Isu
Seorang gadis bermata sayu mulai memasuki pelataran sekolah. Rasa kalut yang mengiringi langkah gontainya. Seulas senyum terpancar untuk sekedar memberikan kesan ceria diwajahnya. Membisu, tak berkata. Tatapan kosong slalu menjadi andalan vanilla ketika fikirannya kelabu. Ingatannya tentang hari hari yang lalu masih terbesit jelas bersama Justin.
Sekerumunan siswa terlihat berkumpul di aula mengerumuni papan Mading dengan segala isinya. Rasa penasaran membuatnya berjalan mendekati kerumunan. Memandangi satu persatu bagian yang menjadi alasan mereka betah menatapnya.
"Eh minggir ... minggir dikit"
Belum lama vanilla berhasil mengirup nafas lega, dirinya merasakan ada seseorang yang menarik tangannya untuk keluar dari kerumunan. Di hadapannya kini hanya nampak seorang kaka dengan tatapan mengintimidasi. Seakan ada suatu kesalahan yang pernah vanilla lakukan.
"Apa apan si. Ngapain pake acara narik segala" Tanya vanilla dengan nada kesal.
"Gue mau ngomong sama Lo"
"Please... To the point"
Tanpa menunggu lama, kaka mulai menjelaskan sesuatu pada vanilla. Hal itu tidak terlepas dari sikap Justin yang hari ini tidak terlihat seperti biasanya. Seperti raga yang kehilangan jiwanya.
"Justin kenapa?"
"Gue putus sama justin" terdengar suara vanilla lirih seperti kehilangan semangat. Kebulatan tekad Justin untuk mengakhiri hubungannya dengan vanilla memang sudah tercetus jelas, merenggut keceriaannya terutama semangatnya untuk pergi ke sekolah.
"Aa apa? Kenapa Justin ngga cerita sama gue?" Dilihatnya gadis di hadapan Kaka tertunduk lemas. Meski Kaka tidak seutuhnya mempercayai kenyataan yang terjadi pada Justin dan vanilla.
"Gue juga ngga tau kenapa dia tiba tiba mutusin gitu aja."
"Lo yakin Lo ngga tau sesuatu?" Tanya Kaka
"Beneran" vanilla mengangkat kedua jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf v. Dalam hatinya ia sama sekali tidak tahu kenapa kaka tiba tiba mengintimidasi dengan tatapan aneh seperti itu.
☕
POV Justin
Pagi yang begitu cerah untuk mereka yang menikmatinya. Namun tidak dengan justin. Langkahnya terasa berat mengingat kejadian kejadian yang telah lalu bersama vanilla di sekolah. Sedangkan kini, semuanya telah usai dengan kalimat yang Justin katakan kemarin. Di dalam hati kecilnya, ia masih tak rela. Sebab seutuhnya perasaan Justin masih teruntuk vanilla.
Justin masih berdiri di depan kelas. Membiarkan fikirannya mengulas kejadian bersama seseorang yang kini ada di sebrang sana. Seseorang yang terlihat duduk sendiri. Tak seperti biasanya, keceriaan sama sekali tidak terlukis di wajah gadis itu.
Memang lucu rasanya, seseorang yang dulunya bersama kini tidak tahu bagaimana caranya bertegur sapa atau bahkan sekedar menguntai senyum, setelah suatu kejadian membuat keduanya menjauh satu sama lain.
Tidak ingin larut dalam kenangan, Justin bergegas menuju ruang kelas. Ia mengalihkan pandangannya seketika kedua mata vanilla berhasil menangkap sosoknya. Acuh. Tak sedikitpun membalas pandangan vanilla. Ada rasa rindu dalam hatinya kala melihat vanilla. Ingin sekali ia menyapa atau sekedar melempar senyum pada seseorang ia rasa juga sedang kalut dalam hatinya. Namun sayang, hatinya masih sakit melihat sesuatu yang elang tunjukan di hari kemarin.
☕
Di ujung koridor, vanilla berdiri tegak memandangi satu persatu manusia yang lalu lalang di hadapannya. Mencari seseorang yang ingin sekali ia temui. Matanya tak kunjung menemukan. Sembari menunggu, ia hanya diam. Tak ada satupun orang yang luput dari pandangannya.
Seorang bertubuh tinggi, berjalan dengan acuhnya melewati vanilla. Pandangannya terpusat saat seseorang tersebut mencoba menghindari kontak langsung dengannya. Dengan segera, vanilla berlari. Melewati lapangan Basket hingga akhirnya ia semakin dekat dengan punggung Justin yang mulai menjauh. Refleks, tangan vanilla melingkar di pergelangan Justin. Berusaha menahan agar Justin tak pergi.
"Lepasin tangan gue" hentak Justin dengan dingin. Tangannya seketika menghempas, membuat pegangan tanganku memudar lalu akhirnya lepas.
"Gue mau ngomong sama Lo" kata vanilla yang mencoba mengumpulkan kekuatannya di hadapan Justin. Menepis segala rasa sakit yang belum padam sejak detik kemarin.
"Gue butuh alasan kenapa Lo tiba tiba buat keputusan kek gini." Lanjut vanilla
Justin hanya diam. Mengalihkan pandangannya, tak ingin melihat vanilla menangis. Matanya berkaca kaca menampakkan penyesalan yang mendalam. Sesal yang membuat dirinya tidak berdaya mengakui perasaannya atau menuruti ego yang membawanya berfikir logis atas apa yang ia lihat.
"Gue rasa, Lo ngga butuh itu"
"Lo boleh ninggalin gue. Tapi nggak bisa gitu aja. Lo kira dengan Lo pergi, gue bahagia? Lo salah besar. Rutinitas gue kacau." Kata
Vanilla. Air matanya mulai menetes dan mengalir di pipi. Justin menyaksikan secara langsung, air mata vanilla untuk yang pertama kalinya."Ada banyak alasan kenapa setiap orang melakukan sesuatu. Dan gue rasa Lo juga punya alasan kenapa Lo pergi gitu aja."
"Lo masih suka kan sama Rey?" Tanya Justin selang beberapa saat ia terdiam. Ia mengeluarkan handphonenya dari saku celana. Tangannya sibuk mencari sesuatu yang ingin ia tunjukan ke vanilla.
"Lo lihat sendiri" kata Justin sambil melempar handphonenya ke tangan vanilla. Satu gambar dilihat jelas oleh vanilla. Di hadapannya terlihat jelas ia sedang duduk dengan dan saling berbincang.
"Ggu ggue bisa jelasin" kalimat vanilla terbata bata melihat dirinya berada di foto itu. Foto yang seharusnya tidak pernah ada dan dilihat oleh justin. Sebab siapapun yang melihatnya pasti tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sembab. Mata vanilla lelah menahan tangis yang sudah berada pada bibir mata.
"Lo mau bilang kalo itu bukan Lo? Hah naif"
"Gue ngga ada apa apa sama Rey. Gue ngga tau harus ngomong apa sama Lo, karna gue yakin Lo ngga bakal percaya. Gue juga ngga tau kenapa dia satu grup teater sama gue. Yang jelas, gue ngga ada apa apa sama dia. Dan asal Lo tau, kemarin kita ngga lebih dari sekedar ngobrolin tentang teater."
Dugaan Justin salah. Vanilla sama sekali tidak terlihat ingin kembali bersama Rey. Rasa sakitnya melihat foto itu sedikit mereda. Hanya saja rasa cemburu tetaplah rasa cemburu. Tak dapat dipungkiri, Justin merasakan adanya rasa takut untuk kehilangan vanilla.
"Gue kira Lo balikan sama Rey" kalimat tersebut terlontar begitu saja. Hingga Vanilla tertawa melihat Justin mendengus kesal seperti anak kecil.
"Ya enggaklah. Logikanya ya, kalo gue mau balikan sama Rey. Ngapain gue susah payah jelasin ke Lo. Harusnya kalo emang gue suka sama Rey, gue ngga bakal kek gini."
Justin menatap vanilla dengan tatapan yang membuat sekeliling vanilla terasa beku tak bergerak. Dilihatnya gadis yang ia sayangi berada di hadapannya. Menitikkan air mata. Tanpa sadar, setetes air jatuh dari mata Justin. Tersadar dari itu, ia langsung menyekanya. Mendekap vanilla dengan penuh erat. Sedangkan vanilla hanya terdiam. Membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan.
Dekapan yang terjadi beberapa menit dan akhirnya terlepas. Justin memandang vanilla Lamat Lamat tak berkedip. Tak ingin rasanya ia meninggalkan gadis yang menyimpan banyak tangis itu sendiri.
"Ralat" suara itu terdengar seseorang di hadapan vanilla.
"Maksudnya?" Vanilla tak mengerti.
"Kita ngga jadi putus"
"What???" Vanilla berusaha menahan tawanya, meski Justin terlihat serius mengucapkan kalimat itu. Keduanya saling tatap, lalu akhirnya bergegas pulang setelah disadarkan hari sudah semakin siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunset di Tanah Anarki
Ficção AdolescenteDua hal yang berbeda ditakdirkan bersama oleh semesta ketika jingganya senja merona. Bertabur rasa mengulas cerita yang telah lalu, untaian kata manis yang lambat laun memudar. Sedangkan harap masih menggantung tinggi atas kehadirannya. Kelak, aku y...