Aku dan lily mulai memasuki ruangan tempat kami akan tidur selama masa pelatihan.
Ruangan yang berukuran tidak terlalu besar itu terlihat kumuh dengan sedikit sentuhan coretan tangan di dinding dan barang-barang yang berserakan di atas meja. Dengan kondisi ruangan yang minimalis tersebut, terdapat dua ranjang bertingkat dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Di sudut ruangan ada sebuah satu lemari kayu besar kuno yang terlihat lusuh, tapi, menunjukkan kesan kuat, tidak ada satupun cacat dari kayu tersebut, hanya berbedu saja.
Di samping lemari terdapat sebuah jendela yang memperlihatkan pemandangan luar gedung pelatihan, tidak terlalu indah memang, tapi kurasa tidak terlalu buruk.
Aku berjalan menghampiri jendela, membukanya, membiarkan ada udara masuk ke dalam ruangan.
Angin yang terasa memang tidak terlalu sejuk, tapi cukup untuk menggerakkan helai demi helai rambutku. Untuk sesaat, aku terpejam, merasa lega bisa ada disini.
"Kau tidak lelah?" tanya Lily yang sedari tadi hanya bisa mengekoriku.
"Tentu saja, aku lelah."
"Tapi, yang mana ranjang kita ya." tanya Lily penasaran.
"Entah."
Tak berseling beberapa detik dari pembicaraan kami, ada seseorang perempuan masuk, melangkah menghampiri meja yang ada didekat pintu, sambil mencari-cari sesuatu.
Perempuan dengan postur tubuh yang kurus, tapi proposional, mungkin dia seorang senior, tubuhnya tinggi, rambutnya dikuncir satu kebelakang.
"Ah, ini dia." ucap perempuan itu refleks setelah menemukan barang yang sedang dicarinya. Kemudian ia menoleh ke arah kami.
"Anggota baru?" ucapnya.
"Hai, kenalkan aku Lily, dan dia temanku, Aby. Kami anggota baru disini." ucap Lily dengan antusiasnya.
"Joy. Joy Houston." balasnya sembari mengulaskan sesungging senyum singkat.
"Thanks."
"Beruntunglah kalian sekamar denganku." lagi-lagi Joy merajut seulas senyuman di wajahnya, tapi kini dua kali lipat lebih lama dibandingkan dengan sebelumnya.
"Kenapa memang?" tanyaku yang sebenarnya tidak terlalu penasaran. Hanya, sekedar merespon apa yang dia katakan saja sebelumnya.
"Aku pemimpin dari kelompok latihan di lantai dua ini."
Aku ber-oh ria mendengar penjelasan darinya.
"Wah, tolong bimbingannya, pelatih Joy. Hehehe." sambung Lily.
"Kalian, kuharap sepuluh menit lagi segera berkumpul di hall lantai dua ya, aku akan memperkenalkan kalian kepada anggota yang lain juga."
Aku mengangguk ringan tanda mengerti.
"Baiklah, kutunggu ya."
Joy pergi meninggalkan ruangan.
***
"Perkenalkan semuanya, mereka adalah anggota baru, silahkan perkenalkan diri kalian."
Joy menatapku sekilas memberi petunjuk untuk berbicara duluan.
"Mm... Hai aku Aby Stranger."
"Aku Lily." sambungnya.
Aku melihat keadaan sekitar, mencoba menelaah sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu tujuannya. Selang beberapa detik aku memperkenalkan diri banyak anak-anak yang merespon dengan positif.
Mereka mulai memperkenalkan dirinya satu-satu. Jujur, aku sama sekali tak mendegarkan siapa nama mereka. Sangat lelah untuk menghapal nama mereka satu-satu.
Disela-sela sesi perkenalan mataku menjelajah ruangan. Dalam hitungan beberapa menit, mataku terhenti di sebuah sudut ruangan. Ada sebuah sosok yang kukenal, tidak tidak. Kuralat, sangat sangat kenal.
