Bab 04
Kaya duduk memeluk kakinya di kolong meja Putri yang berada di deretan paling belakang. Bahkan Kaya menyuruh pulang Dira yang sudah mengejarnya sampai ke kelas karena ia butuh waktu sendiri. Ia juga harus menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak mungkin baginya untuk nekat pulang naik motor sendiri dengan pikiran kacau.
Kelasnya sangat sepi, malah tidak ada orang saat ia masuk. Hanya menyisakan beberapa tas termasuk miliknya. Sudah hampir sepuluh menit Kaya berada di sana. Ia sudah lebih tenang dan tidak ada air mata yang akan keluar lagi.
Namun, matanya terasa amat berat dan perih. Wajahnya pasti sudah sangat merah dan jelek. Tiba-tiba derap langkah beberapa orang memasuki kelas, makin lama terdengar makin mendekat. Kaya cepat-cepat memakai kembali maskernya yang sempat ia lepas saat menangis.
Ia harus keluar sekarang atau orang-orang akan menganggapnya aneh dengan berada di kolong meja. Tapi ketika Kaya hendak merangkak keluar, ia dikagetkan dengan seorang cowok yang tiba-tiba berjongkok di hadapannya.
Kaya sempat berteriak kaget. Ia menatap wajah cowok itu yang juga sedang mengamatinya lekat-lekat. Usai menyadari siapa orang itu, lantas Kaya menjambak rambutnya. "Juna! Lo ngagetin aja," ujarnya.
Juna merintih pelan tapi dia tidak mengelak. Ia mendengus pelan ketika menyadari suara Kaya tidak seperti biasanya, kali ini terdengar parau. Ditambah mata Kaya yang benar-benar sembab. Tidak salah lagi. "Dua tiga tutup botol dibuka, kayaknya ada yang habis nangis nih."
Dandi yang sedari tadi berdiri di samping bangkunya memutuskan untuk ikut berjongkok di sebelah Juna. Menatap Kaya dengan ekspresi datar. "Lo kenapa, Kay?" tanyanya.
"Haaaah," keluhnya sembari menutup wajahnya setelah menyadari bahwa Juna sedang telanjang dada. Tamat sudah riwayatnya. Pasti dua cowok itu akan terus mengungkit kejadian hari ini. "Kok kalian belum pulang sih? Mana si Juna gak pake baju lagi!" tanyanya.
Juna mengeluarkan sesuatu yang terjepit diantara dadanya yang telanjang dengan pahanya. Lalu ia berikan kepada Kaya dengan mendekatkannya ke hidungnya. "Nih, cium nih!"
Refleks Kaya menutup hidungnya setelah menyadari bahwa yang disodorkan Juna adalah sebuah jersey. Hidungnya memang sudah mengecap bau keringat mereka daritadi tapi ia tidak terlalu mempermasalahkannya. "Juna apaan sih! Jorok!"
Dandi tiba-tiba berdiri dan berkata, "Habis latihan basket, Kay. Lo mending keluar dari situ deh. Gak pegel emangnya?"
"Pegel sih tapi ini Junanya...," Kaya mendorong kaki Juna tapi tenaganya kalah dengan pertahanan Juna. Sementara laki-laki itu tidak peka dan terus mengarahkan jersey-nya kepada Kaya. "Juna, jijik! Minggir nggak lo atau gue nangis lagi nih!"
Juna akhirnya mundur dan berdiri. Ia mengamati Kaya yang sedang merangkak keluar dari kolong meja dan berjalan ke tempat duduknya sambil tertawa jenaka. "Gembeng, dasar."
"Berisik ah, biji onta."
"Cengeng. Gembeng."
Kaya memasukkan barang-barangnya ke dalam tas sambil menggeram kepada Juna. Ia tidak suka diejek seperti itu oleh orang yang tidak tahu penyebabnya menangis. "Juna berisik banget. Lo juga nggak tau masalah gue jadi gausah ngejek gitu ah."
Juna berdiri tepat di tempat angin dingin AC terasa. Cowok itu sudah menyebar bau keringatnya ke segala arah. "Paling juga masalah cinta."
"Sok tau."
"Jujur aja lagi."
Dandi yang sudah selesai mengemasi barangnya tiba-tiba menimpali, "Udah, woy. Perang mulu bocah." Cowok yang mengenakan jersey basket bernomor punggung 10 itu menaikkan kursi ke atas meja. "Cewek nangis bukannya dihibur malah diajak ribut."
"Nah, dengerin tuh apa kata Dandi," sahut Kaya. Ia mengikuti Dandi yang sudah berjalan duluan."Gak pernah punya pacar sih jadi gapernah tau gituan."
Juna memakai kembali jersey-nya lalu berjalan ke bangkunya untuk mengemasi barangnya. "Emang gue itu lo? Jones dari lahir?" celetuknya. Dengan cepat ia memakai tasnya dan mengejar Dandi serta Kaya yang sudah keluar kelas. "Gue bukan boyfriend... apa itu... material? Nah, ya boyfriend material macem Dandi. Gue ga ngerti dan gamau tau tips-tips begituan. Ribet."
"Pantes gak laku," celetuk Kaya.
Juna berusaha menyamai langkahnya dengan Kaya dan Dandi, lalu ia menjitak kepala Kaya. "Awas balik, Nyet."
Mereka bertiga pun berjalan bersama ke arah parkir motor di bagian belakang sekolah, dekat dengan lapangan basket dan voli. Obrolan tidak penting mereka membuat mood Kaya membaik dan ia bisa bernapas lega dua cowok itu tidak bertanya macam-macam lagi soal alasan ia menangis.
Sudah pukul 4 kurang sedikit. Parkir motor juga tidak sepadat pagi tadi. Baru pertama kali Kaya pulang sesore ini kecuali saat kegiatan klub.
"Hoy, Zam," sapa Dandi ketika melihat Azzam berjalan dari arah yang berlawanan.
Azzam menyapa balik Dandi serta melakukan tos dengannya. Sedangkan Juna hanya diam di tempat, menebar tatapan sinis kepada Azzam. Kaya tidak menyadari tingkah Juna karena ia sibuk grogi sendiri mengingat sebelumnya ia sempat menabrak Azzam di kantin.
Jantung Kaya tiba-tiba berdegup kencang dan napasnya naik turun ketika mendapati Azzam berjalan mendekatinya. Kali ini Kaya setuju dengan Dira, Azzam gantengnya kebangetan. Alis tebal, kulit putih, hidung mancung, bibir merah muda yang tipis, dan kumis tipis. Lengkap sudah. Saat menabrak cowok itu tadi, Kaya hanya sempat melihat name tag-nya. Coba waktu itu sempat melihat Azzam, pasti Kaya sudah beku di tempat.
"Hai," sapa Azzam. Kaya ingin berteriak ketika sudut bibir Azzam terangkat perlahan saat melihatnya.
Tiba-tiba Juna menghancurkan suasana dengan berdeham keras. "Yaudah, gue pulang dulu. Jangan nangis terus, Mbeng," ujarnya sembari menepuk pundak Kaya dua kali. Kemudian, ia berjalan pergi meninggalkan Azzam dan Kaya berdua saja.
Kaya sedikit memiringkan kepala, melihat Juna yang mengenakan jersey bernomor punggung 5 yang semakin menjauh. "Mbeng?!" Setelah sepersekian detik, ia kembali sadar bahwa Azzam masih berdiri di hadapannya, menatapnya. Kaya terkekeh canggung. "Hai. Anu, sorry banget tadi waktu di kantin gue nabrak lo. Tapi beneran deh itu gak sengaja."
Azzam ikut terkekeh. "Santai aja lagi," ujarnya, masih memasang wajah ramah penuh senyum. "Jadi... lo beneran nangis? Gara-gara gue?" tanyanya setelah terpikir apa yang dikatakan Ardi.
Kaya langsung menganga. "Hahaha yakali kenal aja belom, mana mungkin gue nangis gara-gara lo."
Azzam tersenyum tipis. "Nama lo?"
"Kaya. Lo Azzam 'kan?" Kaya mengelus tengkuknya. Rasanya benar-benar canggung sampai Kaya harus berlagak tidak tahu bahwa cowok itu memang Azzam.
"Iya. Lo... kenal Juna?" tanya Azzam. Kali ini nadanya terdengar serius.
Kaya mengangguk cepat. "Kenal. Dia temen sebangku gue. Emangnya kenapa? Lo juga kenal?"
Azzam menghela napas panjang. "Yah, begitulah."
Mereka terdiam sejenak. Sama-sama masih di tempat dan membisu. Rasanya super-duper-canggung. Pada akhirnya Kaya harus berpamitan duluan, "Gue... pulang dulu, ya. Udah sore."
"Oh, oke. Naik motor sendiri, ya? Kalau gitu hati-hati. Sampai rumah matanya dikompres biar ga bengkak gitu," ujar Azzam.
Kaya sedikit terperanjat mendengar Azzam yang menyadari kondisi matanya. Rasanya ingin meleleh. Azzam begitu perhatian padahal baru mereka baru saja kenal. "I-iya. Oke. Bye, Zam."
Sepanjang perjalanan Kaya menuju motornya yang diparkirkan jauh di sudut belakang, ia tidak bisa berhenti memikirkan jawaban Azzam saat ditanya apakah cowok itu mengenal Juna atau tidak. Yah, begitulah? Jawaban macam itu?
A/N
Hai, gimana buat chapter ini?
Kira2 ada apa antara Juna dan Azzam?
Maaf yah ceritanya gaje banget :-(Jangan lupa vote dan kritik sarannya ya. Kalau suka bisa dimasukin ke reading list. Tysm💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Masked Girl
Teen FictionKaya selalu menutupi identitas dirinya-terutama wajahnya- dari perhatian orang sekitarnya dengan masker. Khususnya media massa. Ia sangat tidak suka dengan wajahnya. Namun, makin kesini, ia makin tidak betah menggunakan masker tiap kali keluar rumah...