a part of another GIFT 3

802 55 0
                                    

Bagi readers nim yang sudah membaca another GIFT 3 sampai bertemu "tbc" di akhir chap bisa langsung skip ke another GIFT 4.

Chap ini bagi reader nim yang di chap sebelumnya tidak bisa membaca sampai akhir karena mungkin Tuhan belum mengijinkan.

Ini saya re up, semoga bisa menghilangkan kekecewaan reader nim sekalian.

Terimakasih, selamat membaca. 😊


Dengan tenang Donghae mengikuti langkah Kepala Polisi Jeon menuju ruang interogasi. Dia tidak lagi mencemaskan kemarahan Yesung, karena Yesung tidak pernah bisa berlama - lama marah padanya.


"Apa lagi yang kalian inginkan? " kami di sambut suara berat Kang In yang mengintimidasi. Ah, lebih tepatnya hanya Donghae yang terintimidasi. Karena Kepala Polisi Jeon sama sekali tidak bergeming, wajahnya masih datar tanpa ekspresi, sama sekali tidak ada gurat ketakutan di sana.


Hey takut?  Ayolah, dia seorang Kepala Polisi yang telah menghadapi berlusin - lusin orang seperti Kang In bahkan banyak yang lebih kejam darinya.


Terbukti...


PLAKK...


Setelah memberi kode untuk mematikan cctv di ruang itu, pukulan tangan kiri Kepala Polisi Jeon yang terkenal pun berhasil mendarat mulus pada pipi kanan Kang In.


Kangin mengernyit menahan sakit di kepalanya, pandangannya yang masih berkunang - kunang mencoba mengarah pada Donghae yang duduk persis di depannya. Sedangkan Donghae hanya bisa memalingkan wajahnya, menghindari sorot tajam Kang In. Tatapan itu sungguh membuat Donghae tidak nyaman.


BRAKK...


"Tutup mulutmu, dan turunkan pandanganmu darinya. "


Sekali lagi, Donghae hampir melompat dari kursinya, karena kaget.  Dia hela nafasnya berat, situasi ini, sungguh dia sangat membencinya. Ingin dia segera berlari keluar, keluar dari zona krisisnya, menjauh dari sosok setipe Kepala Polisi Jeon dan Kang In.


"Hahh... Kepala Jeon? " Suara Donghae bergetar di tambah dengan nafasnya yang terasa begitu berat. Tidak ingin berlama - lama di tempat itu, dia berusaha menyadarkan Kepala Jeon akan apa yang jadi tujuan awal mereka di sana.


"Owh, mianeyo. Gwenchanayo? " Kepala Jeon reflek mengelus pelan punggung Donghae ketika melihat  remaja penuh anugrah itu terlihat kesusahan bernafas. Begitupun Yesung dan ketiga rekannya, mereka sama khawatirnya melihat maknae mereka.


"Gwenchanayo... Kepala Jeon. " bohong, Donghae tidak baik - baik saja sekarang.


"Kita mulai sekarang? Apa yang kau butuhkan? "


"Duduklah Kepala Jeon! " Donghae bangkit dari duduknya, dengan tangan gemetar berpegangan pada pinggiran meja untuk menopang tubuhnya. Iya, hanya ada 2 kursi di sana dan salah satunya sudah ada Kang In di atasnya.


Donghae melepas sarung tangan kirinya, setelah itu mengepalkannya erat. Dia memantapkan hatinya, bagaimanapun kondisinya sekarang dia harus berhasil menunjukan pada Kepala Polisi Jeon, dia harus berhasil memenjarakan Kang In. Tentang siapa pembunuh yang terakhir muncul dan membuat semuanya seakan kembali ketitik awal, kacau berantakan, dia akan mencari tahu setelahnya.


Semoga Donghae mampu mengatasinya.


"Anda siap Kepala Jeon? " kini giliran Kepala Polisi Jeon yang berkeringat dingin, beliau mengangguk singkat. Donghae tersenyum mendapati tangan besar berotot milik Kepala Kepolisian Seoul itu berkeringat dingin, Donghae membawanya ke atas punggung tangan kiri Donghae.


"Anda akan baik - baik saja Kepala Jeon, jangan khawatir. " hanya ini yang bisa dilakukan Donghae ketika tangan kanan Kepala Jeon menguatkan genggamannya pada tangan kiri Donghae.


Sedangkan Kang In yang melihat interaksi Donghae dengan Kepala Jeon sedikit mengerutkan dahinya, dia kaget dan reflek menarik kedua tangannya yang terborgol di sentuh tangan kanan Donghae tiba - tiba. Donghaepun sama kagetnya.


"Ahh, mianheyo Kang In ssi, ini tidak akan lama. Bolehkah? " Kang In yang sama sekali tidak tahu apa yang akan dilakukan Donghae hanya menyodorkan tangannya mendekat ke arah Donghae yang telah begitu sopan meminta ijin padanya. Masa bodoh dengan Kepala Polisi Jeon yang masih memejamkan matanya rapat, dia juga tidak ingin mendapatkan perlakuan bar - bar dari Kepala Polisi itu.


Kang In tidak bereaksi ketika tangan kanan Donghae dipergelangan kirinya, gemetar, dia tahu Donghae sama takutnya dengan Kepala Jeon sekarang, tapi dia tidak tahu apa yang mereka takutkan.


HUFTT....


Donghae menghela nafasnya panjang, dan dalam. "Kita mulai sekarang Kepala Jeon, " belum sempat mendapat jawaban dari atasannya itu, Donghae angkat tangan kirinya keatas tangan Kang In yang bersatu karena borgol. Kini tangan kiri Donghae bersatu di tengah - tengah tangan Kepala Jeon dan Kang In.


Kepala Jeon mulai bereaksi, dia hampir menarik tangan kanannya cepat, berakibat decitan keras antara kaki kursi dengan lantai, namun tangan kanan Donghae berhasil menahannya lebih dulu. Suasana berubah begitu menegangkan, pun di ruang sebelah, di mana Yesung dan rekan - rekannya berada.


"Hah... Hh... Ta... han sebentar lagi.. Hah... Kepala Jeonhh.. Hah.. Sedikit lagi. " kini suara desahan nafas berat Donghae dan Kepala Jeon terdengar semakin keras dengan keringat dingin yang bercucuran di dahi mereka.


Bola mata Kepala Polisi Jeon bergerak gelisah di balik kelopaknya, nafasnya semakin memburu dengan raut wajahnya yang mulai pucat. Beliau menerima vision, Donghae berhasil mengirimnya.


Donghae mulai lemas, ini sudah lebih dari 15 detik, pegangannya pada Kepala Polisi Jeon melemah. Dengan sigap Kepala Polisi Jeon memanfaatkannya, beliau tarik tangan kanannya, ingin segera lepas dari tautan itu, dari vision yang begitu memberi beliau efek mengerikan.


Yesung kalap, dia berlari brutal menuju Donghae.  Pikirannya kacau sekarang.


Donghae jatuh terduduk di lantai, kepalanya seperti akan pecah, darah mulai keluar dari hidungnya membasahi masker putih yang dikenakannya,  membuat dia semakin sulit bernafas.


"Hah... Hh... Hah... Hh" Donghae coba bernafas melalui mulutnya. Percuma. Paru - parunya seakan membeku, bronkusnya seperti menebal mempersempit jalan masuknya oksigen. Donghae pasrah, dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi, kegelapan akhirnya menjemputnya.


Kang In berdiri dari duduknya kaget, dia melihat Donghae tergeletak tidak sadarkan diri, masker putih yang dikenakannya telah ternoda oleh darah.


Tidak jauh berbeda dengan Kepala Polisi Jeon, matanya membulat penuh melihat keadaan Donghae.


"Donghae ya... " dengan keseimbangannya yang masih buruk Kepala Polisi Jeon menghampiri Donghae, membawa kepala Donghae ke atas pangkuannya, membuka maskernya dan membersihkan darah yang masih saja mengalir dari hidungnya.


BRAKKK...


Yesung masuk dengan kasar, dia ambil alih Donghae dari pangkuan Kepala Polisi Jeon. Air matanya mengalir begitu saja walau tanpa isakan, sakit rasanya ketika melihat Donghae dalam keadaan yang... Hah... Yesung tidak bisa berpikir saat ini. Tangannya gemetar hebat, ototnya melemas, hilang kemana semua tenaganya, dia bahkan tidak bisa megangkat Donghae yang jauh lebih kecil darinya. Yesung marah pada dirinya sendiri, berulang kali dia mencobanya, Donghae tetap tidak bisa terangkat olehnya.


Bersyukur pada detektif Ahn yang segera menyusul Yesung, dia bantu mengangkat tubuh Donghae ke punggung Yesung. Membenahi jaket dan menyembunyikan kepala Donghae yang tergolek lemah di dalam hoodynya. Hanya detektif Ahn yang masih bisa berfikir jernih di sini, masih terlintas di benaknya untuk menjaga jati diri Donghae.


Seperginya Yesung, detektif Ahn membantu Kepala Polisi Jeon yang mencoba bangkit dari duduknya, bangkit dari rasa terkejutnya, kilasan - kilasan vision yang Donghae kirim masih berputar - putar di otaknya, nampak jelas, terang, dan gamblang. Beliau mencoba berdiri tegak, membenahi kemeja putihnya yang telah kusut dan sedikit kotor karena darah Donghae.


"Kirim kriminal sialan ini ke Kejaksaan sekarang juga! "

Donghae berhasil meyakinkan Kepala Polisi Jeon.





***





Hampir 1 jam lamanya Yesung berteman dengan dingin malam rumah sakit, berantakan sudah penampilannya, kaki dan tangannya masih gemetar, tak karuan apa yang dirasakan hatinya.


Duduk sendirian di kursi dingin di ujung lorong rumah sakit mengingatkannya pada masa lalu, dimana dia harus kehilangan satu - satunya keluarga yang dia punya. Rasa sakit itu, Yesung mengingatnya kembali, merasakannya lagi, rasa yang benar - benar menyiksanya.


Kali ini dia tidak bisa terpuruk, tidak boleh, Donghae membutuhkannya. Namun akal sehatnya belum kembali sepenuhnya, apa yang harus dia lakukan, haruskah dia menghubungi Hyukjae, dia belum mampu memutuskannya. Yesung usap wajahnya kasar, dia harus melakukan sesuatu, putusnya.


Yesung menemukan kontak Hyukjae di smartphonenya, namun sebelum dia sempat menyentuh tombol dial,


SSSREEKK...


Pintu UGD terbuka.


"Uisanim bagaimana keadaan adik saya? " Yesung melupakan smartphone dan Hyukjae, menyongsong seorang dokter muda yang menangani Donghae.


"Tidak ada yang serius, dia akan baik - baik saja setelah cukup istirahat. " penjelasan dokter seperti angin yang bertiup dengan lembut di hati Yesung, menyejukan hatinya yang tengah kalut, dan memberi ketenangan.


"Hah... Terimakasih uisanim. " kini Yesung bisa tersenyum lega, dia membungkuk dalam mengantar kepergian dokter muda itu. Tidak peduli lagi kalo ternyata dia lebih tua dari dokter yang kini telah menghilang di belokan lorong rumah sakit.





***





"Hyung kapan aku boleh pulang? Sudah lebih dari 50 jam aku hanya tiduran di sini, ini benar - benar membosankan hyung. "


Entah ini rengekan Donghae yang keberapa, Yesung telah kehilangan hitungannya. Sejak dia bangun dari 11 jam tidurnya, hampir setiap jam dia menanyakan hal yang sama, kapan dia bisa pulang. Selalu mengutarakan alasan sejenis, bahwa dia harus menyelesaikan kasusnya yang sampai sekarang belum ada kemajuan signifikan, kalau dia ingin melihat langsung TKP, dan alasan lain yang setipe.


"Hahh... Apa kau sudah merasa baikan?"


"Ne hyung, aku sudah baikan. " Yesung menghela nafas ketika Donghae dengan cepat mengangguk menjawab pertanyaannya sambil tersenyum dan mengerjapkan matanya lucu.


'Baikan katamu? Bercerminlah, dan lihat sendiri wajah super pucatmu itu Hae ya! Bahkan kau belum bisa makan dengan benar, dan terus memuntahkannya karena mual.' Tapi sayang Yesung hanya bisa merutuk dalam hati, tidak sampai hati kalau dia harus memarahi anak orang yang tinggal jauh di perantauan.



"Hyung kenapa diam? " Donghae melambaikan tangan kirinya yang terpasang infus di depan wajah Yesung, mencoba menyadarkannya.


"Baiklah kalau begitu kita bawa kasusnya kesini. " Yesung menghentikan aktifitas Donghae, menurunkan tangan kurus itu perlahan takut - takut kalau tangan Donghae akan bengkak karenanya.


"Huh? Benarkah hyung? "

"Tentu saja Hae ya. "

"Janji? "

"Janji. "





***





Yesung memang berjanji, pasti dia akan menepatinya, tapi tidak seketika itu juga. Dia sengaja menunggu keadaan Donghae stabil. Yesung menulikan telinganya dari segala macam tuntutan Donghae tentang Yesung yang pembohong, dia yang tidak menepati janjinya, bahwa Donghae membencinya, dan mengancam akan kabur dari rumah sakit, semua kicauan Donghae dia sabar mendengarnya.


Sanksi pada sikap Donghae yang tidak biasa? Jangan! Karena memang begitulah sikap asli Donghae. Perubahan sikapnya selalu menyesuaikan pada situasi yang sedang dia hadapi. Benar - benar namja tampan yang langka.


Hari ini keadaan Donghae berangsur membaik, wajahnya mulai berbinar tidak sepucat dulu, pola makannya pun kini lebih baik, tidak lagi memuntahkan makanannya. Yesung berencana untuk membayar hutang janjinya pada Donghae hari ini.





***





"Oh hyung, kau menepati janjimu hari ini? " ucap Donghae tiba - tiba di sela makan siangnya. Wajah yang semula cemberut itu berubah riang dalam sekejap. Belum sempat Yesung mengatakannya, Donghae sudah mengetahuinya lebih dulu.


"Iya, cepat habiskan makan siangmu, kita akan mulai bekerja hari ini. " Yesung gemas melihat tingkah kekanakan Donghae, mungkin setelah ini dia akan merindukan Donghae yang menggemaskan, karena dia akan segera berubah menjadi mode dewasanya ketika dihadapkan pada sebuah kasus.


Tok..

Tok..

KLEK..

"Donghae ya... Aku datang berkunjung. " suara detektif Nam membahana meramaikan suasana rawat inap yang semula hanya di huni oleh dua namja itu.


"Sudah seharusnya. Kau hanya datang sekali hyung selama aku di rawat di sini, jadi jangan berlebihan. " skak mat, detektif Nam hanya bisa mendengus kesal, tapi juga merasa bersalah karena tidak bisa sering - sering mengunjungi Donghae.


"Wah noona apa kau membawa sesuatu untuk ku? "


"Tentu saja Donghae ya, noona mianhe karena jarang mengunjungimu. " detektif Go menyodorkon sebuah paperbag berisi bantal nemo berukuran sedang untuk Donghae. Senyum lebar Donghae mengembang, menandakan dia sangat menyukai hadiah dari detektif Go. Donghae memeluknya ceria, dan merasakan kelembutan pada tangannya, wah dia sangat menyukainya.


"Gomawo noona, kau memang yang terbaik. " ini pujian sekaligus sindiran Donghae untuk detektif Nam, karena gesture Donghae menunjuk ke arah detektif Nam ketika mengatakannya. Detektif Nam yang menyadarinya mulai kesal, malas meladeni Donghae yang kekanak - kanakan, dia lempar tubuhnya ke sofa di sebelah Yesung yang sudah duduk bersandar di sana.


Kecerian Donghae tidak bertahan lama, karena wajahnya berubah serius ketika melihat detektif Ahn yang memasuki ruang inapnya.


"Ayo kita mulai sekarang. " gumamnya pelan. Donghae merasa begitu bersemangat kali ini, tubuhnya sudah sepenuhnya sehat, begitu yang dirasakannya. Waktunya untuk bermanfaat untuk orang lain, teriak Donghae dalam hatinya bersemangat.


Detektif Ahn yang mendengar apa yang di gumamkan Donghae menjawabnya dengan anggukan misterius ala detektif Ahn.


"Jasad korban terakhir di temukan di lingkungan yang sama dengan ke 9 jasad yang tidak muncul di vision yang kau dapatkan dari Kang In Hae ya. Di hutan, di Wolgye - ru, Gongbuk - gu. " detektif Go mengambil jeda.


"Identitasnya? " sela Yesung.


"Kim Nana, 23 tahun, mahasiswa di Universitas Seoul. Lebih lengkapnya bisa anda pelajari dari sini Yesung sunbae. " detektif Nam menjawab pertanyaan Yesung.

"Luka, alat, dan metode sama persis dengan korban terdahulu. Begitu juga latar belakang korban yang sama sekali tidak ada hubungan dengan yang lain, acak, membuat kami kesulitan menemukan pola yang terbentuk. "

"Namun ada satu kejanggalan... "

"Tolong perlihatkan padaku noona, " detektif Go tidak perlu menjelaskan lebih lanjut, karena Donghae telah mengetahuinya.

Dalam sebuah kantong klip plastik putih transparan khas tempat menyimpan barang bukti terdapat sebuah pisau kecil panjang berlumuran darah, setelah di amati lebih lanjut mata pisaunya berada di kedua sisinya.


"Darah korban, dan pisau milik pelaku. " lirih Donghae, matanya tertuju pada barang bukti mengerikan yang tergeletak di depannya. Entah apa yang dipikirkannya, ekspresi dan matanya selalu sulit untuk diterka.


"Yesung hyung, bolehkah? " Donghae membutuhkan persetujuan Yesung kali ini, mengingat bagaimana kondisinya sekarang.


"Kau harus tahu kapan waktunya berhenti Donghae ya, jangan memaksakan dirimu. "


Donghae mengangguk kecil.


"Noona bisa kau tolong, " tahu apa yang akan di pinta Donghae, detektif Go membantunya sebelum dia menyelesaikan permintaannya. Detektif Go mengenakan sarung tangan sebelum mengeluarkan pisau itu, tidak ingin sidik jarinya merusak barang bukti. Dia letakan di atas plastiknya, takut mengotori meja makan Donghae dengan noda darah kering yang masih menempel di sana.


Bicara mengenai sidik jari, bagaimana tentang sidik jari Donghae yang menempel pada barang bukti setiap dia menyentuhnya? Biarkan orang yang paling berpengaruh, dan berkuasa yang akan mengaturnya. Hidden tim bergerak tepat di bawahnya, tanpa birokrasi panjang yang penuh kecurangan, tanggung jawab penuh langsung padanya, pada Kepala Polisi Jeon.


"Aku mulai sekarang. " suara Donghae pelan dan sangat tenang, namun tetap sampai ke telinga rekan - rekannya. Suasana berubah menegangkan seketika.


Tangan kiri Donghae yang masih terpasang infus terangkat ke atas pisau berlumuran darah itu, sangat perlahan, ujung telunjuknya menyentuh gagang hitam pisau, jari tengahnya tepat diatas noda darah yang telah mengering, ujung jari manis dan kelingkingnya meraba dua mata pisau di masing - masing sisinya.


Pandangan ke empat rekannya tidak lepas dari Donghae. Mereka berada dalam posisi siaga, andai sewaktu - waktu Donghae membutihkan mereka.


Mata Donghae terpejam rapat dengan bola mata yang bergerak gelisah di dalamnya, dahinya berkerut kemudian.


"Siapa kau? " Donghae hanya bergumam, nafasnya mulai berat dan tersengal dengan keringat yang berhasil membasahi dahi dan poninya.


"Cukup Hae ya. " Donghae tersadar, dia reflek mengangkat tangan kirinya, hingga darah naik ke selang infusnya, nafasnya masih tersengal seperti tengah berlari mengelilingi lapangan bola.


"Aku hah..  tidak bisa hah..  melihatnya hyunghh. " matanya berubah sendu mengarah pada Yesung. Donghae bingung, takut, sekaligus khawatir. Apa yang terjadi padanya, siapa yang dia hadapi, ini pertama kalinya terjadi pada Donghae.


"Apa maksudmu Hae, atur nafasmu, dan jelaskan pada kami. " detektif Ahn menenangkan.


"Aku mendapatkan visionnya, dia yang membunuh ke 9 korban terdahulu. Tapi, hah... Hah... Aku tidak bisa melihatnya hyung dan tidak bisa menemukannya dimanapun. Aku kenapa hyung? " Donghae mulai panik, asmanya menyerang. Dengan sigap detektif Nam membantunya memakai masker oksigen.


Yesung, detektif Ahn, Nam, dan Go hanya saling pandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sesekali mereka melihat ke arah Donghae yang lagi - lagi tergeletak lemas diatas brankarnya.


Apa yang menghadang jalan mereka kali ini?

tbc

another GIFT [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang