BAB 9
Pertandingan basket dengan SMA C berlangsung cukup sengit. Skor mereka saling kejar-mengejar. Kadang sekolah Juna memimpin. Kadang SMA C. Beda skor mereka pun tidak jauh. Hanya 2-4 poin. Tak pernah lebih maupun kurang.
Kemampuan kedua tim bisa dibilang sama-sama bagus. Sekolah Juna kuat dalam penyerangannya. SMA C, yang dominan beranggotakan laki-laki bertubuh besar, kuat dalam sistem pertahanannya. Sekolah mereka sebelumnya belum pernah melakukan sparing satu sama lain. Membuat banyak kejutan terjadi dalam lapangan.
Kaya menonton pertandingan dengan khidmat dari pinggir lapangan. Di sebelahnya ada Dira dan Putri yang selalu berteriak menyebut nama sekolah dan tiap pemain. Kaya diam saja, tapi kadang ia ikut berteriak saat terlalu terbawa suasana. Seperti saat Dandi hendak melempar bola tapi disenggol tim lawan, penonton kesal dan bersorak. Kaya juga ikut.
Namun, selama pertandingan Kaya merasa ada yang janggal saat melihat tim lawan. Lebih tepatnya, salah satu anggotanya. Ada seorang laki-laki berkulit putih-kecokelatan, bertubuh tinggi, tergolong kurus dibanding anggota yang lain, dan menggunakan kacamata. Kayak kenal...
***
Peluit berbunyi. Waktu pertandingan sudah habis. Menghasilkan skor 40-41. Dengan itu, kemenangan diraih oleh sekolah Juna. Semua pendukungnya bersorak gembira walaupun skornya beda tipis.
Para pemain pun saling berkumpul dan menjabat tangan. Lalu berfoto bersama sebagai sebuah kenangan kecil pertandingan persaudaraan. Bukan masalah menang atau kalah. Melainkan sebuah tes kemampuan individu, kesolidaritasan, dan kepemimpinan tiap tim. Sebagai bahan evaluasi untuk peningkatan kualitas.
Kaya berjalan kembali bersama Dira, Putri, dan teman lainnya. Kemudian ia berhenti di bangku sebelah lapangan ketika teringat apa yang dikatakan Juna kemarin,
"Besok habis gue selesai, jangan langsung pulang. Gue mau ngomong sama lo. Penting."
Dira menoleh ketika menyadari Kaya tidak lagi berjalan di dekatnya. Ia pun berjalan ke arah sahabatnya yang terlihat sedang menunggu seseorang. "Kok lo masih di sini? Engga pulang?"
Kaya menoleh. "Lo duluan aja, Dir. Gue masih nungguin Juna," jawabnya.
Dira melirik ke arah lapangan. Matanya mendapati Juna juga sedang melihat ke arahnya sambil meneguk minumannya. Kemudian beralih lagi. "Cieeee~ kayaknya ada yang mau jalan bareng nih?" godanya.
"Ha? Ngarang aja."
"Lo seneng kan."
Kaya mengerutkan kening. "Seneng apaan?"
"Seneng Juna," ujar Dira sangat-sangat-lirih.
Kaya bisa mendengarnya. Ia langsung mendesah pelan. Kemarin ia juga memikirkan hal itu sampai berjam-jam. "Gue seneng dia udah kayak gue seneng sama oppa-oppa gue di Korea sana. Sepihak doang, Dir. Sakit, ya? Hehehe."
"Jadi lo beneran suka," ujar Dira lirih. Lalu Dira melongo seperti belum sepenuhnya percaya, "Kok tadi lo ngomong gitu? Juna sama oppa-oppa lo kan jelas beda. Dia ada di deket lo. Sedangkan idola lo jauh disono."
"Ya, lo tau sendiri 'kan gue itu siapa. Bahkan dia belum pernah lihat wajah gue. Gue belum tentu masuk ke kriteria dia. Gimana mau suka coba, Dir?" Saat mengatakannya, Kaya merasakan nyeri dari dalam dirinya. Entah di sebelah mana.
Dira hendak menjawab. Mulutnya sudah terbuka. Namun, ia tutup lagi begitu menyadari Juna sudah berdiri di belakang Kaya dengan wajah datar. Apakah laki-laki itu mendengar pembicaraan mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Masked Girl
Teen FictionKaya selalu menutupi identitas dirinya-terutama wajahnya- dari perhatian orang sekitarnya dengan masker. Khususnya media massa. Ia sangat tidak suka dengan wajahnya. Namun, makin kesini, ia makin tidak betah menggunakan masker tiap kali keluar rumah...