Deby POV
Aku dimana? Tempat apa ini? Kelihatannya aku berada di balkon yang menyajikan pemandangan taman kerajaan yang luar biasa indah dan megah. Di pusat taman terdapat sebuah air mancur, karena pantulan cahaya sang mentari, airnya yang jernih bersinar bak berlian. Selain itu para-para yang dirambati oleh bunga mandevila berwarna ungu juga menarik perhatianku. Para-para tersebut menaungi jalan setapak menuju air mancur tadi. Di luar jalan setapak, beragam tanaman menghias dan menambah kesempurnaan taman ini. Secara keseluruhan dapat diketahui taman ini bukan taman sembarangan. Seseorang yang sangat hebat pasti merancangnya dengan sangat baik.
Tak hanya taman itu, dapat juga kulihat pemandangan kota dari sini. Bangunan-bangunannya yang mayoritas terbuat dari kayu tampak kuno dengan model antik.
Menurutku ini bukan di bumi. Tidak mungkin bumi yang sudah tereksploitasi hutan-hutannya, yang setiap kilometernya dipenuhi oleh puluhan, bahkan ratusan besi-besi berjalan, gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya bisa menjadi seindah, sehijau, dan semenakjubkan ini? Tempat ini bagaikan dunia lain. Dunia fantasi yang hanya ada di buku-buku novel.
Atau aku terlalu cepat mengambil keputusan? Tetapi memang melihat arsitekturnya... tidak biasa.
Lalu aku mengalihkan pandanganku ke balkon ini. Warna dindingnya putih bersih seakan baru saja dicat. Lantainya pun memantulkan cahaya bagai cermin, aku bahkan bisa melihat diriku sendiri dengan sangat jelas.
Aneh, pakaianku sangat anggun dengan renda-renda yang memanjang sampai ke lantai. Dan baru kusadari jika terdapat sebuah mahkota yang bertengger di kepalaku. Mahkota putih dengan berlian biru gelap, kurasa hampir sama seperti hope diamond (kuharap tidak membawa kutukan), tersemat di situ. Terlihat sangat cantik. Dan aku, ehm, terlihat lebih dewasa.
Aku mencoba untuk berputar, melihat sekeliling, namun tidak bisa. Tubuhku tidak menuruti apa kata pikiranku. Alhasil, aku pun menghabiskan waktu dengan menikmati keindahan taman tadi. Kalau diperhatikan, ternyata terdapat banyak hewan dan serangga yang berkeliaran, ikut menikmati keindahan taman tersebut.
"Yang mulia, ruang rapat sudah siap,"
Hah, seseorang mengucapkan bahasa yang belum pernah kudengar. Ketika aku menoleh, seorang wanita dengan pakaian yang tak kalah anggun sedang berdiri di belakangku. Bedanya hanya ia bertelinga tidak biasa, telinganya runcing seperti elf. Wah, ini pertama kalinya aku melihat elf nyata dengan mataku sendiri.
Setelah kuperhatikan, wajahnya tampak familiar. Mata silver dan wajah manis itu, siapa yah? Aku tak dapat mengingatnya, rasanya seperti ada sesuatu yang mengunci memoriku.
"Baiklah, Alezza, tunggulah sebentar lagi, " jawabku. Wanita bernama Alezza itu menunduk dengan patuh.
Tunggu, mulutku bergerak dengan sendirinya. Dan juga darimana aku tahu bahasa tempat ini? Dan nama wanita ini... Alezza?
"Ah, apa Kal dan Arvel sudah di sana?" tanyaku. Duh, Kal dan Arvel itu siapa lagi?
"Sudah, mereka menunggu kedatangan anda, yang mulia," jawab wanita cantik tersebut sopan.
Aku berdecak dalam hati, seberapa tinggi derajatku disini sampai-sampai wanita ini berlaku sangat formal terhadapku.
"Kau tidak perlu formal begitu kalau kita hanya berdua, Alezza," lagi, mulutku melontarkan sebuah kalimat yang bahkan tidak kurencanakan. Pasrah, aku pun mengikuti saja alurnya, menyadari bahwa aku hanya dapat melihat, bukan melakukan.
"Oh, kalau begitu... Dyanna," sambil tertawa kecil, wanita itu memanggil namaku.
Apa? Namaku Dyanna?
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBA
काल्पनिक"Albino" adalah panggilan yang sudah biasa bagi gadis ini. Gadis aneh dengan rambut yang berwarna putih sejak ia lahir. Manik matanya pun berwarna biru. Sungguh pemandangan yang tidak lazim untuk seorang manusia biasa. Ataukah dia memang tidak biasa...