Belati dari Depan

51 12 3
                                    

Mata biru itu terlihat ketakutan. Pemiliknya seakan terancam dalam bahaya. Keringat dingin bercucuran, ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Kaki yang berfungsi sebagai penopang tubuhnya pun mulai goyah karena gemetar. Air mata pun mendesak keluar. Tidak, jangan menangis sekarang, Bodoh, dia akan menganggapmu lemah, gumamnya dalam hati.

Seorang lelaki bertato dengan otot-otot tercetak jelas itu terus berjalan, hingga sang gadis terperangkap di antara kedua tangannya. Tak kehabisan akal, sang gadis merunduk mencoba keluar dari kukungan tangan tersebut. Ia berhasil keluar dan berlari sekuat tenaga.

"Berengsek, dasar bocah! Awas kau!" maki lelaki tersebut.

Sang gadis terus berlari tanpa arah menjauh dari tempat terkutuk itu. Namun sayang, sekencang-kencangnya ia berlari, lelaki itu tetap berhasil mendapatkannya kembali.

"Kena kau! Mau lari kemana lagi, hah?" teriak lelaki itu tepat di depan wajahnya.

"Tolong ... tolong ... tol—" Ucapannya terpotong karena mulutnya dibekap oleh tangan lelaki itu.

Sang gadis diseret menuju gang sempit yang gelap. Perlahan lelaki tersebut membuka kancing jaket sang gadis.

"Tidak. Jangan, kumohon," pinta sang gadis

"Hm, sepertinya tubuhmu bisa aku jual, tapi nanti setelah aku pakai." Seringai menjijikan itu terpampang jelas diwajah lelaki tersebut.

Sang gadis menangis, ia lelah menghadapi semuanya. Ia tidak melawan lagi, ia pasrah dengan apa yang akan terjadi. Hingga tiba-tiba seseorang berteriak.

"Lepaskan gadis itu!" teriak sang pemuda.

"Hey, siapa kau? Berani-beraninya menyuruhku untuk melepaskannya! Kalau kau mau, nanti setelah aku," balas lelaki tersebut.

"Dasar berengsek!" ucap sang pemuda.

Pemuda itu menarik kerah lelaki tersebut, melayangkan tinjunya membabi-buta tepat pada rahang dan hati sehingga membuat lelaki tersebut jatuh pingsan. Sang pemuda menghampiri sang gadis.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya si pemuda.

Sang gadis diam, ia hanya mengangguk untuk membalas pertanyaan pemuda itu. Tubuhnya bergetar ketakutan.

"Jangan takut, aku orang baik. Namaku Rain, namamu?"

"A-aku Sa-safir."

"Safir? Nama yang cantik. Di mana rumahmu? Ayo, aku antar."

"Aku tunjukkan jalannya nanti."

Rain mengangguk, tanda mengiyakan. Ia membawa gadis itu ke parkiran motor dan memberikan helm yang sudah disediakan.

"Ayo, naik. Nih, pake helm."

"Terimakasih."

"Ready? Pegangan yang kuat."

Motor itu melesat kencang, menembus angin perkotaan. Safir mengeratkan pegangan tangannya di bahu, tapi tangannya ditarik sehingga Safir memeluk Rain. Dasar modus, gumam Safir dalam hati.

Rain mengernyit bingung. Pasalnya, jalan yang gadis itu tunjukkan adalah jalan menuju rumahnya. Bagaimana gadis itu tau jalan rumahku? Dia cenayang kali ya? pikir Rain.

"Berhenti di sini."

"Rumah kamu di sini?"

"Iya, kenapa? By the way, makasih ya."

"Nggak apa-apa. Jadi kamu tetangga baru aku rupanya."

"Ha? Tetangga baru? Rumah kamu di mana?

"Itu, di sebelah."

The Way We TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang