Deby POV
Aku menekan tombol untuk mematikan TV dengan kesal, menatap tajam Amira, dan kembali sibuk dengan laptopku. Ia berada di rumahku untuk mengerjakan tugas kelompok, tetapi pada akhirnya ia hanya menonton sinema TV kesukaannya.
"Ayolah Deb, ini adegan kesukaanku," rengeknya. Ia bahkan memelas-melaskan wajahnya.
Huh, aku takkan terpancing. Dasar.
"Bantuin kerjain dulu nih, baru kamu boleh nonton TV,"
"Ta-tapi,"
"Tenang, TV-ku bisa TV on Demand kok,"
Dengan helaan napas panjang ia pun menyerah. Namun, gerakannya terhenti saat ia mendengar deru suara kendaraan bermotor berhenti di depan rumahku diikuti dengan suara berbisik-bisik. Begitu juga aku.
"Siapa itu?"
"Coba kulihat," aku berdiri dari posisi nyamanku dan mengendap ke pintu depan. Aku memeriksa sang tamu dari jendela.
Tunggu, ini tidak mungkin.
Dengan berdebar, aku setengah berlari menuju ruang tengah, tempat Amira berada.
"Y-yang datang, yang da-datang," aku heran mengapa aku tidak bisa berbicara lancar kalau isi percakapanku adalah orang 'itu'.
"Siapa? Emang hantu? Kok kamu menggigil gitu?"
"Itu lo, iih, ituu," aku menggunakan bahasa isyarat, menunjuk ke depan pintu. Aku masih (sangat) penasaran kenapa aku tak bisa menyebut namanya.
"Ha? 'Itu' siapa?"
"Permisi,"
Suara seorang lelaki menelusup ke dalam telingaku bersamaan dengan suara ketukan pintu.
"D-dia datang,"
"Lho, suara itu 'kan," Amira langsing melompat dari duduknya, melangkah lebar menuju pintu depan.
"Arta?" tanya Amira heran begitu membuka pintu.
Ya, yang datang adalah Arta.
Dan seseorang bersembunyi di belakangnya.
"Anu, itu belakangmu siapa?"
Aku tahu siapa itu. Namun aku hanya bergeming, mengintip dari balik punggung Amira. Memalukan, mengapa sang tuan rumah malah bersembunyi seperti ini?
"Ah, iya, Adnan jangan ngumpet!" tegur Arta kepada Adnan yang masih bersembunyi di balik punggungnya. "Kamu cowok gak sih pemalu begitu?"
Walau hanya beberapa detik aku merasa Amira melirikku dengan senyuman jahil. Duh, apakah jiwa mak comblangnya telah bangkit kembali?
"Deby, tu loo Adnan. Kamu gak kangen?" dan sesuai dugaanku, kalimat itu pun meluncur dari mulut Amira.
Sungguh, aku tidak mengerti dengan diriku. Apa aku terlalu rindu dengan Adnan sampai- sampai aku seperti ini? Tidak sampai seminggu pula. Bibirku memaksa untuk tersenyum, tetapi kutahan sekuat yang aku bisa. Yang justru menjadikannya seperti tawa tertahan.
"Dah udah. Kami ke sini mau membicarakan sesuatu, bukan bercanda. Jadi... bolehkah kami masuk, wahai sang empunya rumah?" tanya Arta dengan membungkuk-bungkuk bak pelayan (what the....)
"Ya... ya, silahkan masuk," jawabku sekenanya dengan posisi masih memegang erat pundak Amira.
Setidaknya aku bersyukur Arta tidak men 'cie-cie' aku dan Adnan. Dia memang sedikit cuek sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBA
Fantasy"Albino" adalah panggilan yang sudah biasa bagi gadis ini. Gadis aneh dengan rambut yang berwarna putih sejak ia lahir. Manik matanya pun berwarna biru. Sungguh pemandangan yang tidak lazim untuk seorang manusia biasa. Ataukah dia memang tidak biasa...