. Katanya, untuk kenangan kalau nanti kami memang harus berpisah betulan.

Aku dan Gilang memang memiliki tujuan yang berbeda. Tujuanku ada di ibukota negera, sedangkan dia lebih jauh lagi, ke luar negeri. Mengembara, melihat bagaimana dunia luar bekerja. Dia harus tahu bagaimana Jepang sebelum nantinya akan mengajakku ke sana juga. Hidup berdua bersama selamanya, katanya.

"Jangan terlalu menyayangiku, Lang. Nanti kamu nggak bisa lepas." Kataku saat dia ragu untuk memilih pergi ke luar negeri. Katanya, dia belum mau berpisah denganku. Aku jawab dengan gurauan bahwa dia bahkan belum tentu bisa kuliah ke luar negeri betulan.

Aku menepuk bahu Gilang. Menyemangati, "Sudah, daripada sedih, kamu bersiap saja mendaftar universitas di sini. Atau, kamu mau ikut denganku? Satu kampus denganku?" Ucapku memberi saran. Gilang gagal kuliah di luar negeri. Entah aku harus bahagia karena itu berarti aku dan Gilang tidak jadi berpisah, atau harus sedih karena Gilang gagal.

Hari ini hari pertama aku kuliah. Jadi mahasiswa sebenarnya. Menyenangkan sekali. Sejak pagi Gilang sudah memberi pesan padaku, bilang semangat dan hati-hati di jalan nanti. Aku berhasil masuk universitas di Ibukota seperti yang aku ingin. Sedangkan Gilang, pada akhirnya kuliah di universitas tak jauh dari universitasku. Kita beda universitas. Jurusan yang Gilang inginkan belum ada di kampusku, jadi dia memilih kuliah di universitas lain.

Hari ini sudah seminggu aku dan Gilang nggak berkabar. Gilang sibuk. Dia mengenal banyak teman. Menyenangkan, katanya. Dua hari yang lalu Gilang juga pergi ke puncak dengan teman-temannya. Aku hanya diam, kesal karena Gilang nggak memberi waktu hanya sekedar berkabar.

"Kita sudah saja, ya, Lang." Ucapku akhirnya. Setelah menangis tengah malam, aku beranikan menghubungi Gilang yang sedang bermain game dengan teman-temannya. Sebenarnya aku ingin mengirim pesan. Tapi, untuk terakhir kalinya, aku hanya ingin mendengar suaranya saja. Setelah berminggu-minggu dia lebih memilih bermain dengan temannya tanpa memberiku kabar sama sekali, aku ingin egois untuk yang terakhir kali.

"Kenapa, Ra? Kamu udah nggak sayang sama aku, ya?" Tanya Gilang setelahnya. Aku tertawa sambil mengelap ingus bekas menangis tadi. Lihatlah, Gilang bahkan mempertanyakan rasa sayang yang aku sendiri bingung dia masih merasakannya atau tidak. Saat ini bahkan dia sibuk bermain dengan keyboard dan komputernya. Aku? Duduk menyender di atas kasur sambil mengelap sisa ingus bekas menangis memikirkannya.

"Aku sayang sama kamu, Lang. Terlalu sayang. Tapi kupikir, ini udah berlebihan. Aku jadi selalu menunggu kamu. Menunggu kabar dari kamu, mengharapkan perhatian kecil yang dulu kamu beri kepadaku. Sedangkan kamu? Ingat nggak kapan terakhir menghubungiku? Ingat nggak kapan terakhir kamu memarahiku karena lupa mengucapkan selamat tidur kepadamu? Ya ampun, Lang, bahkan sudah dua Minggu ucapan tidurku nggak kamu balas." Aku menangis lagi, kali ini sambil mengomeli Gilang yang hanya diam. Masih kudengar suara klik mouse gaming yang dia gunakan.

"Lang. Kamu nggak akan sakit hati, kamu nggak akan patah hati. Kamu bahkan mungkin nggak akan merasa kehilangan aku kali ini. Silakan lanjutkan game kamu. Bermainlah dengan teman-teman kamu. Maaf sudah mengganggu. Terima kasih, sudah menyayangiku."

Gilang diam, tak ada ucapan, tak ada tangisan seperti yang saat itu dia ucapkan ketika sebulan berpacaran. Lalu aku tutup panggilan dengannya. Kembali menangis tanpa suara. Menyakitkan sekali rasanya. Tapi aku lega. Mungkin memang, aku dan Gilang nggak seharusnya bersama. Tujuan kita sudah berbeda. Jalan yang kita pilih nggak sama. Aku belum cukup kuat untuk disayangi Gilang sepenuhnya, belum bisa mengikat hatinya, lalu menahan dia untuk nggak kemana-mana. Karena sejak dia bilang menyayangiku sampai tak mau kehilanganku, itu hanyalah bualan semata.

***
Ini cuma cerpen. sebenarnya, nggak ada hubungannya dengan cerita untuk, Gilang. Tapi, karena lagi-lagi aku menggunakan sosok Gilang, aku publish di sini. Ehe.

HRA.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Untuk Gilang [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang