(7)

6 1 0
                                    

"Sudah diputuskan, aku akan pulang kerumahku, rumah Amigo lebih tepatnya."
---

Tidak seperti sebelumnya, langkah kakiku jauh lebih terarah dan pasti. Berdasarkan ingatan Amigo, aku harus pergi mencari rumah mewah bersecurity yang terletak di dekat dengan menara tertinggi di kota ini. Menara Sinnoph. "Itu menaranya!!"

Karena terganggu oleh pikiran Erdion, aku jadi tidak bisa mengingat lokasi tepat dari rumah Amigo. Ya sudahlah, yang penting menara tertinggi itu sudah terlihat.
Kalau dilihat - lihat, di kota ini banyak sekali pejalan kaki. Pantas saja mobil yang kunaiki tadi sepi penumpangnya.

"Ini dia!"katanya sih menara tertinggi di kota ini. Namun kalau diperhatikan dengan sedikit lebih saksama, ketinggiannya tidak melebihi Tugu Monas di Indonesia. Apa peduliku?
Aku mengira awalnya gambaran rumah yang kudapat dari ingatan Amigo sudah bercampur dengan khayalannya karena gambarannya terlalu mewah. Akan tetapi hal ini sudah tersertifikasi benar kalau saja sekarang aku sedang tidak bermimpi. Rumah bak hotel bintang enam menyilaukan mata udikku.

Aku sangat terkesan dari outlook rumah ini sambil memegangi pagar yang masih tertutup. Terdiam untuk beberapa saat.

"Tuan muda, apa yang sedang Anda lakukan berdiri seperti hendak mencuri di luar pagar?" tanya seseorang yang berjalan kearahku mengenakan seragam yang kutahu pastilah si Security.
"Dasar tidak sopan! Kau menuduhku sebagai maling di rumahku sendiri?" jawabku kasar lalu si security melongo terdiam. Dengan sedikit rasa ragu aku beranya lagi,"Ini rumahku 'kan?"
Si security lebih memilih mengangguk saja daripada menjawab. Ingatan Amigo datang dalam benakku. Amigo tidak pernah kasar pada orang.
"Oh-" kataku lagi yang langsung membuatnya terkejut
"-Maafkan aku pakkk ..."aku tidak tahu namanya,
"Hendo" jawabnya melengkapi.
"Tentu pak Hendo, tentu, aku tahu namamu kau tidak perlu menyebutkannya kalau kau tidak mau aku mengetahuinya"
Oh tidak, apa yang aku katakan. aku memperburuk suasana. Si security ini pasti bingung setengah hidup. Terbukti dengan wajah melongo seramnya yang semakin menjadi - jadi.
"Begini pak Hendo, akkku.." aku tidak tahu mau bilang apa. Akhirnya pikiran Erdion turut mengambil bagian. "Sudahlah, berperilaku biasa saja" sela Erdion dalam pikiranku.
Kuterima saranmu. "Begini pak Hendo, lupakan percakapan kita tadi, oke?"
Jawaban yang kuterima adalah anggukan segan serta campuran ekspresi bingung yang mengerikan.
Aku berjalan menuju rumah meninggalkan si security terhilang dalam pikirannya. "Terserahlah!"
Merasa pulang ke rumah sendiri aku langsung saja masuk tanpa mengetuk atau memencet bel.
"Aku pulang!"
"Kok sudah pulang?" tanya ibuku-ibu Amigo- dengan piyama tidur bercorak hati dan rambut yang di-apakan, aku tidak tahu nama prosesnya pokoknya nanti rambut itu keriting, aku sering melihat ibu menggunakannya.
"Tidak boleh?" aduh! Memangnya kenapa kalau aku pulang?
"Bukannya tadi kamu mau bertemu dengan Elody?" pertanyaan lagi
"Elody..." kuulang nama itu untuk mencari tahu siapa dia dalam ingatan Amigo "...adalah pacarku"
"bukan, calon menantuku! Dan kenapa pula kamu tampak berantakan seperti ini? Kamu habis berkelahi? Sana pergi mandi!" Ibuku bertanya tak henti - hentinya tanpa mengharapkan jawaban.
---
"kamarku ada di mana?" gumamku pada tak-seorangpun
Terkadang aku tidak mampu menggali pikiran Amigo maupun Erdion, dan saat - saat seprti inilah aku menjadi pribadi yang betul - betul kosong dan baru dan juga asing.

Aku terhenyak. Saat aku hendak bertanya dimana kamarku pada seseorang. Bukannya satu orang yang kutemui, melainkan ... banyak. Berbagai macam orang dapat dijumpai di rumah beraroma khas ini. Semuanya dengan seragam mereka masing - masing. Sepertinya pelayan.

Pelayan inilah, pelayan itulah, macam - macam dan sudah kuputuskan akan bertanya kepada siapa yang mungkin saja tidak merasa aneh kalau aku, si tuan rumah bertanya dimana kamarnya sendiri.
Seorang anak kecil berperawakan dewasa bahkan manula -di mataku- duduk di sofa yang menurutku mampu menelannya hidup - hidup karena ukuran tubuhnya yang terlalu kecil dan berkebalikan dengan sofa besar super-mewah untuk tiga orang itu. Ya meskipun kecil, dia cukup menarik perhatianku dengan model rambut kakunya. Dua-tiga langkah kearahnya, aku mengubah pikiranku. Rumah ini tak bosan - bosannya membuatku terkesan hingga aku bisa saja meremehkan istana Zeus, Olympus. Rumah ini ternyata memiliki denah tersendiri.

Aku sudah bosan menjadi pusat perhatian oleh karena keirian akan gaya gelandanganku. Kuhampiri denah dan segera mencari lokasi kamar Amigo. Tanganku bergerak mengikuti arah mataku.
"Kamar Amigo.. kamar Amigo" aku terus mencari tulisan itu sambil menyebutkannya.
Tiba - tiba ada suara menginterupsiku.
"Apa yang Anda cari tuan muda? Tidakkah Anda seharusnya sudah mengenal rute ke ruang bawah tanah?" seorang wanita pendek-gemuk membawa napan.
"Ruang bawah tanah?!" jawabku sedikit terkejut.
"Tentu saja" lanjutnya "Saya perhatikan Tuan muda sering menghabiskan waktu disana dengan teman baru Tuan muda" tatapnya.

"Dia sudah menunggu sejak tadi"
"Benarkah!?" aku terdiam sejenak "baiklah bawa aku kesana!"

------ 😁😊😍🙇🙏👍
Vomment sangat membantu dalam memberi energi bagi penulis. Jadi jangan sungkan ya vote maupun commentnya ditunggu

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Lucid AlteranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang