Part 11

87 5 2
                                    

After the Word End

Perasaan yang entah bagaimana rasanya. Sulit untuk didefinisikan dengan rangkaian kata kata yang tergabung dalam beberapa kalimat. kejadian beberapa hari yang lalu, masih terngiang jelas. Satu kata yang membuat hatiku nyaris tak bisa menahan tangis air mata. Sebuah kata yang sempat membuat fikiranku luluh lantak dengan ketidaksiapan akan hilangnya rasa. Dimana pada hari itu, waktu seakan terjeda. Menyisakan ruang hampa yang tak pernah ku damba kehadirannya.

Di ujung dermaga, telapak kaki Justin terlihat keduanya tercelup sempurna di bawah air. Sedangkan pandangannya masih menatap kosong sekeliling dermaga. Sepi. Tak terlihat beberapa kapal melintas seperti biasanya. Entah sama ataukah tidak, aku rasa Justin juga merasakan fikirannya berkecamuk menuai berbagai pertanyaan. Pertanyaan tentang rasa yang tak bisa diungkapkan. Sesekali matanya mengarah pada seseorang yang kini berada tepat beberapa jengkal posisi tempat duduknya.

"dimana lala?" pertanyaan justin memecah keheningan diantara kami.  Meski di detik selanjutnya keheningan terasa begitu jelas.

"lala?" pertanyaan justin bukannya terjawab,  kini justru ku tanyakan lagi.  Aku mengerutkan dahi.  Bingung dengan lala yang baru saja justin tanyakan.

"iya lala...  Aku rindu sosoknya yang ceria.  Rindu dengan semua rutinitas yang kami lakukan seperti sedia kala."

"dan sampai suatu ketika, beberapa hari setelah suatu kejadian komunikasi kami berantakan." lanjut justin menerangkan ceritanya dengan lala.  Entah siapa cewek itu,  aku merasakan sesuatu menyekat nafasku.  Rasa sesak yang tak bisa ku pungkiri untuk sebuah kecemburuan.

"seharusnya dia beruntung...  Gimana pun dan kenapa pun, semua ngga seharusnya berubah gitu aja.  Ada perasaan yang diujung sana iri dengan perasaan yang ia terima."

Di tengah rasa cemburu yang menguak mendengar nama lala,  ku lihat justin hanya tersenyum.  Senyumnya mengembang seperti pertama kali aku bertemu dengannya.  Mataku sibuk memperhatikan dirinya.

"ada banyak hal yang terkadang tidak bisa kita mengerti tentang apapun yang terjadi.  Dan aku rasa kamu lebih tau banyak tentang semua ini" kata justin dengan lancarnya ia mengucap kata aku kamu.  Meski kedengarannya terasa begitu kaku.

"la...  Lala.  Vanilla" panggilnya

"jadi lala itu? " belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Justin sudah terlebih dahulu memotong ucapanku. Tangannya berusaha mengusap air mata yang menetes begitu saja di pipiku. Aku merasakannya.  Kehangatan setelah beberapa hari yang lalu semuanya berantakan.

Lengkap sudah senja sore ini. Bayang dirinya yang sempat menghilang,  kini kembali.  Merengkuh hangat diriku lewat tatap lembut matanya. Menenangkan.

"la.. "

" emhh" kalimat itu menahan perhatian mataku untuk sejenak menatap justin. 

"aku.. "

" kaku banget dengernya.  Gue minta maaf soal kemarin.  Gue refleks bilang putus karna emosi.  Maafin gue yaa" lanjut justin dengan pengubahan kata aku kamu menjadi gue lo.

Aku hanya tersenyum.  Menunggu penjelasan selanjutnya dari justin.

"gue cemburu, ngeliat lo sama temen lo akrab banget sampe lo ngga ngeliat gue"

"yeelah itu mah cuma temen.  Kenapa harus pake putus segala sih?" tanyaku pada justin.  Sejenak ia terdiam,  aku kembali menunggu penjelasan darinya.

Sunset di Tanah AnarkiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang