Sudah tiga hari sejak Reiza mengantarkan Embun pulang. Laki-laki itu juga sudah melupakan masalah rumah joglo di kamar Embun.
Ia melangkah menuju ruang kelasnya. Begitu masuk, yang didapatinya adalah sosok gadis mungil yang duduk di deretan paling belakang sambil berkutat dengan buku-bukunya. Sebuah senyum tipis terukir di wajah Reiza saat melihat Embun.
Kelas nggak sepi lagi, yes, katanya dalam hati.
"Hai," sapanya saat sampai di bangkunya. Gadis yang disapa hanya menggumam sebagai balasan dari sapaan barusan. Tangannya masih asyik mencoret-coret, membuat busur dan garis-garis di buku matematikanya. Lalu ia beralih pada buku fisika dan sibuk menghitung soal dengan Hukum Newton.
"Hah, akhirnya selesai juga," kata Embun lega. Ia membalikkan tubuh, maksudnya hendak memasukkan buku ke dalam tas. Tapi jantungnya langsung mencelos saat melihat Reiza sudah duduk manis di sebelahnya. "Demi pantat kerang ya, Ja, lo tuh kalo dateng bilang-bilang napa sih? Jantungan gue, ya lord."
Reiza yang sedang meminum jus jeruk buatan ayahnya tadi pagi langsung nyembur kayak selang PMK begitu mendengar teriakan Embun tepat di telinga kirinya. "Uhuk, uhuk. Aduh hidung gue sakit. Cecep, minta tissue! Astaga idung gue," keluh Reiza.
Belum habis sakit di hidungnya, Reiza sudah kena semprot si Rani karena atraksi sembur-menyemburnya barusan. "Ejaaaa!! Kampret lo! Tugas bahasa gue kecipratan semburan ala PMK lo! Eja bodaat!" teriak Rani histeris sambil mencak-mencak kayak rocker.
"Maap Ran, nggak sengaja." Rani hanya melengos sambil mendengus jengkel.
Setelah selesai mengelap hasil karyanya dengan tissue pemberian Cecep, -yang bernama asli Devian- ia langsung menoleh ke arah Embun dengan yang sedang memegangi perutnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Gara-gara elo nih!" ujarnya sewot. "Jus buatan bokap gue itu enak. Gara-gara lo gue jadi nggak bisa minum dengan tenang."
Embun terkikik sambil membentuk huruf v dengan jarinya. "Ekspresi lo tadi lucu banget."
"Never mind. Pulang sekolah mau latian nggak? Nanti gue anter pulang," kata Reiza sambil melirik sekilas gadis sampingnya.
Embun langsung semangat mendengar kata latihan. "Boleh tuh. Bayarin gue makan juga ya."
"Udang di balik batu."
"Mendingan gue jadi udang daripada selang PMK hahahaha.."
"Tai."
"Goreng."
"Enak," sambung Reiza yang mulai cekikikan.
"Dimakan sama Eja," ledek Embun.
"Lo aja, gih. Gue masih doyan nasi," sahut Reiza jijik.
"Salah siapa bilang tai goreng enak?" jawab Embun yang masih tidak mau kalah. Gadis itu memasang senyum kemenangan sambil menaik-turunkan alisnya saat melihat kekesalan Reiza.
"Sebahagia lo deh."
"Tapi traktir ya?"
"Hmm."
□ □ □
Sesuai perkataan Reiza tadi pagi, kedua remaja itu kini tengah berada di ruang audio untuk latihan. Lagu yang dipilih Embun adalah I Dreamed a Dream versi Susan Boyle.
Dentingan piano mulai memenuhi ruangan, lalu ditambah dengan suara merdu yang menyentuh hati.
"I dreamed a dream in time gone by
When hope was high and life worth living.
I dreamed that love would never died
I prayed that God would be forgiving.
Then I was young and unaffraid
When dreams were made and used and wasted.
There was no ransom to be paid
No song unsung, no wine untasted," suara Embun memenuhi ruangan. Menyentuh setiap orang yang mendengarnya, termasuk Reiza. Lirik lagu itu sedikit banyak menyentuh hatinya."But, the tigers come at night
With their voices soft as thunder.
As they tear your hopes apart
And they turn your dream to shame." setetes demi setetes air mulai mengalir di pipi Embun. Ia mengingat Arza lagi. Bocah laki-laki yang memberinya nama baru, menjadi teman bermain sekaligus tamengnya saat dimarahi Mbok Darmi. Seseorang yang tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi."Still I dream he'd come to me
And we will end the years together.
But there are dreams that cannot be
And they are storm we cannot weather.
I have a dream my life would be
So diffrent from this hell I'm living.
So diffrent now from what it seems.
Now life has killed the dream I dreamed," setelah menyelesaikan bait terakhir lagunya, Embun terduduk. Air matanya terus mengalir. Gadis itu tidak bisa membendung kesedihannya. Perasaan itu datang lagi. Rindu yang setengah mati dilupakannya kini kembali.Reiza menatapnya dari kursi piano. Lalu tanpa sadar bergerak mendekati Embun, menarik gadis itu ke dalam pelukannya, membiarkan air mata gadis itu membasahi seragamnya.
"Nangis aja. Nangis aja sepuas lo," kata Reiza sambil menepuk pelan kepala Embun.
"Dhisti kangen Arza.. kamu dimana Za? Dimana?" tanya Embun disela tangisannya.
Kalimat Embun barusan membuat lelaki yang memeluknya sedikit tertegun. Arza, nama itu tidak asing baginya. Tapi ia berusaha untuk tidak menghiraukan nama itu dan fokus pada Embun.
Setelah beberapa menit, barulah tangis Embun mereda. Hidung dan matanya memerah, tanda ia cukup lama menangis. Embun merasakan sebuah tangan menepuk-nepuk pelan kepalanya. Lalu ia mendongak dan mendapati laki-laki mancung itu sedang mendekapnya.
"Makasih, Ja," gumam gadis itu.
Reiza tersenyum samar. "Sama-sama. Kata bokap, kalo ada cewek nangis harus dipeluk. Biar nangisnya nggak tambah parah," ujar Reiza.
Embun tertohok. Kata-kata itu hampir sama dengan yang diucapkan Arza padanya dulu. "Kata Papa, kalau ada cewek yang nangis harus dipeluk, Dhis. Katanya biar nggak nangis lagi gitu."
Gue benci lo, Arza.
□□□
Author's note:
Hulaaaaa baru sempet update lagi nih. Acaranya padet banget. Part ini aja update nya di kereta pas perjalanan pulang dr liburan. Jadi mohon maklum ye.. hehehe
Buat kalian yang udah baca, jgn lupa tinggalin jejak berupa vote and comment ya! Ma acih.

KAMU SEDANG MEMBACA
That Eyes
Teen FictionKetika dua tatapan yang beradu, dua hati yang menyatu, membuka sebuah masa lalu yang terlupakan.