06

57 8 20
                                    

Bab 06

"Gue nggak mau turun!"

Kaya merengek kepada Juna. Mereka sudah sampai di daerah parkir sebuah cafe. Namun, tangannya masih menggenggam erat jaket Juna dan ia enggan turun dari motor. Nyali gadis itu makin menciut ketika ia sudah tiba di cafe, tempat ia akan bertemu teman-teman Juna.

Juna terbahak melihat tingkah Kaya. Ia juga masih diam di atas motor setelah menurunkan standar samping. "Kay, temen-temen gue nggak gigit, nggak nakal. Anggep aja nambah kenalan. Lagian gue yang mau jajain lo, masa lo nggak mau. Nggak ada kesempatan kedua."

Sayangnya Juna tidak tahu kalau Kaya adalah orang yang tidak terlalu supel. Lagipula seharusnya Juna tidak perlu sampai mentraktir Kaya, gadis itu sudah membantunya dengan ikhlas. "Lo nggak perlu jajain gue. Gue bercanda tadi, sumpah. Pulang dulu aja, deh. Ya, Jun? Ya?"

Juna hanya diam, lalu ia melepas helmnya dan langsung turun dari motor. Ia merapikan dan menyugar rambutnya sebelum menatap mata Kaya lekat-lekat.

Kaya merasa sepasang mata Juna menembus jauh ke dalam dirinya. Seakan bisa membaca matanya.

Juna membuka kunci helm Kaya lalu melepasnya. Napas gadis itu tercekat dan tangannya terlepas dari jaket Juna. Ia membeku, tak bisa berpaling.

Sejujurnya Juna ingin menyampaikan pesan yang intinya: Jangan khawatir. Ada gue di sini. Tetapi bibir kadang tidak senada dengan otaknya. Ia malah berkata, "Udah sampai sini, Kay. Santai aja, lagi."

Ekor mata Kaya melihat cowok itu menaruh helmnya di spion motor sebelah kiri. Lalu, perhatiannya kembali diambil alih oleh senyum tipis Juna. Cowok ini...

"Ini bocah masih diem aja, Masih nggak mau turun?" suruh Juna. Kini senyumnya berubah menjadi sebuah senyum jenaka.

Kaya akhirnya menyerah dan turun. Juna menunduk menatap Kaya yang sibuk membenahi rambut yang diikat seperti ekor kuda. Matanya menangkap salah satu tangan Kaya yang menganggur. "Udah, ayo! Keburu kamalaman," ajaknya sembari menarik lengan Kaya dan berjalan masuk.

Sontak Kaya melihat ke arah lengannya yang digenggam Juna. Lalu beralih ke Juna yang berjalan di depannya. Kaya mengernyit. Harus banget sampe digeret-geret?

Ia langsung menundukkan kepala. Andai ia bisa melepas maskernya, wajahnya terasa panas. Sebelah tangannya terkepal kuat di depan dada, merasakan jantungnya yang berdebar-debar. Ia melirik ke arah jemari Juna yang terpaut erat di lengannya. Hah..., nyebelin.

***

Makanan favorit Azzam di cafe ini sudah datang, yaitu Mi Goreng Sosis Kornet. Sebenarnya bahan dasarnya hanya mi instan yang biasa dijual di pasaran, ditambah sosis, kornet, dan cabai. Tapi anehnya, menu itu terasa amat spesial. Azzam pernah sekali-dua kali mencoba membuatnya, tapi rasanya tidak senendang buatan cafe ini.

"Zam," panggil seorang gadis berparas cantik yang mengenakan gaun polos selutut. Azzam hanya berdeham pelan tanpa menatapnya. "Oy, jangan mainan HP terus dong. Kita main bareng bukannya buat sibuk sama gadget sendiri-sendiri, ya," ujarnya kesal.

Kali ini, Azzam meletakkan ponselnya di sebelah Mi Goreng Sosis Kornetnya dan mengangkat kepala, menatap gadis itu. "Sori, tadi ada yang berantem di grup debat sampe gue keasyikan nimbrung."

"Hem, serah deh." Gadis itu bersedekap di depan dada sembari menyandarkan tubuhnya kepada sandaran kursi. "Zam, lo sadar nggak sih, barusan siapa yang lewat di sebelah kita?" tanyanya. Mereka duduk berhadapan di lantai satu bagian kiri dan orang-orang sering berlalu lalang di sebelah mereka.

Masked GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang