Prolog

947 23 1
                                    

Alina pov.

Ada sebuah janji dalam hubungan ini. Janji yang terucap dengan serius. Seserius hubungan kami, itu katanya.

Dia berjanji untuk menjadi lebih baik. Dengan bantuanku. Sedangkan aku berjanji untuk mulai membuka diri dan mencintainya. Dengan bantuan dia. Kami saling berucap dan menanamkannya dalam hati.

Tapi waktu dan takdir seolah tidak mendukung penuh ikrar kami berdua.

Dia melanggar janjinya, aku pun begitu.

"aku nggak akan tawuran lagi, berantem lagi, balapan liar lagi. Aku janji. Karena mulai sekarang aku akan menyayangi diriku seperti kamu menyayangiku. Aku nggak mau terluka, aku nggak mau kamu khawatir, aku takut kamu ikut ngerasain sakitnya" kata dia kala itu.

Saat aku sedang mengobati lukanya akibat perkelahiannya dengan anak kelas dua belas. Padahal saat itu dia baru kelas sebelas, aku kelas sepuluh.

"beneran?"

"iya. Aku jamin setelah ini kamu nggak akan liat aku terluka lagi. Ini yang terakhir. Dan kita akan selalu bersama. Aku sayang banget sama kamu."

Itu janjinya. Lalu, aku pun ikut berikrar saat itu juga.

"kalo kamu aja bisa janji buat jadi lebih baik. Kenapa aku nggak? Aku juga janji buat mencintaimu seperti kamu mencintaku. Bukannya cinta itu give and give ya?" kataku sungguh-sungguh.

Dia tersenyum senang, sekaligus tidak menyangka. "ya, dan aku akan bantu ngehapus dia dari hatimu. Aku mau cuma aku yang jadi penghuni hatimu satu-satunya"

"aku juga akan bantu kamu buat berubah jadi lebih baik"

Indah kan? Manis sekali rasanya kala itu. Cukup membuat perasaanku menghangat karena kehangatan yang Ia salurkan kepadaku.

Kala itu, aku sudah menyayanginya. Menerima segala keburukan yang Ia punya sebagaimana Ia menerimaku apa adanya.

Tapi, aku hanya sekedar sayang. Sedangkan Ia amat mencintaiku. Tidak adil ya? Jahat sekali aku.

Satu hal yang perlu di ingat, perasaan itu tidak bisa di paksakan.

Aku menyayanginya, tapi di lain hal, aku mencintai cinta pertamaku.

Sulit rasanya mencintai dia di saat perasaanku masih tertanam oleh cinta pertamaku. Tapi aku selalu berusaha membuka diri untuknya.

Enam bulan kami menjalani hubungan ini. Menyenangkan bagiku. Karena dia tidak seburuk yang aku kira dan seburuk yang orang lain katakan tentangnya.

Dibalik wajahnya yang selalu terlihat menyeramkan di mata orang lain, justru dia selalu menampilkan wajah bersahabat nan lembutnya kepadaku.

Dia selalu mengutamakanku. Katanya, akulah prioritas utamanya.

Aku cukup tersanjung, dan perasaan sayangku semakin bertambah.

Aku beruntung memilikinya yang selalu bisa menyenangkan hatiku.

Awalnya aku menolak dia untuk terus mendekatiku, tapi dengan keteguhan, percaya diri dan tekad, dia selalu berusaha menunjukkan bahwa Ia layak menjadi kekasihku.

Disaat semua lelaki yang mendekatiku tidak berani meminta izin langsung kepada orangtua ku untuk mengajakku berkencan, dia justru selalu meminta izin kepada orangtuaku di saat hendak mengajakku kencan di sabtu malam atau hari minggu.

Bagaimana aku tidak jatuh pada pesonanya jika dia semenakjubkan itu?

Ohya, kalian harus tahu saat aku mulai membuka diri untuknya. Tidak sedikit yang menentang. Katanya, dia terlalu kriminal untuk dijadikan kekasih. Dia terlalu mengerikan. Tapi, Ocha dan kedua orangtuaku justru mendukungku.

ALINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang