Ayah

22 7 1
                                    

Ayahku adalah orang yang hebat. Ia adalah seorang pilot. Ya, pilot. Bukan awak kabin, bukan pramugara, bukan co-pilot.

Ayahku adalah orang yang sangat sibuk. Hampir tiap hari ia harus bekerja. Di meja kerjanya penuh dengan peta, kertas yang menunjukkan titik koordinat, dan berbagai barang asing yang tak kuketahui namanya.

Ayahku jarang bisa meluangkan waktunya untukku. Ibu sudah lama meninggal. Untungnya, aku sudah menginjak usia remaja sehingga aku bisa mengurusi banyak hal secara mandiri. Aku sering memasak sarapan untuk ayah. Ayah memujiku. Senyumnya secerah matahari. Aku jarang bisa memasakkan makan siang dan makan malam untuknya, karena pada jam-jam tertentu beliau baru pulang.

Lalu, suatu hari.

Ayah tidak pulang-pulang.

Kenapa? Padahal ayah berjanji akan pulang pukul 15:30.

Ayah juga menyuruhku membuatkan makanan kesukaannya, kentang tumbuk.

Aku membuka ponselku, mencoba menelpon ayah, mengirim pesan kepada ayah, dan berbagai usaha lain untuk menghubungi ayah. Namun, mendadak ada sebuah pesan masuk yang memperingatkan bahwa pulsaku habis.

Sial.

Aku berlari keluar rumah, menghampiri minimarket terdekat untuk membeli pulsa. Ketika penjaga kasir menanyakan padaku berapa nomerku, sebuah berita di televisi menarik perhatianku.

Ayahku. Pembawa berita di televisi itu menyebut nama ayahku. Lalu, sekilas lewat ada rekaman video pesawat yang bagian lambungnya rusak berat, sebagian terbakar.

Astaga.

Tidak mungkin.

"Maaf, Nona. Berapakah nomor ponsel anda?"

"Tidak. Maafkan aku, aku tidak jadi membeli."

Ayah ....

Ayah!

•••

Ayah berbaring di atas kasur rumah sakit. Kulit gelapnya tampak semakin gelap, redup. Ada airmata mengalir di mata kanannya. Mata kirinya sepenuhnya tertutup oleh perban. Tulang pengumpilnya patah, otot di sekitar bahu dan pergelangan tangannya tertarik. Untuk sejauh ini, kata dokter ayahku tak mengalami cedera berat. Bahkan dokter itu bisa-bisanya tertawa sambil mengatakan kalau ayahku sungguh ajaib bisa selamat dari kecelakaan pesawat itu tanpa luka berat.

"Ada enam orang yang tewas dari 102 orang," papar ayah dengan airmata bercucuran, bercampur dengan darah dan keringat.

"Aku gagal menjadi seorang pilot, nak."

"Ayah ... ayah tak benar."

"Ini semua kesalahan ayah."

Aku terdiam. Lalu, ada banyak orang yang mengunjungi kamar ayah. Salah satu dari mereka memanggilku untuk bicara empat mata dan memberiku kertas berisi rincian kecelakaan.

"Lima jam yang lalu, kami meminta petugas medis mengambil sampel darah seluruh awak kabin dan penumpang pesawat. Dalam kasus ini, sampel ayahmu mengandung 0, 24 persen alkohol."

"Tunggu ... apa maksudnya?"

"Amerika adalah negara yang paling ringan dalam memberi hukuman kepada pengemudi mabuk. Orang yang dalam darahnya mengandung 0, 08 persen alkohol lalu dia mengemudikan mobil atau sepeda motor saja terkena hukuman paling berat 12 tahun penjara. Kau mengerti artinya?"

Keringat dingin di pelipisku mengalir.

"Selain alkohol, ditemukan juga sedikit kandungan kokain dalam darah ayahmu. Kami sudah memanggilkan pengacara untuknya untuk meringankan seluruh masa hukumannya."

"Berapa tahun masa hukumannya?"

"Penjara seumur hidup."

Aku menghela napas panjang. Orang itu pergi.

Jadi begitu. Ternyata benar, ayahku bukanlah orang yang hebat. Kecelakaan pesawat yang terjadi karena kesalahan ayah.

Ayahku adalah pecandu alkohol dan pengkonsumsi narkoba. Menggelikan.

Kenapa aku tak tahu tentang hal ini sejak dulu?

Aku buru-buru pulang, tak mempedulikan ayahku yang dikunjungi banyak orang asing.

Sesampainya di rumah, aku membongkar seluruh isi lemari dan rak yang ada di rumah. Ternyata benar. Di setiap rak dan lemari, di antara banyak barang, selalu terselip minuman beralkohol. Padahal, selama ini ayah hanya meminum wine dan bir berkonsentrasi rendah di hadapanku.

Ayahku pembohong. Aku tersenyum pahit.

Aku membuang seluruh isinya ke dalam wastafel dapur. Lalu, semua kaleng dan botol minuman beralkohol kubuang ke dalam kantong sampah. Begitu seterusnya hingga minuman beralkohol di rumahku habis tak bersisa.

Selanjutnya, di mana ayah menyembunyikan kokain yang dikonsumsinya?

Aku berlari ke meja kerja ayah. Selama ini, aku tak pernah membersihkan ruangan ini karena penuh dengan barang penting. Aku membuka dan membongkar laci yang ada di meja kerja ayah.

Ketemu.

Di dalam botol aspirin yang biasa dikonsumsi ayah, ada remah-remah daun kering berwarna hijau tua.

Jangan dihirup. Jangan dicium. Aku sudah banyak diajarkan tentang narkotika. Aku tak mau jadi pecandu.

Aku berjalan cepat ke kamar mandi. Aku membuka tutup kloset, menuangkan seluruh kokain ke dalam air kloset yang tampak jernih. Aku menyiramnya. Air di kloset yang tercampur dengan kokain tampak berputar cepat sebelum akhirnya lenyap, larut bersama air yang didorong masuk.

Berakhir sudah.

•••

Ayahku dipenjara seumur hidup. Sayangnya, tidak ada satu pun saudara maupun kerabat ayah dan ibu yang mau merawatku. Aku tak masalah. Tabungan ayah masih banyak dan aku juga bekerja paruh waktu.

Minggu pagi yang cerah. Aku membuat kentang tumbuk sebagai sarapan. Mendadak, aku jadi teringat ayah. Tragedi yang menimpa ayah hari itu ketika aku membuat kentang tumbuk kesukaan ayah.

Aku tersenyum. Hari ini, aku akan menjenguk ayah dan membawakan kentang tumbuk untuknya.

Ayahku adalah mantan pilot, seorang narapidana, seorang pecandu alkohol, dan pengkonsumsi narkoba.

The Way We TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang