Music is words inside a melody.
-
"Bagi segelintir orang, musik adalah obat penenang. Nada dan harmoninya membuat perasaan seseorang lebih tenang. Musik juga bisa mengajak kita untuk larut dalam tiap nadanya, tiap dentingnya. Dan musik jugalah yang mewarnai hidup kita. Kemanapun kaki kita melangkah, musik itu pasti akan selalu terdengar. Bahkan dari tapak kaki sekalipun," Miss Layda memulai penjelasannya di kelas musik hari ini.
Wanita muda itu mulai berjalan ke arah grand piano putih di tengah ruangan. Ia duduk di kursi dan mulai memainkan sebuah komposisi. Ia memainkan komposisi gubahan Yiruma, river flows in you.
Setelah denting pianonya beehenti, ia berdiri lagi dan kembali memberi penjelasan. "Nah, saya punya project untuk kalian," guru itu tersenyum. Sontak saja para murid kelas musik hari itu berdecak kesal.
"Tenang, tugasnya mudah kok. Project ini dikerjakan secara berkelompok, wich is kelompoknya adalah teman sebangku kalian. Tugasnya adalah membuat sebuah pertunjukan kecil. Mau satu vokalis dan satu pengiring atau mau kolaborasi instrumen atau vokal juga boleh," lanjutnya masih tersenyum.
Begitu mendengar kalau teman sekelompoknya adalah Reiza, Embun langsung bergidik. Ia berusaha untuk bertukar kelompok dengan Fariz yang duduk bersama Dea. Tapi usahanya gagal karena Fariz bilang, dirinya dan Dea sudah memiliki bayangan untuk tugas ini. Jadilah, ia terpaksa sekelompok dengan Reiza.
Dari ekor matanya, ia melirik laki-laki yang duduk di seberang belakangnya. Reiza terlihat sedang berkutat dengan sebuah notes. Menulis lalu menghapus. Begitu terus sampai beberapa kali.
"Ja," Embun memutar tubuhnya.
"Ja."
"Ja! Is kalo dipanggil jawab napa sih?" teriak Embun.
Reiza mendongak menatap Embun dengan pandangan lo manggil gue-nya. "Setan. Ya elo lah, bego," jawab Embun frustasi.
"Nama gue Reiza. Bukan Ja," tangannya bergerak menutup buku.
"Bodo amat sama nama lo. Kita sekelompok nih. Mau bikin apa?" gadis itu sudah berpindah duduk di samping Reiza.
Laki-laki di sampimgnya tampak berpikir sejenak. Setelah tiga hari menjadi teman sebangkunya, baru kali ini ia bicara agak banyak. Dengan perempuan secerewet Embun, lagi! Ini rekor.
Reiza kembali membuka bukunya. "Gue piano. Lo nyanyi."
"Lagu apaan?" tanya Embun sambil bertopang dagu. Menunggu jawaban dari manusia es -julukan Embun untuk Reiza- di sampingnya. Dan ternyata jawaban dari manusia es itu hanya mengangkat bahu, tanda bahwa ia tidak tahu.
Embun berdecak kesal. "Gue yang nentuin. I dreamed a dream versi Susan Boyle bisa?" Lelaki itu mengangguk.
"Ya udah itu aja. Kapan latian?"
"Besok."
Embun menghela napas. "Dimana nyet?" Reiza hanya menunjuk grand piano putih itu, lalu berjalan meninggalkan kelas musik.
"Tuh kan, kampret."
□ □ □
Tangan mungilnya menusuk-nusuk berbagai jenis sayur dihadapannya dengan sadis. Alisnya berkerut dan bibirnya sedikit manyun.
Echa yang merasa tidak enak dengan kelakuan Embun menoleh ke arahnya. "Napa lo? Sakit?" Echa kira, sahabatnya itu akan merespon dengan anggukan atau setidaknya menjawab dengan volume sedang.
Tidak disangka, respon Embun adalah berteriak kesal. "KESEL GUE! SEBAL SAMA MANUSIA ES! DASAR PANCI GOSONG EMANG TUH ORANG! AAAH TAU AH!"
Tatapan kaget para murid lain yang ditujukan ke arah meja mereka membuat Vania menginjak kaki Embun keras-keras. "Sakit, anjir!"
"Makanya kalo ngomong jangan kenceng-kenceng. Malu noh diliatin orang," tegur Vania yang sedang menikmati es susu moka-nya.
"Abis gimana, tuh orang ya Van, ngeselinnya nggak ketulungan. Masak gue belum selesai ngomong, eh dia udah ngeloyor aja. Mana dinginnya minta ampun lagi. Duh, kok lahir sih manusia kayak gitu?" tangannya mengobrak-ngabrik makin sadis.
"Buat gue aja saladnya. Kasihan sayurnya lo mutilasi," kata Echa.
"Bodo."
□ □ □
Diam-diam Reiza memperhatikan gerak-gerik gadis itu dari radius tiga meter. Gadis tercerewet yang pernah ia temui selama 16 tahun hidupnya. Gadis yang kini sedang mencak-mencak karena jengkel di tempat duduknya. Tanpa sadar, sebuah lengkungan terbit di wajahnya. Tingkah lucu gadis itu saat jengkel membuatnya tersenyum geli.
"Woy Ja, ngapain lo senyum-senyum sendiri?" Edo mengikuti arah pandang Reiza dan mendapati seorang gadis berambut hitam sebahu yang sedang ngobrol dengan dua temannya; Vania dan Echa -sepupunya.
Tangannya menepuk pundak Danang. Lalu dagunya menunjuk ke arah Reiza yang masih tersenyum. Danang menoleh dan langsung berseru heboh.
"Bunga-bunga cinta bermekaran.. cie yang lagi jatuh cintah," ucapnya.
Reiza yang merasa tersindir langsung mengalihkan pandangannya. Ia menatap Danang dengan tatapan datar.
"Tuh kan, Nang. Datar lagi mukanya. Gara-gara elo sih," Edo menjadikan Danang tersangka yang membuat ekspresi Reiza berubah.
"Kok gue sih? Orang yang berubah dia, gue juga yang kena. Bunuh saja hayati di rawa-rawa, Mas. Hayati ikhlas.. ikhlas," Danang memasang ekspresi dramatisnya, pura-pura nangis sambil bergelayutan di lengan Edo.
"Najis lo, Nang! Najis!"
"Sekarang kamu gitu Mas sama aku? Kamu pasti punya istri baru kan Mas? Iyakan? Jawab aku, Mas, jawab!"
"Nang, sumpah. Demi segala mahluk yang ada, lo menjijikan. Segitu kurbelnya lo? Kalo lo mau beralih jadi penyuka sesama, jangan sama gue. Gue masih doyan cewek," sergah Edo.
"Gitu aja terus sampe kiamat," Reiza menepuk kepala sahabatnya satu per satu dengan sendok supnya.
□ □ □
Author's note:
Boo-yah! Chapter 2 nih gaes👏 Chapter ini sengaja aku buat pendek karena chapter selanjutnya bakal agak panjang. Biar yg baca nggak jenuh gitu maksudnya.
Don't forget to leave your vote and comment yaaa... thanks
love♡,
author

KAMU SEDANG MEMBACA
That Eyes
JugendliteraturKetika dua tatapan yang beradu, dua hati yang menyatu, membuka sebuah masa lalu yang terlupakan.