Rasa Khawatir

2K 141 2
                                    

"Gue kemarin dari rumah Satria. Tapi dianya ga ada di sana."

Uhuk... Uhuk... Uhuk...
Shani tersedak. Ucapan Reyhan tadi, bener-bener membuatnya tersedak. Cepat-cepat Raina mengambilkan minum dan mendekatkannya kepada Shani. Shani dengan sigap mengambilnya. Saat ini Reyhan benar-benar tidak tau situasi. Bagaimana tidak, di saat ia sedang menikmati makanannya tiba-tiba saja Reyhan berbicara hal yang membuatnya terkejut.

Shani menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba untuk menetralisasi dirinya kembali. "Ga ada, maksudnya?" Tanya Shani bingung. Raina dan Nichol yang ada didekatnya pun juga menatap Reyhan bingung.

"Ya ga ada. Kata bi Ninik, sepulang dia dari rumah sakit dia ga di bawa pulang ke rumahnya."

Raina memebenarkan kaca matanya. "Terus dia di bawa kemana?"

Reyhan mengangkat kedua bahunya, "mana gue tau. Gue tanya bi Ninik, dia katanya juga gatau."

"Terus pas bi Ninik bilang Satria ga ada di rumah, lo langsung balik gitu?"

"Iya lah, ngapain juga gue lama-lama di sana. Toh Satrianya juga ga ada di sana kan."

Raina mencubit lengan Reyhan, ucapan Reyhan tadi benar-benar membuatnya gemas. "Ah, sakit Rain."

"Lo tuh harusnya pastiin dulu ke dalam rumahnya. Siapa tau Satria ada di dalam. Dan bi Ninik itu bohong." Ucap Raina sebal, teman satunya ini benar-benar tidak dapat di andalkan.

"Iya bener tuh kata Raina. Lo tuh harusnya pastiin dulu, Rey." Nichol yang memang sedari tadi bergabung, ikut mengeluarkan pendapatnya.

"Apa sih lo, ikut-ikutan aja." Jawab Reyhan sedikit kesal. Karna dirinya sekarang benar-benar seperti terpojokan.

Shani berfikir sejenak. Bingung dengan situasi sekarang ini. Seperti ada yang aneh. Kenapa tiba-tiba Satria jadi menghilang seperti ini. Seakan dirinya tidak ingin orang lain melihat kondisinya sekarang.

"Tapi, ada yang aneh deh." Shani memberhentikan ucapannya, membuat ketiga temannya menatapnya dengan tatapan bingung. "Lagi malam, gue telfon nomernya Satria aktif. Tapi-"

"Hah serius, aktif? Seriusan lu, Shan? Terus lu udah telfonan sama dia dong." Reyhan secepat kilat memotong pembicaraan Shani. Membuat Shani sedikit sebal.

"Ih... makanya jangan main potong aja dong, Rey." Shani menggeleng, wajahnya penuh dengan kekecewaan. "Tapi, ga di angkat sama dia. Terus gue coba telfon lagi, tapi nomernya malah ga aktif. Kayanya, dia matiin handphonenya lagi deh."

Nichol menggaruk rambutnya, sedikit terasa gatal. "Kok yang namanya Satria itu aneh ya. Kenapa dia bersikap seperti itu sama teman-temannya sendiri."

"Kayanya.... Satria emang sengaja menghindar dari kita deh." Shani memutar kedua bola matanya. "Rey, nanti pulang sekolah ada acara ga? Bisa ga, kalau anterin gue ke rumah Satria. Gue, meski mastiin sesuatu."

Reyhan mengancungkan jempolnya, setuju dengan permintaan Shani.

--🌠--

Satria duduk termenung menyendiri diatas kursi roda, sambil menatap hamparan pohon teh yang terbentang luas di hadapannya. Semilir angin berhembus lembut menyentuh kulitnya, meniup dedaunan yang tumbuh subur tepat di atas dirinya. Satu persatu dedaunan kering itu jatuh, dan mengenai rambutnya. Tapi ia membiarkannya. Sedikit pun tidak merasa terusik. Ia tetap diam.

Menyendiri seperti ini, bukan berarti dirinya menghindar. Kali ini ia hanya ingin memulihkan kembali kondisi fisiknya setelah kejadian naas itu. Tapi, itu hanya salah satu dari sekian banyak alasan yang terfikir di dalam benaknya. Ia juga sebenernya tidak mau, jika semua orang nanti menatapnya dengan tatapan prihatin ketika melihat kondisinya yang sekarang.

The MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang