Lampu temaram dapur sudah dimatikan sejak lima menit yang lalu. Aku dan semua penghuni dapur lainnya memulai kehidupan kami. Kami memang lebih suka mengobrol pada saat malam, saat tidak ada penerangan sama sekali sehingga tidak ada satu pun orang yang bisa mengganggu aktivitas kami. Dan seperti biasa, Spoon, yang paling cerewet, yang memulai percakapan.
"Aku paling benci hari ini. Gila, mulut si badan besar itu bau sekali!"
Aku terkikik tanpa suara. Spoon memang yang paling sering merasa sial. Tubuhnya yang didesain cantik dan ramping harus rela keluar masuk mulut manusia, yang bahkan aku tidak sanggup membayangkan seberapa bau dan kotornya.
"Kau tidak tahu saja seperti apa nasibku tadi," kali ini Tuan Basin yang bersuara. "Hari ini mereka memasak ikan. Dan aku tidak mengerti kenapa ikan yang mereka gunakan hari ini sangat bau."
"Aku sudah tidak tahan dengan bau-bauan kalian. Ya Tuhan, cepatlah matahari terbit supaya mereka segera dibersihkan." Nyonya Table memang yang paling menderita. Aku sangat bersimpati padanya.
Hari itu memang hari istimewa. Manusia-manusia itu berkomplotan untuk mengadakan pesta—aku tidak tahu pesta apa tepatnya—yang begitu meriah. Penghuni dapur hampir semua digunakan, kecuali aku. Dan mereka yang telah terlibat dalam pesta tersebut sudah ditaruh di dapur, bertumpukan dan sangat berantakan dengan keadaan yang belum dibasuh sama sekali.
Aku belum pernah mengikuti acara-acara besar seperti itu. Di mana terdapat lampu mewah yang punya cahaya terang, karpet halus mahal, meja-meja yang dilampirkan kain yang indah, dan segala macam makanan dan minuman yang disajikan. Aku juga penasaran seperti apa penampakan teman-teman penghuni dapur saat di pesta.
"Hei, kau!" suara langit-langit mengagetkan kami semua yang sedang mengobrol asik. "Apa kau pernah ke sebuah pesta seperti itu?"
Hening. Semua menunggu jawabanku.
"Be ... belum." Aku memang payah.
Setelah itu aku mendengar tawa dari mereka. Aku tidak tahu siapa yang memulai, karena ruangannya begitu gelap dan aku tidak bisa melihatnya.
"Ternyata sebutanmu sebagai Petualang itu bohong ya?" Aku jelas mendengar suara si lemari, Cupboard, yang tertawa mengejekku. Aku hanya diam saja tak menanggapi.
"Masih lebih baik aku, tidak pernah ke mana-mana sekalian. Sedangkan kau kan memang leluasa ke mana-mana, tapi sama sekali belum pernah ke pesta. Kau menyedihkan, ngomong-ngomong." Floor juga tega menertawakanku. Aku kecewa padanya. Padahal aku sering datang padanya dan menganggapnya temanku.
Dan aku mengharapkan salah satu di antara mereka membelaku. Tapi nyatanya tidak ada, bahkan Nyonya Table ikut menertawakanku tanpa henti.
Mereka benar-benar menikmati obrolan mereka tentangku. Aku pusing mendengarnya, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap pagi cepat-cepat datang sehingga mereka mengakhiri semua. Aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa.
Keesokan harinya, saat matahari sudah mengintip dari jendela yang dibuka, aku melihat seorang wanita tengah membersihkan beberapa penghuni dapur. Mulutnya sedari tadi bersiul dan mengumpat beberapa kali. Aku bisa melihat Spoon, Plate, Fork, dan yang lainnya sudah tampak berkilauan karena sudah bersih. Dan saat itu mataku tidak sengaja bertumbukan dengan Glass. Entah kenapa aku merasakan tatapannya mengejekku.
Sepanjang hari ini dapur sangat sibuk. Untunglah, jadi aku tidak perlu memerhatikan penghuni dapur yang lainnya dan lebih memfokuskan penglihatanku kepada tiga manusia yang sedang sibuk di dapur.
"Bodoh!"
Aku mendengar sebuah suara. Ternyata milik Glass.
"Jelek!" katanya lagi.
Aku terisak. Tega sekali si Glass. Bisa-bisanya dia bicara saat masih ada manusia, dan perkataannya hanya untuk mengejekku. Glass memang yang paling keren di antara kami. Jelas saja, dia punya tubuh yang bening, berkilauan, dan punya bentuk paling bagus.
Lalu tak lama setelah itu, terdengar suara gemuruh. Penghuni dapur tampak panik karena semua serasa bergoyang. Aku juga merasakannya, dan ketiga manusia yang berkutat di dapur terlihat lebih takut.
"Gempa! Gempa!"
Apa katanya? Gempa?
Ketiga manusia itu berlarian ke luar sambil berteriak minta tolong. Sebelumnya, aku tidak pernah mendengar kata gempa.
"Ehh, apa bumi mau kiamat?!" seru Mug yang sekarang posisinya sudah di ujung tubuh Table. Hampir saja jatuh ke Floor.
"Arghhh ... bumi sedang apa sih, Floor?"
"Tidak tahu!" seru Floor dengan nada tinggi. "Aku juga kesakitan, tahu! Rasanya mau terbelah!"
Seluruh penghuni dapur begitu panik dan teriakan sana-sini. Dan setelah itu, Mug sudah jatuh, membuat suara prangg yang mengagetkan. Disusul dengan beberapa penghuni dapur bertubuh kecil yang berjatuhan setelahnya. Sedangkan aku pasrah saja terbawa ke sana ke mari terbawa angin. Hingga akhirnya dinding juga ikut ambruk. Dapur sudah rata.
*
Aku tidak ingat apa-apa. Tapi ketika sudah sadar, aku mendapati diriku sudah di luar—lebih tepatnya sudah tidak ada lagi ruangan yang membatasiku dengan dunia luar. Aku bisa melihat bulan sabit yang seolah tersenyum, dan ribuan bintang mengkilap. Aku juga melihat beberapa manusia tergeletak tak bergerak di dekatku, beberapa manusia sedang mengevakuasi korban. Namun tidak satu pun penghuni dapur yang kulihat. Mereka ada di mana?
"Kita sudah tamat, kecuali kau, tentu saja."
Aku mengenal suara itu. Ketika kulihat, ternyata Spoon terjepit di antara reruntuhan kayu. Tubuhnya masih utuh, tapi bengkok sana-sini.
"Spoon!" teriakku senang karena bertemu dengannya.
"Maaf," katanya lagi dengan lirih. "Soal tadi malam"
Aku hanya tersenyum. Aku tersentuh karena ia meminta maaf padaku.
"Di mana yang lain?"
"Tidak ada yang tersisa. Cuma kau yang selamat."
"Dan kau," kataku meralatnya. Dia menggeleng.
"Tidak. Sebentar lagi aku habis."
Tak lama setelah itu, seorang manusia menginjak tubuh Spoon hingga dia benar-benar hancur. Aku berteriak saat melihat kejadian itu. Aku sendirian, aku benar-benar sendirian.
Setela itu, manusia yang menginjak Spoon berkata pada temannya. "Sudah isya', ayo solat."
"Enggak ada air."
"Tayamum aja, yuk."
Dan setelah itu, mereka menoleh ke kanan dan ke kiri. Hingga akhirnya pilihannya jatuh pada tembok di mana aku berada. Mereka mengucapkan kata-kata menyejukkan, lalu menyentuhku dan meratakanku ke beberapa bagian tubuhnya. Aku tidak tahu alasannya, tapi aku merasa damai. Seolah-olah aku menyerap segala keburukan pada diri manusia tersebut.
Selama petualanganku ke beberapa tempat—karena terbawa angin—aku belum pernah merasa sebahagia ini. Rasa rendah diriku yang dulu aku pelihara, kuputuskan untuk menggantinya dengan rasa syukur. Aku—yang kemarin ada di dapur, tidak dianggap berguna—digunakan untuk menyucikan diri. Aku bangga menjadi diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way We Try
RandomMencoba membuat cerita yang antimainstream. Eh ternyata malah gagal. Akhirnya buku ini jadi seonggok buku percobaan yang gagal. Kalo jelek sih tolong dimaklumin, namanya juga percobaan. Challenge 3 WOW [Reborn] : The Way We Try [[Lapak The Way We T...