5. Dunia yang sempit

210 84 76
                                    

Terlalu membenci seseorang dapat menjadi senjata yang ampuh untuk menyerang kita.

***

"Radit pulang!" seru Radit dengan malas dirinya membawa tas dengan sebelah lengannya, melempar sepatunya asal dan merebahkan dirinya di kasur.

Diana, ibu kandung Radit datang dengan membawa surat di tangannya, menghampiri Radit yang tengah bermalasan di sofa sambil berkutat pada gamenya.

Radit tidak menghiraukan Diana, ia terus saja berkutat pada Handphonenya bermain Zombie War. Dengan kesal Diana melemparkan surat yang ada di genggamannya kepada Radit.

Diana geram karena ulah anaknya yang selalu membuatnya terpanggil untuk datang ke sekolah. Radit hanya menaikan sebelah alisnya, ia tak tertarik untuk membuka surat itu.

"Radit matikan ponselmu, atau mama akan sita 1 bulan,"

Radit mematikan ponselnya dengan terpaksa, padahal ia hampir saja selesai. Dengan malas ia kini menghadap tepat di depan Diana.

"Apa ma?"

"Kamu tau udah berapa kali mama dipanggil Kepala Sekolah kamu?"

Mendengar perkataan Diana, Radit acuh tak acuh tak menghiraukan perkataan Diana. Baginya bolos sudah menjadi rutinitas yang ia suka, dan amarah guru pun tidak mempan untuknya.

"Ini yang ke 15 Radit! Mama harus berurusan dengan sekolah kamu,"

Radit menopangkan kepalanya di atas telapak tangannya sambil mendengarkan Diana.

"Kamu bolos terus, berbuat kegaduhan, dan kamu terancam di keluarkan dari sekolah Radit!"

Kini Radit mulai membuka mulutnya,
"Ya terus harus gimana?"

"Pake nanya lagi, ya kamu berubah lah. Hentikan sifat kamu yang suka bolos itu, kebiasaan rokokmu, sifat burukmu dan perbaiki nilaimu. Kamu udah SMA bukan anak kecil lagi." Radit tahu betul jika Diana telah berbicara formal kepadanya, pasti Diana kini tengah benar-benar marah.

"Semua ini karena Aya-" Belum saja Radit akan berbicara, Diana memotongnya.

"Berhenti menyalahkan ayahmu Radit, mama harus memberikan kamu pelajaran. Sekarang bereskan semua bajumu yang di dalam lemari dan masukkan ke dalam koper." Ada goresan luka di hati Diana setiap kali Radit mengucapkan kata 'ayah'. Diana berlalu menuju kamarnya, ia tidak mau jika anak lelaki satu-satunya melihat ibunya menangis.

Radit melangkahkan kakinya gontai memuju kamarnya, sebenarnya di lubuk hatinya yang sangat dalam ia merasa kasihan setiap kali Diana harus dipanggil Kepala Sekolah.

Tetapi apa boleh buat, dirinya sudah terlanjur bersikap seperti ini. Radit sendiri bingung bagaimana cara menghentikannya baginya bolos,merokok,berkelahi merupakan candu baginya.

Baju,celana dan sepatu yang berada di dalam lemari ia masukkan ke dalam koper miliknya. Rasanya seperti anak yang baru saja diusir ibunya.Radit tersenyum samar saat satu persatu baju miliknya ia masukkan kedalam koper.

Kini ia tengah duduk diatas kasur yang berukuran sangat besar miliknya, fikirannya terfokus kepada Diana. Ia melirik ke arah meja belajar miliknya, terpampang foto Diana dan dirinya yang sedang tertawa. Foto itu kira-kira diambil 10 tahun yang lalu saat Radit duduk di bangku sekolah Dasar.

Ponsel milik Radit bergetar menandakan notifikasi yang masuk. Siapa lagi kalau bukan ketiga sahabatnya. Ponsel yang dipenuhi oleh notifikasi para gadis kini sudah tidak ada lagi, Radit baru saja mengganti akun linenya dengan yang baru. Radit merasa risih karena banyak sekali perempuan yang mengirimi pesan kepadanya.

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang