4: [Reiza atau Arza?]

51 17 4
                                        

When I look into your eyes, I remember someone else.

-

Taksi yang ditumpangi Embun dan Reiza berhenti di sebuah rumah bergaya jawa yang cukup lebar. Setelah membayar ongkos taksi, Reiza membantu Embun untuk masuk ke rumah.

"Ini rumah lo?" tanya Reiza setelah mereka sampai di ruang tamu.

"Iya," jawab Embun. "Emang kenapa?"

Reiza hanya menggelengkan kepala. "Nggak kenapa-kenapa. Mau gue anterin sampe kamar lo nggak?"

Embun terlihat berpikir sejenak tentang tawaran Reiza. Mengingat dirinya yang masih kesulitan berjalan, Embun akhirnya menyetujui tawaran itu.

"Sini gue gendong," Reiza tiba-tiba mengangkat Embun dan menggendongnya ala bride style.

Embun kaget setengah mati saat tubuhnya terangkat. "Eh, eh. Gila lo, Ja! Turunin, gue bisa jalan sendiri. Eja, turunin atau gue lompat?"

Reiza terkekeh. "Mana bisa lompat, bego? Orang lo gue pegangin. Kalo lo lompat, yang ada gue ikutan jatuh. Mau bayarin obat gue?"

"Nggak!"

Akhirnya Embun pasrah digendong oleh Reiza sampai kamarnya. Laki-laki itu merebahkannya di atas kasur berseprai hitam putih itu.

Keadaan kamar Embun sangat kontras dengan ruang tamu dan interior rumah lainnya. Kamar ini terkesan modern dan luas.

Temboknya warna-warni. Di dekat meja belajar, warnanya biru muda dan biru pupus. Di sekitar tempat tidur, catnya berubah hijau pupus dan hijau daun tua. Di samping kiri tempat tidurnya, ada sebuah nakas kecil berwarna putih. Lalu di atas tempat tidur, ada berbagai foto Embun yang dibingkai pigura hitam berukuran besar hingga kecil.

Deretan foto yang dipajang itu memuat sosok Embun dari bayi hingga sekarang. Ada fotonya di dekat London Bridge, saat naik London Eye, saat musim dingin dan masih banyak lagi.

"Lo pernah ke London?" tanya Reiza setelah 10 menit bungkam.

"Gue tinggal di sana lebih tepatnya. Terus barusan aja balik ke sini," jelas Embun.

Reiza manggut-manggut paham. "Kalo yang itu, pas kapan dan dimana?" tanyanya lagi sambil menunjuk foto seorang gadis kecil dengan pakaian adat Jawa. Di belakangnya, terlihat sebuah rumah mewah bergaya joglo dengan ukiran-ukiran rumit pada kayu dan pilar-pilarnya. Di sekitar rumah itu terlihat berbagai jenis tumbuhan.

Embun ikut melihat foto yang ditunjuk oleh Reiza. "Ooh.. itu pas gue kecil. Di rumah keluarga di Jogja. Gue suka banget rumah itu. Luas, rindang dan jauh dari hiruk-pikuk kota," jawab Embun.

"Lo.. ningrat?"

"Bu-bukan kok.. gue bukan ningrat," kata Embun sedikit gelagapan. Dalam hati ia bersyukur Reiza tidak menatapnya saat mereka bicara tadi.

Matanya melirik laki-laki yang sedang mengamati koleksi fotnya. Wajahnya terlihat serius. Seperti sedang berpikir keras.

"Gue.. kayak pernah lihat rumah itu. Gue ngerasa kayak pernah ke tempat lo berdiri di foto itu," kata Reiza tiba-tiba. Ia menoleh dan menatap Embun. Manik abu-abu itu juga pernah ia lihat sebelumnya. Tapi sama seperti nasib rumah di foto itu, Reiza bahkan tidak ingat apapun.

Embun membalas tatapan Reiza. Ia seperti tidak bisa mengalihkan pandangannya. Lalu sekelebat memori terlintas di otaknya.

~flashback on~

Jogjakarta, Juni 2007

Dua orang anak kecil terlihat sedang berlari-larian sambil tertawa. Si anak laki-laki berusaha menghindari kejaran gadis kecil di belakangnya.

That EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang