Pemandangan kota mati ini kembali menyambutku.
Ini terlalu sepi.
"Kemana semua orang?" tanyaku pada tak-seorangpun.
Kuputuskan untuk berjalan menyusuri kota ini atau lebih cocok kampung ini."Hai!"
"Hallo!"
"Apakah ada orang disini?"Aku terus berteriak tanpa takut si pria tua gila besenapan itu menemukanku. Aku pun tidak yakin bisa menemukannya walau kucari dia. "sumpah. Mungkin aku memang terlalu membabi buta tadi,
'buta' dalam arti harafiah tentunya" kataku lagi pada tak-seorangpun.Tak-seorangpun adalah sebutan untuk teman imajinasiku. Maklum kurang teman.
Aku merasa dia sangat hidup, hanya saja tidak mau menjawab. Kadangkala, saat di kelas, aku tanpa sadar mengacungkan tanganku ketika guru membuka ruang untuk bertanya dan secara aneh bin ajaib pula aku menjawabnya padahal aku sendiri belum atau bahkan tidak tahu materi apa yang sedang kusampaikan itu. Aku menggangap si tak-seorangpun adalah biang keroknya. Jadi, seperti sekarang, kalu aku tidak ada kawan bicara dialah yang menjadi kawan bicara monolog-ku.
---
Akhirnya aku sampai di pinggir kota tua ini. Dan yang kutemukan hanyalah.. "Gurun pasir?"
"Apa ini?"
Yang kutemukan hanyalah gurun pasir. "Jadi, aku berada di gurun pasir atau lebih tepatnya di kota mati yang terletak di gurun pasir?" pelbagai macam umpatan pun keluar dengan sendirinya.
Belum putus asa aku menyusuri lagi kota ini kearah pinggir kota yang lain.
Beberapa menit setelah itu kudapati ternyata masih ada mahkluk hidup selain aku disini. Anjing-anjing berperawakan besar bergerombol dalam kawanan berjumlah enam atau tujuh ekor menggeram kearahku. Menunjukkan ekspresi tak mau berbagi makanan. Atau begitulah yang kupikirkan.
"tenang 'njing, makananmu bukan seleraku. Jadi kalian makan saja. Gak ada peraturan makan 'kan?" sekonyong- konyong anjing itu seperti merasa makin terancam lalu menyerang bersamaan. Aku berusaha lari namun sia - sia saja mengingat fisikku yang tak setara atlet lari. Salah satu dari anjing - anjing tersebut berhasil menggigit kakiku. Untung saja celana jeans yang kupakai cukup tebal untuk menahan tajamnya taring - taring yang mungkin mengandung virus rabies itu. Celana jeansku memang tahan terhadap satu gigitan, bukan dua, apalagi lebih.
Kurasakan satu ekor meloncat dan segera menancapkan taringnya ke bahu kananku.
"Aarghhhhh!!"
Anjing - anjing tersebut terus 'menggulati'-ku. Lalu dunia serasa menjadi gelap secara tiba - tiba.
Semakin gelap hingga menjadi gelap gulita.
---
"Erdion.. Erdion. Bangun!"
"ahh, kau sudah siuman!!" seruan yang langsung menginterupsi kebingunganku
Aku membuka mata. Cahaya lampu menerobos retinaku. "aku ada dimana?"
"Tidak apa- apa sayang, orang yang menembakkmu pasti akan segera ditangkap polisi"
"bagaimana rasanya kakimu? Apakah masih sakit"
"pelurunya sudah dikeluarkan"
"bagaimana bisa kamu..."Kepalaku terasa sangat pusing dengan berbagai pertanyaan dari orang ini, maksudku ibuku.
"aku ada dimana?" tanyaku lagi.
Tanpa menunggu jawaban aku berusaha bangkit dari posisiku yang sekarang sedang terbaring dengan pakaian khas pasien rumah sakit, walaupun hanya celananya saja. Bajunya?tidak. Aku tidak pakai baju.
Kuperhatikan perban yang membalut betis kananku dan satu lagi di perutku bagian kanan. "Apa ini?"
"Mengapa orang itu berusaha membunuhmu" tanya ibuku tanpa menghiraukan pertanyaan yang ku ajukan.
"Mengapa?" tanyanya lagi. Pertanyaan yang sama yang hendak kutanyakan pada seseorang yang mungkin tahu jawabannya. Mengapa ia ingin membunuhku? Lalu bukankah hanya ada satu kali bunyi tembakan??Vote dan commentnya sangat ditunggu 😑😕😠😃😄😄
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucid Alteran
Fantasy(Ganti judul, cerita masih sama) 😊 Kehidupan Erdion yang normal hanya berlangsung hingga peristiwa penembakan yang menghantarkannya ke dunia yang 'mati' di tengah gurun. Tantangan lain datang pula dengan adanya sekelompok orang dari masa depan yang...