Hari ini hujan turun dengan deras. Sekarang baru jam tiga sore, tapi sudah terlihat seperti pukul enam sore.
Embun berdiri di loby sambil memegang erat telepon genggamnya. Gadis itu sedikit merinding berdiri sendirian di loby sekolah dengan keadaan gelap. Keadaan sekolah yang sepi membuat Embun tambah merinding.
"Aduh, Pak Aden kemana sih," gerutu Embun. "Udah pada pulang, lagi."
Baru saja Embun selesai bicara, ada sebuah tangan yang menyentuh pundaknya. Seketika itu juga, ia langsung memejamkan mata.
"Ya lord, gue belom nikah, masih jomblo, belom bahagian orangtua. Tolong jangan bunuh gue," ujar gadis itu. Dalam hati ia ketar-ketir karena mahluk yang menyentuh pundaknya itu tak kunjung melepaskannya.
Lalu terdengar suara orang tertawa. Embun makin ketar-ketir. "Aduh, setannya pake acara ketawa segala. Jangan ketawain gue karena gue bilang masih jomblo dong, Tan."
Tawa mahluk itu malah makin keras. "Jomblo sih jomblo, Mbak. Tapi nggak usah ngatain gue setan juga."
"Lah, kok setan bisa ngomong? Terus kok dia nggak terima dibilang setan?"
"Gue Reiza, bukan setan."
Embun langsung berbalik. Matanya menatap Reiza tajam. "Jadi lo sengaja ngerjain gue? Lo sengaja buat gue takut kan? Iya kan? Ngaku aja lo," selidik Embun sewot.
Reiza menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum. "Kurang kerjaan amat gue ngerjain lo. Awalnya sih mau nawarin tumpangan. Tapi lo nggak mau ya udah," kata laki-laki itu dengan maksud menggoda. Lalu ia beranjak meninggalkan Embun.
"Eh eh, tunggu," kata Embun sambil mencekal pergelangan tangan Reiza. "Kalo bareng lo naik apa?"
"Naik motor," jawab Reiza enteng.
Embun terlihat menimbang-nimbang sejenak. Basah dikit nggak apa deh. Toh besok libur, batinnya. "Gue ikut."
Laki-laki dihadapannya itu tersenyum. Tatapannya yang tajam kini terlihat berbinar. "Yuk," ajaknya.
Sesampainya di parkiran motor, Reiza memberikan helmnya pada Embun. Ia juga menyampirkan jaket parasut hitamnya di pundak gadis itu. Ia sendiri tidak mengenakan jaket ataupun helm meskipun tahu di luar sana hujan masih deras.
Embun sedikit tertegun saat menyadari Reiza memberikan jaket dan helm padanya. Laki-laki itu lebih memilih membiarkan dirinya basah kuyup dan kedinginan. Ia tidak rela gadis yang menjadi pengisi hari-harinya itu sakit.
"Naik," kata itu menyentakkan Embun dari lamunannya. Ia menatap laki-laki itu sebentar lalu naik ke atas motor matic kesayangan Reiza.
Saat pantatnya sudah menyentuh motor Reiza, ia baru ingat jika tadi Pak Aden mengiriminya pesan singkat. Isinya memberitahu Embun kalau jalanan komplek banjir dan mobilnya mogok.
Gadis itu menepuk bahu Reiza. "Ja, gue nggak bisa pulang. Jalanan komplek banjir. Mobil gue aja sampe mogok," kata Embun.
Reiza berpikir sebentar. "Pulang ke rumah gue aja gimana? Nanti kalo ujannya reda, gue anter lo pulang," tawar Reiza.
"Oke."
□ □ □
Kini kedua remaja itu sedang berdiri di dalam rumah dengan gaya minimalis. Tubuh Reiza yang basah kuyup sedikit menggigil. Sedangkan Embun yang notabene lebih terlindungi hanya kedinginan biasa.
"Gue nyalain pemanas air dulu ya. Nanti lo mandi duluan aja," kata Reiza lalu beranjak meninggalkan ruang tamu.
Setelah Reiza pergi, Embun mengamati detail rumah itu. Temboknya berwarna putih tulang dengan perabot kayu. Sebenarnya rumah ini akan terlihat lebih ceria kalau dihuni banyak orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
That Eyes
Teen FictionKetika dua tatapan yang beradu, dua hati yang menyatu, membuka sebuah masa lalu yang terlupakan.