(6)

12 5 2
                                    

Tidak kurang dari sepuluh detik kami terdiam saling tatap – menatap. Akhirnya aku tersadar dari tatap – tatapan menjijikkan ini. Aku ingin berpaling tapi tidak bisa. Maksudku memang tidak bisa bergerak. Apa yang terjadi padaku?

Terdengar menjijikkan tapi tiba – tiba jantungku rasanya akan meledak seraya aku merasakan hal aneh terjadi pada kakiku. Seperti kesemutan yang merambat naik ke tubuhku tetapi sayangnya aku tidak bisa melihat apa yang terjadi. Rasa kesemutan itu hampir memenuhi tubuhku lalu kulihat tubuh orang yang mirip denganku ini terpecah bagai efek piksel dalam Photoshop. Terbagi – bagi dalam potongan kecil mulai dari bawah hingga ke kepala. Aku baru menyadari hal yang sama juga terjadi padaku. Piksel.

Pandanganku semakin kabur dan hanya kegelapan yang tersisa.
Aku tidak menutup mata, atau aku tidak punya mata? Aku tidak dapat merasakan keberadaan organ tubuhku.

Beberapa detik terlewati. Aku kembali bisa merasakan detak jantungku, sedikit demi sedikit. Mataku juga sudah kurasakan akan tetapi kepalaku masih pusing. Dunia bagai diputar – putar. Ya memang Bumi berputar pada porosnya ‘kan, tapi ini kan bukan bumi? Planet apa saja tetap saja berputar pada porosnya.
Wah, kok aku jadi agak pintar begini ya? Makan apa aku tadi? Tidak ada.

Aku seutuhnya bisa merasakan organ – organku kembali padaku. Aku benar – benar kembali di dalam mobil yang kunaiki ini bersama pak supir. Kulihat ke sekitarku. Rasanya ada yang hilang.
Meskipun aku sudah kembali dari bentuk piksel yang masih belum ku mengerti itu, perasaan ganjil masih saja menggantung di benakku. Mendadak aku merasa risau berlebihan, aku merasa kehilangan identitas.
Entah sejak kapan, aku merasa memiliki kebiasaan mengupas jeruk untuk meredakan rasa khawatir dan aku perlu buah itu sekarang.

Namaku adalah Erdion? bukan, namaku adalah Amigo. Aku adalah Amigo sekaligus Erdion. Apa maksudku? aku juga bingung. Di dalam otakku entah sejak kapan, aku merasa diriku adalah Erdion juga Amigo. Aku merasa tadi aku yang berpakaian compang – camping dari kota tua lalu menaiki mobil ini dan aku juga merasa bahwa akulah yang berdiri di punggung jalan menuggu datangnya angkutan umum lalu pacarku meneleponku dan kami berbincang cukup lama hingga akhirnya aku saling betatapan muka dengan diriku. I’m gonna be insane for my brain’s boiling now.

Aku terduduk diam di dalam mobil itu. Dari gerak – gerik si supir, jelas perjalanan masih belum berakhir.
“Anak muda, sebegitu jahatnya kau padaku?” pertanyaan yang mengejutkan dari si supir.
“Maaf?” jawabku singkat
“Sebegitu jahatnya kau pada orang tua ini” ulang si supir “Tadi kau berpakaian ala gelandangan di jalanan kemudian tanpa basa – basi kau memasuki mobil ini, lalu kalau kita tiba di perhentian, kau mau keluar dengan keadaan begitu? Apa kata orang nanti? Kau mau aku di pecat apa?” si supir mengakhiri.
“Keadaan bagaim...”
Tanpa sadar rupanya aku sekarang tak berbusana alias naked, oh my gosh. Kulihat ada dua pasang pakaian lengkap tergeletak di kursi. Pakaian compang – camping disampingku tak ku gubris. Dengan lincah aku segera mengambil pakaian casual yang terletak sembarang di kursi belakang dan segera mengenakannya.
---
Aku terus berpikir tentang apa yang terjadi padaku. Aneh juga, biasanya aku jarang berpikir. Butuh beberapa saat bagiku untuk mengerti keadaan. Aku ingat diriku yang tidak pintar dan selalu jadi yang terbelakang di kelas namun aku juga tidak lupa bahwa aku anak paling pandai di kelasku.
AKU MENGERTI SEKARANG. Mungkinkah tubuh kami bersatu. Tubuh Amigo dan tubuh Erdion. Jadi otomatis ingatan dan pengetahuannya juga bersatu. si pintar Amigo dan si biasa-saja Erdion. Gabungan Erdion dan Amigo menjadi pribadi campuran yang baru, yaitu aku. Okay I get it!
Luka – luka ditubuhku sudah tidak terasa perih lagi. Malahan sepertinya membaik sendiri. Apalagi ‘kan tubuh Amigo tidak luka – luka.
Dari pikiran Amigo, aku jadi tahu bahwa kalau saat naik ke mobil ini aku tidak memberitahukan tujuan, artinya aku akan diturunkan di halte terakhir. Aku jadi tahu sistem regulasi disini. Wah, sepertinya aku semakin pintar, pakai istilah sistem regulasi segala. Thanks Amigo.
Halte terakhir.

Kendati sudah turun, aku belum juga tahu mau kemana.
“Ya sudahlah, aku akan pergi ketempat dimana Amigo tadi akan pergi, Taman kota untuk bertemu si doi”
“Tapi ‘kan aku gak lagi dalam kondisi ganteng maksimal. Beraroma anjing dan luka – luka ini harus diobati biar gak infeksi” gumamku pada tak-seorangpun. Oh iya, untuk sekadar informasi, si teman imajinasiku ini, tak-seorangpun, gendernya perempuan biar aku semangat.
“Sudah diputuskan, aku akan pulang kerumahku, rumah Amigo lebih tepatnya.”
---

Voment? Voment? Vomentnya mana? Biar semangat gitu 😆😇😬😂😃👏👌✌👍

The Lucid AlteranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang