Sepucuk Surat dari Ayah

34 5 2
                                    

Aku berlari ke dermaga. Membawa syal berwarna hijau yang kurajut khusus untuk ayahku. Hijau adalah warna kesukaannya. Kata ayah, hijau selalu mengingatkannya pada negeri ini. Pada luasnya hutan tropis yang menjadi kebanggaan tersendiri.

Karena itulah, ayahku memilih menjadi prajurit sejati. Tak peduli di mana, kapan, dan berapa banyak musuh yang datang menyerang, ayah selalu siap melawan. Aku pernah bertanya pada ayah, mana yang lebih penting antara keluarga atau negara? Dan ayah menjawab, "Bagi ayah, keluarga dan negara itu sama pentingnya. Namun ayah lebih memilih melindungi negara. Karena ketika ayah berjuang untuk melindungi negara, itu berarti ayah juga berjuang melindungi keluarga."

Jawaban ayah itu berhasil membuatku tak takut lagi bila ditinggal tugas. Aku mengerti mengapa ayah pergi jauh dengan seragam loreng dan senjatanya. Dia melindungi negara, melindungi keluarga, seperti yang dilakukannya selama nyaris bulan ini.

Ya, ayah ditugaskan di daerah perbatasan Indonesia. Memang, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi konflik di sana. Ayah berkata, "Nur pernah berkelahi dengan teman 'kan? Tapi, Nur pernah bercerita pada ayah bahwa besoknya, Nur dan teman langsung berbaikan. Nah, hubungan Indonesia dengan negara tetangga seperti itu. Ayah akan pulang di hari ulang tahunmu. Tunggu ayah di dermaga."

Aku mengikuti pesan ayah. Menunggunya di hari ulang tahunku. Menunggunya di dermaga ini. Menunggu cerita menarik yang selalu dia bawa selepas tugas.

Dari kejauhan, aku melihat sebuah kapal mendekat. Aku tersenyum senang. Semakin dekat, aku melihat seorang pria berseragam hijau loreng yang membanggakan. Itu ayahku. Itu ayahku!

Namun, ketika kapal itu benar-benar merapat ke dermaga, senyumku pudar. Orang itu ... bukan ayahku. Dia Kak Ali, prajurit muda yang dekat dengan ayah. Kak Ali berjalan ke arahku. Kenapa Kak Ali datang ke sini?

"Apa kabar, Nur?" tanya Kak Ali. Dia tersenyum. Senyum itu tidak seperti biasanya.

Aku menggenggam erat syal di tanganku. Mengabaikan pertanyaannya, aku lantas bertanya hal lain, "Di mana ayah?"

"Bagaimana nilai matematika-mu?"

Aku tidak menjawab. Hanya ayah yang boleh tahu nilai matematika-ku!

"Nilaimu membanggakan," kata Kak Ali. Ya Tuhan, mengapa Kak Ali mengatakan sesuatu yang biasanya dikatakan ayahku?

"Di mana ayah? Katanya, ayah akan pulang di hari ulang tahunku."

Kak Ali menatapku sendu. Dia tiba-tiba memelukku. "Kamu selalu membanggakan," bisiknya. Kata-kata itu! Napasku tercekat ketika Kak Ali memelukku semakin erat. "Ayahmu, Nur ...." Suaranya bergetar. "Ayahmu, Pak Abdi, gugur sebagai prajurit sejati."

Prajurit itu seperti bunga, Nur. Jika gugur, tunas baru akan menggantikannya.

Dulu, aku masih terlalu kecil untuk tahu apa makna dari ucapan ayah tentang prajurit yang gugur. Aku senang saja saat mendengar kalimat 'tunas baru akan menggantikannya'. Karena aku pikir, tunas tetap tumbuh meski bunga itu tidak gugur. Namun sekarang, aku mengerti. Sangat mengerti. Sampai-sampai aku mendorong Kak Ali, membuat tubuhnya jatuh berlutut. Aku tak mengatakan apa-apa.

"Ayahmu pergi dengan rasa bangga karena melindungi negaranya." Kak Ali menunduk. "Ayahmu pergi dengan segala hormat dari seluruh prajurit. Ayahmu—"

"KAK ALI, HENTIKAN!" Aku membentaknya. Perlahan, air mataku mulai menetes. "Tolong katakan kamu berbohong, Kak. Tolong katakan itu hanya rencana ayah di hari ulang tahunku!"

"Semua itu ... benar, Nur."

Syal yang ada di genggamanku tiba-tiba terjatuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak cukupkah Tuhan mengambil ibuku? Tak cukupkah dengan nasib yang begitu menyedihkan ini? Tuhan, apa maksud-Mu mengambil ayahku?

Kak Ali menepuk pundakku. Dia memandangku lama. Matanya menunjukkan kesedihan. Membuktikan bahwa seorang prajurit pun tersakiti bila ditinggal teman sejati. Kak Ali mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya kemudian menyerahkannya kepadaku. "Dari ayahmu," katanya.

Tanganku gemetar menerima amplop cokelat itu. Ya Tuhan, haruskah aku membacanya?

***

Untuk anakku, Nurmala.

Nur, jika kamu menerima surat ini dari Komandan Edi ataupun Kak Ali, itu berarti kita tidak bisa bertemu lagi.

Maafkan ayah tidak bisa menepati janji. Tidak bisa melihatmu menjadi perempuan pintar dan cantik. Tidak bisa mengantarmu sekolah. Juga tidak bisa melakukan hal-hal yang sering kita lakukan bersama.

Nur, maaf tidak bisa memberimu hadiah di hari ulang tahunmu. Maaf karena tidak bisa menjadi seorang ayah yang Nur inginkan. Maaf untuk keadaan kita yang serba kekurangan.

Perjuangan ayah berhenti sampai di sini. Sudah waktunya ayah beristirahat memegang senjata. Itu tandanya, kamu yang harus melanjutkan perjuangan ini. Tak usah pakai senjata, Nur. Cukup lawan mereka dengan pena.

Kamu pernah bilang bahwa rakyat kecil harus menjadi besar untuk negaranya. Ayah selalu berdoa agar kamu bisa membuktikan itu. Dan dari surga, sekarang ayah menunggu seorang Nurmala menjadi orang yang besar untuk negaranya.

Nur, terima kasih sudah menjadi penyemangat ayah. Terima kasih sudah menunggu ayah di dermaga. Terima kasih sudah mau mendengarkan cerita-cerita ayah sebelum tidur. Dan yang paling penting, terima kasih sudah meneteskan air mata untuk ayah.

Kamu harus ingat. Prajurit sejati harus siap mati dan anak ayah juga harus siap ditinggal pergi.

Peluk cium dari surga,

Ayah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Way We TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang