Reiza sedang menukar buku-bukunya di loker pagi ini sambil mendengarkan obrolan bodoh kedua sahabatnya. Mereka berdua sedang memperdebatkan alasan mengapa rambut Bu Inah,
si guru BK —yang keriting banget itu— selalu terlihat njegrak saat sedang marah."Pokoknya menurut gue Bu Inah itu kalo lagi marah mengeluarkan magnet. Nah magnet yang dikeluarin itu yang bikin rambutnya njegrak. " kata Edo dengan semangat. Kalau dilogika, mana ada manusia mengeluarkan magnet saat marah?
"Apaan teori lo. Beneran juga teori gue. Rambutnya Bu Inah itu pasti pada takut pas doski marah. Jadinya berdiri-berdiri gitu. Berusaha lari tapi ketahan sama akar rambutnya. Lagian, para rambut pasti mikir, kalo mereka pada kabur, kasian dong Bu Inah nggak punya rambut." Nah, ini teori yang lebih pengawuran lagi.
Mendengar teori yang dilontarkan Danang barusan —tentang rambut yang kabur— Reiza langsung menepuk jidatnya.
"Heh, sangklek lu pada! Mana ada teori kayak gitu," ujarnya sambil menoyor kepala dua sahabatnya.
"Ini buktinya ada," jawab keduanya berbarengan. Edo langsung melirik Danang sinis dan begitu pula sebaliknya.
"Apa liat-liat?!" ternyata barengan lagi.
"Plagiat!" teriak mereka bersamaan.
Sedangkan dihadapan dua mahluk yang sedang debat nggak jelas ini, Reiza berdiri sambil melongo. Tololnya kelihatan banget.
Lalu sejurus kemudian, ia menepuk bahu kedua temannya sambil tersenyum penuh arti. "Kalian memang jodoh, nak."
"Setan jungle lo, Ja!" Reiza langsung lari menuju kelasnya.
"Eh anak kambing, balik lo!" teriak Edo.
Reiza memutar tubuhnya, berjalan mundur sambil balik berteriak "Gue bukan anak kambing! Gue anaknya Pak Adi!"
Bruk!
Laki-laki itu langsung terjengkang kebelakang. Bersamaan dengan mendaratnya tubuh Reiza, sebuah rintihan terdengar.
"Aaaww.."
Reiza langsung tersentak begitu mendengar suara yang sebulan terakhir ini menemani hari-harinya.
Tapi saat matanya terbuka, ia mendapati bahwa bibirnya dan bibir Embun hanya berjarak kurang dari dua centi. Deru napas Embun terasa menggelitik di wajahnya. Gadis itu terlihat memejamkan mata rapat-rapat, menampilkan ekspresi lucu bercampur takut.
Reiza membeku. Wajah takut yang familier. Ia berusaha mengingat-ingat dimana ia pernah melihat wajah Embun sampai lupa untuk berdiri.
"Ja, lo berat." suara yang keluar dari bibir tipis itu seakan menyadarkan Reiza dari lamunannya.
Ia cepat-cepat berdiri. "Eh, maaf Bun. Gue nggak sengaja. Maaf maaf," katanya. Tangannya terulur untuk membantu Embun berdiri.
Gadis itu meraih tangannya dan bangkit berdiri. Tangannya yang kecil menepuk-nepuk roknya yang sedikit kotor. "Badan lo tuh berat, Ja. Ini udah kedua kalinya lo nabrak gue sampe jatoh. Dan kali ini, lo nindihin gue," kata Embun. Gadis itu seperti berusaha untuk menghindari kontak mata dengan lelaki dihadapannya.
"Maaf, gue nggak sengaja. Tadi nggak kelihatan kalo ada elo," ujar Reiza. Terdengar nada penyesalan dibaliknya.
Embun yang sudah selesai membersihkan roknya masih tetap menunduk. Ia berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Entah mengapa, sejak laki-laki berkulit pucat ini memeluknya di ruang audio seminggu yang lalu, jantungnya seakan berdetak lebih cepat setiap kali mereka bersama.
"Ekhem.. Mas, mbak tolong dikondisikan ya. Sini jomblo," ucapan Danang mengejutkan keduanya. Reiza ikutan berdeham sedangkan Embun terlihat salah tingkah.

KAMU SEDANG MEMBACA
That Eyes
Novela JuvenilKetika dua tatapan yang beradu, dua hati yang menyatu, membuka sebuah masa lalu yang terlupakan.