"sakit. duh aduh. pelan-pelan dong"
"diem aja sih aduh-aduh mulu"
"tapi ini beneran sakit Meiliana, kamu sebagai Dokter saya harusnya merawat saya bukannya malah bikin saya makin sakit"
iya, aku sedang diuks bersama dengan Dimas. Pak Gandhi memintaku untuk mengobati Dimas yang bengalnya gak ketolongan. gitu katanya.
"kalo sakit, gausah gaya-gayaan pake berantem segala. nyusahin aja!" kataku masih fokus dengan luka diwajahnya.
"ya seenggaknya saya dapet untung dengan luka-luka begini" dia tersenyum. aku berhenti memberikan obat merah pada lukanya. aku melihat kearahnya. dan aku baru sadar bahwa jarak antara wajahku dan wajahnya hanya kurang dari beberapa centi.
"maksud lo? untung apanya? yang ada buntung" aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. "pertama, lo dapat memar diwajah yang bikin muka jelek lo makin jelek" dia terkekeh masih memperhatikanku.
"kedua, lo dapat point dari sekolah dan terancam gak naik kelas" aku memberikan plester kepada lukanya
"ketiga, lo di hukum gak boleh sekolah 3 hari betapa ruginya elo, gak dapet materi selama 3 hari."
"hahaha... kamu khawatir ya sama saya?" tanyanya.
"enggak, gue cuma kasian aja sama lo. udah ya gue mau kekelas." aku pergi meninggalkannya di UKS
"Meiliana?" teriaknya memanggilku. aku menyembulkan kepalaku
"terima kasih sudah mengobati Saya" dia tersenyum. tulus. sangat tulus
perlu aku akui biarpun wajahnya terbalut plester, dia tetap ganteng? um.. maksudku dia manis dengan lesung pipi nya itu. yaaa begitu deh.
"sama sama. gue juga makasih, lo udah nolongin gue kemaren" dia mengangguk. dan aku pergi dengan senyuman diwajahku.
YOU ARE READING
Seandainya
Teen Fictionseandainya aku bisa meminta permintaan, aku akan mengulang waktu saat besamamu. seandainya kejadian itu tidak terjadi, pasti aku masih bersamamu saat ini. seandainya ... seandainya ...