(4)

27 7 4
                                    

Kulihat sekujur tubuhku, oh astaga!! TUBUHKU BERMANDIKAN DARAH dan LUKA DIMANA – MANA.
“ANJING!” Ini pasti ulah “ANJING!!!” tadi.
Tidak mampu mengeluarkan umpatan lagi, aku lebih memilih untuk memerhatikan kalau – kalau ada anjing yang tersinggung dengan umpatan tadi lalu menyerangku lagi.
Untungnya anjing tadi bukan pemakan daging manusia atau mungkin sedang diet atau memang anjing vegetarian. Jadi tubuhku tidak bisa lebih buruk keadaanya dari ini.

Ku kuatkan kakiku untuk berdiri. Ternyata tidak ada luka tembak! Baik di betis maupun di bagian perutku. Thanks God. Wait.. Should I thank for being attacked by mad dogs?
Kembali ke dataran kumuh yang menyeramkan ini aku kembali mencoba untuk mencari orang lain yang mungkin saja secara kebetulan terjebak disini untuk menolongku. Wish me luck!

“Hai.. ada orang disini? Ada yang mendengarku?”

Suaraku parau. Aku haus. Aku hilang?
Matahari mulai turun dari singasananya. Malam pun menyambutku dengan dua bulan yang berbeda ukuran. Keberadaan bulan kembar tidak identik ini mengonfirmasi hal yang membuatku tidak kuharapkan dan
tiba – tiba terjaga serta adrenalinku mulai menyebar. Ini bukan di Bumi. Di planet apa aku?
---
Sialan. Kaloriku habis terbuang hanya gara – gara teriak seperti orang gila di tempat yang memeang gila. Aku mulai takut untuk berteriak:
“Hai.. ada orang disini? Ada yang mendengarku?”
“Hai!”
“Hallo!”
“Apakah ada orang disini?”
Atau apalah karena mungkin saja terikanku menjadi nyanyian kematian yang mendatangkan mamalia aneh pengganti anjing tadi siang.
Untung saja dua buah bulan yang hadir malam ini berada dalam fase yang cukup terang bagiku untuk tidak memerlukan penerangan lain karena walaupun ada tiang listrik dan lampu dimana – mana, aku yakin tidak ada energi listriknya. Dasar kota mati.

Tidak ada kerjaan lain aku masih saja bergelut disudut – sudut kota ini. Kian – kemari mencari apa yang bisa ditemukan. Entah itu makanan atau orang ataupun ...
...“Cahaya..!!”
“Ada cahaya lampu!!” teriakku seperti orang udik yang tinggal di pedalaman super dalam tanpa cahaya lampu dimalam hari. Malam ini akulah si orang udik. Yay!

Aku tidak tahu atau tidak sadar kalau daritadi disana ada peradaban. Oh Dewi Fortuna. Cahaya lampu itu terlihat bagai satu kota saking terangnya dan dari perkiraan ‘asal – asalanku’ letak sumber cahaya itu sekitar...
... tidak jauh alias dekat.
Haruskah aku kesana? Tentu. Sekarang? Kapan lagi. Dasar aneh! Memang. Aku terus saja berbicara dengan tak-seorangpun. Tak peduli orang akan bilang aku aneh, toh tidak ada orang disini. Yang penting tak-seorangpun mendengarkan aku. Mungkin.
Kamu siapa?” secara tiba – tiba aku mendengar suara entah dari mana.
“Siapa yang siapa?” jawabku terkejut
Kulihat sekelilingku. Hanya ada satu hal yang mencolok yaitu padang pasir, saja. Mana orangnya?
Halo?” katanya lagi menambah kebingunganku. Oh ya, dan ketakutanku juga.
“Iya ii..in-i siapa? Dan dimana?” tanyaku lagi seperti sedang menerima telepon dari pemirsa kuis televisi.
"Apakah kau hantu?" Tanya suara tak bertuan itu.
“Pertanyaan macam apa yang kau tanyakan? Jawabku tersinggung.
Kemudian orang atau bukan-orang ini berbicara tak karuan bagai kaset rusak.
darita*&()aku^&**(seper<?””:edjwicjoij.
“Apa?” tidak ada jawaban lagi dari orang atau bukan orang ini.
Tanpa ambil pusing dan memang tidak berani mengambil risiko bahwa itu adalah suara salah satu makhluk aneh dari kota mati, aku memilih berlari dengan tidak menoleh ke belakang.
“Mungkin disini tidak ada sinyal” ucapku defensif.
Disini segalanya telah membuat logikaku yang memang sudah lemah semakin lemah saja. Dari kejadian ini sampai kejadian itu.

Mana vommentnya? Jangan sungkan ya ✋👍👏👌👀😽

The Lucid AlteranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang