3: [Sisi Lain]

63 17 4
                                    

"Gue jadi nyesel biarin Edo ngajarin Echa main Coc," kata Vania sambil menukar buku di loker.

Embun menoleh dan mendapati Echa sedang berjalan di tengah-tengah lorong loker sambil fokus pada benda persegi di genggamannya. Sampqi-sampai, orang lain yang harus menepi supaya Echa nggak nabrak.

Masih sambil meminkan CoC, Echa berjalan melewati tempat kedua sahabatnya berdiri.

Vania memutar bola matanya malas, "Duh, Cha! Lo tuh kalo jalan liat-liat napa sih? Nabrak loker, kapok lo! Biar nonong sekalian jidat lo!"

Tawa Embun pecah seketika. Di hadapannya Vania sedang ngomel dengan suaranya yang menggelegar sambil menghentak-hentakkan kaki. Sedangkan Echa sudah berbalik dengan pandangan bertanya. Dan tentu saja, mereka jadi bahan tontonan para siswa yang ada di lorong pagi itu.

Vania berjalan meninggalkan Embun dan Echa sambil menyumpah serapah pada Edo yang mengajari sepupunya sendiri main CoC.

"Sinting!" kata Echa.

"Gue denger ya!" teriak Vania

"Bodo! Emang lo edan binti sinting!" teriak Echa tak mau kalah.

Tawa Embun makin meledak. Ia tertawa sambil menyeka air mata dan memegangi perutnya. "Aduh duh, perut gue sakit.  Duluan ya, gue mules nih ketawa terus dari tadi."

Setelah mengunci pintu lokernya, gadis itu melangkah meninggalakan lorong loker. Ia melangkahlan kaki menuju perpustakaan.

Embun berjalan sendirian di koridor menuju perpustakaan. Rencananya, ia akan mengembalikan ensiklopedia yang dipinjamnya beberapa hari lalu.

Sambil terus berjalan, Embun melihat satu-persatu ruangan yang dilewatinya. Ruang seni, band, audio, laboratorium dan masih banyak lagi. Embun tidak melihat genangan air di depannya. Ia terpeleset dan kepalanya membentur tembok dengan cukup keras.

"Aaw!" pekiknya. Kepalanya terasa sakit. Lalu sedetik kemudian, ia tidak ingat apa-apa lagi.

□ □ □

Embun mengerjap-ngerjapkan matanya. Saat membuka mata, yang pertama kali ia lihat adalah atap putih. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dan kaki kirinya nyeri.

"Akhirnya bangun juga," sebuah suara bariton mengejutkannya. Embun menoleh dan mendapati manik abu-abu tua itu sedang menatapnya. Tatapan itu membuat Embun -untuk kesekian kalinya- berusaha mengingat siapa pemiliknya.

"Eja? Ngapain lo di sini?"

"Nungguin lo, bego. Udah pendek, bego lagi," ujar laki-laki itu sambil melipat tangan di depan dada. Embun langsung mengerucutkan bibirnya dan melotot horor, tidak terima dibilang pendek. 

"Apa? Emang kenyataan kan lo pendek?"

"Tau deh. Sebel gue sama lo! Oya, jam berapa sekarang?" kata cewek itu sambil berusaha untuk duduk.

"Setengah jam lagi bel pulang,"  jawab Reiza enteng. Ia membantu Embun untuk duduk dan memberinya segelas air hangat.

Embun langsung menyemburkan air yang diminumnya "What the hell?! Jam dua siang lo bilang? Buset, Ja mampus gue. Tugas biologinya belum gue kumpulin."

Reiza mengernyit. "Mau jadi dukun? Pake acara sembur-sembur air segala," katanya. "Tugas lo dikumpulin besok juga bisa. Daripada mikirin tugas, mendingan sekarang gue anter lo pulang."

Reiza mendekati Embun dan membantu gadis itu untuk turun dari brankar. Laki-laki otu membawakan tas biru muda milik Embun dan membantunya untuk berjalan. Beruntung, ada lift yang digunakan untuk para siswa yang sakit atau membawa banyak barang di LS. Jadi mereka tidak usah susah payah untuk turun dengan tangga.

Sesampainya di parkiran, Reiza menepuk jidatnya. Ia baru ingat kalau dirinya naik motor. Jangan bayangkan motor yang dibawa Reiza itu ninja atau sejenisnya ya. Motornya cuma motor matic biasa, bukan motor keren.

"Gue lupa kalo naik motor. Lo kan nggak bisa naiknya. Naik taksi aja deh, gue pesenin," tangannya bergerak meraih hp di dalam saku celananya.

"Terus motor lo?"

"Biar Edo. Dia kan tiap hari nebeng gue atau Danang. Nggak modal sama sekali," jawabnya.

Reiza membuka obrolan di grup 'The Sangklek Boys'

Reiza Amnon: Do, titip motor ye.

Dionisius Edo: Lah, emang lo kemana?

Danang Ganteng: Lah, emang lo kemana? (2)

Reiza Amnon: Nganter Embun.

Danang Ganteng: Si tolol, si tolol jatuh cintaaah owuowuo~

Read by 2.

Danang Ganteng: Kacang rebus sewu telu, gopek enem.

Read by 2.

Setelah menutup grup obrolannya, ia membuka aplikasi taksi online dan memesannya. "Alamat rumah lo?"

"Perum Semeru blok CC nomer 5-7," jawab Embun.

Reiza mengetikkan sesuatu pada layar hp-nya, menelpon driver taksi, lalu memasukkan kembali benda itu ke dalam saku celananya.

Ia mendudukan diri di samping Embun yang memperhatikan gerak-geriknya dari tadi. "5 menit lagi."

Embun mengangguk. "Btw Ja, lo kok nggak dingin lagi sama gue?"

Reiza menoleh sekilas lalu pandangannya kembali fokus pada deretan motor di depannya. Ia tersenyum. "Gue kalo baru kenal emang gitu. Lo belum pernah liat gue kalo lagi bareng Edo sama Danang. Beneran mirip orang gila yang lepas dari RSJ."

Embun terkekeh. Ternyata Reiza tidak sedingin yang ia kira. Reiza bukan cowok paling tajir atau cucu pemilik sekolah seperti dalam drama-drama yang sering ia tonton. Bukan juga cowok keren yang naik motor ninja ke sekolah. Reiza bukan itu. Ia hanya cowok yang beruntung punya wajah di atas rata-rata. Cowok yang hampir tiap hari menjemput Edo dengan motor matic kesayangannya sejak SMP.

"Udah dateng tuh. Yuk, gue bantu," kata Reiza sambil mengulurkan tangan untuk membantu Embun.

Hari itu, Embun mengerti sebuah sisi lain seorang Reiza Amnom Atmanegara.

□ □ □

Author's note:

Boom! akhirnya update lagi. aku lagi capek latian buat pensi sama ngerjain pr mat. jadi terbengkalailah cerita ini...

jangan lupa vote and comment ya. See you! 😘

love♡,
author

That EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang