Key of Memories

23 6 0
                                    

Setiap orang mempunyai ribuan memori sejak mereka terlahir, saat pertama kali gigi tanggal, saat memenangkan perlombaan, bahkan saat pertama kali jatuh cinta.

Tapi ini hidup, tak semua berjalan mulus dan tak semua memori berisi kenangan yang indah. Bagi mereka yang tak sanggup, mungkin memori yang menyakitkan bisa sampai melukai jiwa dan menghilangkan akal.

Lalu apa yang bisa mengobati memori yang menyakitkan? Jawabannya adalah kunci saja, lalu buang kuncinya jauh-jauh. Terdengar mengada-ngada?

Umat manusia mengalami kemajuan pesat dalam bidang teknologi, bahkan teknologi juga merambah ke dunia psikologi. Setelah riset dan penelitian yang dilakukan selama kurang lebih dua puluh tahun, akhirnya hari ini umat manusia bisa menikmati suatu teknologi baru, dimana kita bisa mengunci memori kita lalu menaruh kuncinya di bank memori.

Mereka menyebut teknologi itu dengan sebutan 'Key of Memories'.

Dan Lila adalah orang pertama yang akan menggunakan teknologi itu.

"Selamat pagi, Lila. Selamat datang di aplikasi Key of Memories. Namaku Elena, aku adalah psikiatermu hari ini," ucap Elena lewat layar tablet yang dipegang Lila.

"Pagi, Elena," ucap Lila.

"Kau adalah orang pertama yang akan menggunakan key of memories, apa kau yakin ingin menggunakan teknologi ini?" tanya Elena.

"Ya, aku yakin."

"Baiklah. Pertama, jangan sentuh tombol apapun yang ada di layar tabletmu, aku tak mau kau salah mengunci memori, lalu rilekskan pikiranmu karena aku akan memintamu menceritakan secera singkat memori yang ingin kau kunci, sejauh ini kau mengerti?"

"Iya, aku mengerti Elena," ucap Lila, lalu duduk di meja belajarnya

"Mulailah bercerita, Lila."

•••

PRANG!

"Alah kamu gak usah bohong lagi! Aku sudah tahu semuanya!" teriak ibu Lila.

"Tahu apa kamu?! Jangan sembarang menuduh, ya!" teriak ayah Lila tak kalah keras.

"Kamu bilang aku nuduh? Terus apa maksudnya ini?"

Adu mulut antar suami isteri tersebut terus berlanjut di lantai satu, seolah tak peduli kalau putri semata wayang mereka sedang melamum di depan jendela sembari terus mendengar caci maki mereka.

Mata gadis itu menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya tak berekspresi, namun hati kecilnya sedang menangis. Menangisi ibunya yang tersakiti. Menangisi ayahnya yang berselingkuh. Juga menangisi dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa.

Tangannya terkepal kuat. Dia tak bisa tinggal diam! Dia muak dengan rumah ini!

Lila mengambil dompet, jaket dan memakai sepatu. Di luar salju sedang turun, tapi ia tak perduli. Seolah dingin sudah menjadi sahabatnya sejak lama.

Lila membuka jendela kamar, tubuhnya meloncat ke pohon, lalu perlahan turun. Gadis itu merapatkan jaketnya sembari menunggu bus datang.

•••

Lila sudah duduk di bus selama dua jam, dan dia sudah melewati toko cokelat yang sama selama tiga kali. Lila merasa tempat duduk di sebelahnya bergerak tanda ada orang yang duduk.

"Hai."

Lila menoleh, kemudian membalas, "Hai."

"Kalau boleh tahu, sebenarnya ke mana tujuanmu?" tanya laki-laki di sebelahnya.

Lila terdiam sejenak, "Tak tahu."

"Rumahmu?"

"Aku tak punya rumah," jawab Lila.

"Lalu kau akan bermalam di mana? Bus ini akan segera berhenti beroprasi, bus juga butuh istirahat."

Lila menatap ke luar jendela. Dia sendiri tak tahu ingin bermalam di mana

"Mau bercerita? Kebetulan pemberhentianku masih beberapa halte lagi," ucap laki-laki itu lalu menyenderkan punggungnya.

Lila menoleh ke arah laki-laki itu, mungkin tidak salah bercerita kepadanya. Jika laki-laki ini berniat buruk kepada Lila, dia tak peduli. Toh, di rumah pun dia tak dianggap.

"Orang tuaku bertengkar, lagi." Lila mengembuskan napas. Papaku selingkuh, tapi ia tak mengakuinya dan bersikap sepolos malaikat, namun baik aku maupun Mama sama-sama tahu apa yang dilakukannya," lanjut Lila. "Aku lelah, rumahku tak lagi terasa seperti tempat pulang yang nyaman."

"Kau tahu berita baru tentang key of memories?"

Lila mengangguk. "Ya, aku tahu."

"Jika aku menyarankanmu untuk menggunakannya, apa kau mau?"

"Mungkin iya, aku lelah dengan memori ini," jawab Lila

"Boleh aku bercerita?" tanya laki-laki itu

"Hm, boleh."

"Kedua orang tuaku dan adik perempuanku meninggal saat umurku sembilan tahun. Mereka meninggal saat tidur, masih jelas ucapan selemat tidur dari mereka bertiga. Namun keesokan paginya, hanya aku yang terbangun."

Lila menatap laki-laki di sebelahnya.

"Kenapa mereka meninggal?" tanya Lila.

Laki-laki itu menoleh, kelerengnya beradu dengan kelereng Lila.

"Mereka menghirup gas beracun selagi tidur, dan akhirnya tertidur selamanya, memori yang pahit, bukan?"

Lila mengangguk cepat. "Kau berencana mengunci ingatanmu?" tanya Lila.

Laki-laki itu tertawa kecil. "Tidak. Sesakit apapun rasa yang ditimbulkan memori itu, aku tidak akan pernah menguncinya karena rasa sakit itu satu-satunya pengingat akan keluargaku," ucapnya.

Lila yang awalnya berpikir bahwa laki-laki itu menyarankannya untuk mengunci memori, menjadi bingung.

"Memaaafkan, itu kunci yang sesungguhnya. Coba lah berbicara selagi mereka masih ada, kau bukan tidak bisa berbuat apa-apa tapi kau tak tahu harus berbuat apa. Kusarankan untuk berbicara pada orang tuamu. Pemberhentianku sudah dekat, selamat tinggal." Laki-laki itu bangkit berdiri.

"Siapa namamu?" tanya Lila.

"Dom, Dominick."

•••

"Jika kau tak ingin mengunci memorimu, lalu apa yang sebenarnya ingin kau lakukan Lila?" tanya Elena bingung.

"Aku ingin mengunci memori ku, El, memori tentang aku yang tak bisa berbuat apa-apa," ucap Lila.

"Apa kau mengikuti saran Dom? Berbicara dengan orang tuamu?" tanya Elena.

"Ya, dan aku berhasil. Maka dari itu, aku ingin mengunci memori tentang ketidakberdayaan diriku, aku yang lemah."

"Baik, Lila, aku sudah menemukan memorimu, sekarang tekan tombol merah di kanan atas layar, dan kau akan mengunci memorimu."

"Terima kasih, Elena."

Setelah Elena menghilang dari layar, Lila menekan tombol merah.

Dia tersenyum. Selamat tinggal diriku yang lemah.

The Way We TryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang