Shani berbaring di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong. Matanya menatap langit-langit atap yang tampak sangat bersih. Bahkan tak ada satu pun noda di sana, sepertinya tempat ini memang sering di bersihkan dan di jaga perawatannya. Cukup berbeda dengan rumah sakit pada umumnya.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Tapi matanya belum juga mengantuk. Seharusnya, menurut perintah dokter, ia harus istirahan di bawah jam sepuluh, namun nyatanya sampai sekarang matanya masih saja susah untuk di pejamkan.
Percakapan tadi masih saja terekam jelas di otaknya. Terus terngiang. Seperti kaset yang terus berputar, tanpa perlu ia minta.
Flashback on
Shani mendaratkan tubuhnya di atas kursi tunggu rumah sakit. Diikuti pria paruh baya di sampingnya. Situasi ini mendadak jadi sangat canggung, di tambah situasi rumah sakit yang sudah mulai sepi. Shani melirik pria paruh baya itu, ia tak mengenalinya sama sekali. Perlahan perasaan tidak enak mulai menyergap otaknya."Kamu Shani, kan?"
Akhirnya pria paruh baya itu mengeluarkan suara, memecahkan keheningan yang ada. Suara beratnya terdengar jelas di telinga Shani.
Shani memutar badannya ke arah pria itu, lalu menganggukan kepalanya pelan, "iya. Anda siapa ya?" tanyanya sesopan mungkin.
"Saya Darma, kakeknya Satria." Pria itu memperkenalkan diri, sambil menyimpulkan senyum tipis di bibirnya.
Reaksi Shani berbanding terbalik dengan sikap pria itu, ia sedikit kaget, hal itu terpampang jelas di wajahnya. Kaget melihat kakeknya Satria sekarang sudah ada di hadapannya. Perasaan was-was kembali menyerang dirinya, pikiran negatif mulai berterbangan liar di atas pikirannya. Sepertinya, kakeknya Satria ingin membuat perhitungan dengannya, karna dia sudah membuat cucunya seperti sekarang.
"Saya tau dari Ninik. Katanya kamu sering jagain Satria ya? Apa itu benar?"
"Eh?" Shani kaget, pikiran-pikiran negatifnya mendadak rontok, seperti daun yang tertiup angin. Ia pun menganggukan kepalanya, pelan.
"Untuk apa kamu menemaninya? Padahal kondisi kamu saja masih seperti ini?" Darma memandangi Shani secara keseluruhan. Gadis itu masih terlihat lumayan pucat.
Shani menundukan kepalanya. Bibirnya seketika seperti tertempel lem. Ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun."Saya sudah dengar bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi."
Shani spontan mengangkat kepalanya. Meneguk ludah. Menggigit bawah bibirnya.
"Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkanmu, Satria seperti itu juga karena kemauannya sendiri."
Shani menundukan kepalanya, lagi. Rasa bersalah mulai merasuki raganya.
"Kamu pacarnya Satria?"
"Hah?" Shani spontan mengangkat kepalanya, kaget. "Bukan, bukan. Aku sama Satria cuma temen aja ko. Iya temen, temen deket, mungkin." Jawabnya sedikit ragu.
Darma melirik Shani, sedikit tidak percaya dengan ucapan gadis itu. "Satria ga bakal berbuat hal konyol seperti itu, cuma untuk melindungi temannya."
Shani meneguk ludah lagi. Kali ini ia benar-benar di buat skakmat oleh kakeknya Satria. Otaknya kacau, ia tak bisa berfikir apa-apa sekarang.
Darma melihat tingkah gadis di depannya mendadak berubah, membuatnya sedikit bersalah. "Yaudah jangan di fikirkan." ucapnya lembut, membuat hati Shani terasa sedikit lebih lega.
"Bisakah kamu berjanji kepada saya sekarang?"
"Janji apa?" Tanya Shani bingung.
"Kamu tau kan kondisi Satria sekarang seperti apa?" Tanya Darma serius, disusul angukan kecil dari gadis di depannya. "Satria sudah melindungimu dari kejadian itu. Sekarang giliran kamu yang melindunginya. Bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Miracle
Teen Fiction"Jaman sekarang emangnya masih ada yang percaya keajaiban?" Kata-kata itu terlintas di fikiran seorang gadis berumur 16 tahun, gadis yang selalu mencari keajaiban tapi tak kunjung ia dapatkan. Keajaiban yang menghantarkan sebuah takdir baru dalam ke...