(1)

52 11 10
                                    

Langkahku terhenti, setelah berlari tak tentu arah selama sembilan menit terakhir akhirnya pria gila paruh baya itu kehabisan motivasi untuk mengejarku. Kulihat sekelilingku. Mencari tanda atau apalah yang mungkin saja ku kenali karena aku tidak tahu dimana aku berada sekarang.
Perkotaan kumuh.
Lampu - lampu yang redup. Dan yang terutama, sepi alias tidak ada orang.

Namaku Erdion.
Aneh, tinggi, kurus, pintar, atau ya begitulah kata teman - temanku. Walupun aku juga tidak merasa mereka adalah temanku dan kuragukan pula mereka menganggapku demikian.

Dua bulan tiga belas hari lagi aku genap berusia delapan belas tahun. Waktu yang pas untukku terlepas dari kekangan peraturan rumah. Daddy bilang kalau aku sudah berumur delapan belas, aku dianggap sudah boleh mendapat kelonggaran peraturan rumah seperti boleh pulang diatas jam sembilan malam, boleh berpacaran, dan boleh bermalam di rumah kawan yang daddy harus kenal dulu. Pokoknya macam - macam peraturan. Hitung - hitung sebentar lagi akan berumur delapan belas, aku anggap itu sebagai tahap persiapan, jadi belum juga genap delapan belas tahun aku sudah 'menunaikan' kelonggaran peraturan rumah yang tadi kusebutkan dan inilah ganjarannya. Aku sedang menyusuri gang sempit menuju rumah teman tanpa pamitan orang tua-maklum 'kan lagi latihan menjalani kelonggaran peraturan-lalu sekonyong - konyong seorang pria dewasa mungkin berumur lima puluhan meneriak - neriakiku lalu berlari kearah ku dengan ekspresi marah. Yang kutakutkan bukan si tua bangka itu tapi apa yang dia pegang. Semacam senapan yang tidak kutahu jenisnya tapi yang pasti jari orang tersebut siap menarik pelatuk. Aku belari secara membabi buta tapi aku tidak cukup buta untuk melihat si tua bangka itu terus mengejar.
Belok kiri. Belok kanan. Kanan lagi. kanan lagi lalu kiri.

Terdengar suara tembakan. Jantungku berdetak tak terkontrol. Menyadari ada aliran darah di betis sebelah kananku. Kucoba untuk mengabaikan luka tembak tersebut selagi rasa sakitnya masih belum terasa. Tanpa perlu menunggu perintah, ku naikkan kecepatan lariku yang sebenarnya melambat karena tembakan tadi. ''Tarik napas.. Tarik napas'' kataku pada diriku sendiri. Aku berhenti di depan pintu sebuah rumah yang sama saja dengan rumah lain di sepanjang penglihatanku; kumuh dan tak berpenghuni. Sepertinya.

Serasa tidak ada pilihan lain, tak sungkan sedikitpun kumasuki rumah itu. Kuhentikan desahan rasa sakitku yang sekarang menjadi satu - satunya suara yang kudengar.
Tidak ada suara langkah kaki atau semacamnya. Kufokuskan lagi pendengaranku. Memang tidak ada.
Setelah mengatur napas sebentar, kuberanikan diri untuk mencari luka tembak yang sedari tadi tidak berasa sama sekali. Sebelum tanganku meraba - raba di ruang remang - remang ini, phobiaku terhadap darah lebih dulu memuncak. Memang lukanya belum terlihat tapi ya mau bagaimana lagi phobia tetap saja phobia. Kukumpulkan segenap keberanian mencari - cari luka tembak itu.
"Tidak ada" batinku.
"Apa maksudmu dengan 'tidak ada'?" jawabku pada diriku sendiri.
Kutekan - tekan badanku yang agaknya ada luka tembak. Masih tidak ada. Aku tidak tahu harus merasakan apa. Senang karena tidak ada luka tembak?Mungkin.
Atau merasa aneh karena tidak ada luka tembak? Ini lebih pas.

"Aku harus keluar dari sini"

#Jangan lupa vote dan comment ya 👌👏😍

The Lucid AlteranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang