Hari ini. Alina sudah bertekad untuk tidak menangisi seseorang yang sudah memiliki kekasih baru itu.
Semalam, sambil menangis, Alina merenungi. Menelisik maksud dari hatinya yang sesak, air matanya yang mengalir, kala mengingat sosok Ari dan segala kenangan yang di ciptakannya.
Tapi ia tidak menemukan apa-apa selain rasa kecewa. Selebihnya, ia tidak menyadari akan perasaan rumit itu.
Kecewa karena ternyata Arian secepat itu menemukan pengganti dirinya.
Hari ini ia juga bertekad untuk mengikuti alur dari kemauan Arian. Jika Arian melaju ke arah kiri, maka Alina akan ikut melaju tetapi ke arah kanan. Tidak ke belakang, maupun jalan di tempat. Tetapi lewat arah kanan menuju masa depan tanpa bersinggungan lagi dengan sang mantan. Alina pun menjaga jarak. Saling bertolak belakang walaupun tujuannya sama untuk ke depan.
Toh, tidak segampang itu mengubah status mantan menjadi teman. Tidak semudah itu menjalin tali pertemanan dengan mantan. Semua butuh proses.
Jadi di hari ini, dengan mata yang masih membengkak akibat menangis semalam. Alina melangkah memasuki sekolah. Menganggap semuanya baik-baik saja dan bersikap seperti biasa.
Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Sudah cukup. Alina merasa lelah dengan semuanya yang akhir-akhir ini membuatnya merasa jika dirinya menjadi perempuan cengeng, lemah dan tak berenergi akibat sekelumit urusan perasaan. Hari-harinya menjadi suram. Alina tidak mau hal itu terus menerus menggelayutinya.
Poninya yang mulai memanjang. Sengaja ia kedepankan hanya untuk menyamarkan matanya. Tetapi jalannya tidak menunduk. Terus fokus ke depan.
Pokoknya hari ini Alina harus terlihat ceria dan bersemangat!
Bibirnya pun ia sunggingkan sebuah senyuman yang manis. Tanpa menghiraukan para penggosip yang mengerumun di koridor yang langsung menatapnya secara terang-terangan.
Bahkan sesekali Alina menanggapi godaan para teman lelakinya saat menelusurk koridor yang sudah ramai. Seperti saat ini. Saat ada segerombolan anak cowok seangkatannya yang sedang bengobrol di pinggir koridor.
"makin hari makin bersinar aja nih, Lin. Bagi nomer whatsapp nya dong"
"iya, Lin. Sama follback ig gue ya! Jangan sombong dong, tar susah dapet pacar lagi lho"
"kenapa ya, pas lagi jomblo gini lo jadi keliatan cakep bener. Sengaja lo ya! Mau tebar pesona"
"wah gila si, kenapa gue baru sadar kalo di angkatan gue ada cewek secakep ini"
Alina tersenyum dan berhenti sejenak pada gerombolan anak cowok itu. Sesekali ia ingin bersifat usil dengan menanggapi kelakar teman-teman seangkatannya yang bahkan ia tidak tahu siapa namanya. Sesekali saja. Bolehkan?
"cari aja di kardus ale-ale. Tar juga lo dapet nomer gue kalo lo beruntung" balas Alina asal dan cuek kepada cowok yang tingginya sejajar dengannya, berkulit putih dan kepala botak.
"yah kok malah di becandain sih. Gue serius nih. Lo udah jombs kan ya?"
"diem dulu kenapa woi! Gantian gue. Lin, follback ya jangan lupa. Si botak jangan di dengerin. Mending follback gue aja" kata si rambut belah tengah sambil cengengesan.
Alina tersenyum kecil. "ig lo jual produk peninggi badan nggak? Kalo jual, nanti deh kalo kita udah lulus baru gue follback"
Ucapan asal Alina itu mendapat tawa dari gerombolan yang terdiri dari enam orang itu. Sisanya hanya menggoda biasa.
"ig gue bersih anti produk kaya gitu. Soalnya gue udah tinggi. Kalo si botak mungkin ada" balas cowok itu dengan candaan juga. Membuat Alina sedikit tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALINA
Teen FictionPernah membayangkan di sukai dengan seorang cowok yang nakal luar biasa di sekolah pun tidak. Tapi realitanya, Alina di sukai dengan sungguh-sungguh oleh Arian-si good looking tapi bad habit-. Padahal, tipe cowok impian Alina itu yang baik-baik dan...