Bukankah itu Eric? Aku membatin.
Mataku terus mencoba menatapnya lekat-lekat. Untuk beberapa alasan aku merasa hanya orang yang mirip saja. Tapi, aku sangat merasa itu orang yang benar.
Aku mulai berjalan ke arahnya. Sangat tidak tahan untuk tidak mencari tahu kebenaran ini.
Aku mengabaikan suara-suara panggilan dari orang-orang yang ada di belakangku. Termasuk Lily dan Joy.
Eric. Dia adalah saudaraku. Lebih tepatnya, saudara angkatku. Kami dulu tinggal dalam satu keluarga.
Sebenarnya, di keluargaku, aku mempunyai satu saudara laki-laki, dia lebih tua tiga tahun dariku. Kami mulai tinggal bersama saat aku mulai menginjak usia lima tahun. Orang tuanya adalah teman baik dari ibuku, Elsa. Orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan. Semenjak itu, dia tinggal bersama kami, hingga dua hari sebelum ulang tahunku, terjadi perdebatan antara orang tuaku dan Risa, bibi Eric. dia pergi dibawa Risa meninggalkan rumah, tanpa sepatah kata pun.
Kami berdua sudah sangat dekat. Dulu, kami sangat tidak bisa terpisahkan.
Aku terus melangkah tanpa tahu resiko apa yang akan terjadi.
"Eric? Kau Eric?"
Dia menoleh kepadaku. Sebelumnya, ia sedang asyik minum kopi di sini.
Ia mulai menaruh gelas kopi dengan perlahan di meja tersebut. Dan kini, mata kami saling menatap. Eric terlihat cukup terkejut melihat aku yang sudah ada di hadapannya.
"Ikut aku." ucap Eric dengan santai.
Aku mengekorinya. Mencoba menurut pada kata-katanya.
Setelah perjalanan yang tidak terlalu jauh tersebut, ia berhenti di salah satu lorong sepi.
"Kukira kau tidak akan mengenaliku." ucapnya memecah suasana hening.
"Kau benar kan Eric?"
"Apa kabarmu Aby?"
"Kenapa kau bisa ada disini?"
"Hey. Ini tempat impian semua warga."
"Dimana kau tinggal selama ini?"
"Itu tidak penting."
"Kau sehat-sehat saja kan?"
"Kau bisa lihatkan?" jawabnya sembari menyeringai.
"Astaga kau tahu, betapa khawatirnya kami sekeluarga padamu."
"Maafkan aku, kuharap kau mengerti diriku."
"Apa kau menyimpan sebuah rahasia dariku?"
"Tidak, waktu itu hanya ada sesuatu kejadian yang tidak bisa kuhindari. "
"Apa yang bibimu telah lakukan padamu?"
"Tidak ada."
"Benarkah?"
"Iya, saat itu sedang ada sedikit masalah. Jadi, aku terpaksa membantunya."
"Setidaknya, kau bisa kan memberiku kabar."
"Maafkan aku."
Aku merenung. Ada sebuah perasaan yang tidak bisa kugambarkan, semua emosi bercampur menjadi satu.
"Kau jangan pernah tinggalkan aku lagi!"
"Siap, Aby!" ucapnya sembari tersenyum lebar.
Sungguh, aku benar-benar bersyukur bertemu dengannya, aku merasa memiliki keluarga kembali.
"Ayo, kembali ke hall, apa kau ingin dihajar oleh Joy?" ucapnya sambil terkekeh meledek.
"Baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bipolar Disorder : Part of Aby Stranger
Science FictionTahun 2050. Siapa yang lemah akan musnah. Siapa yang bertahan akan berkuasa. Jangan sampai terpengaruh ataupun tersentuh. Menutup mata bukanlah senjata yang tepat untuk menetralkan keadaan. Di dunia yang sedang menggila, kami tahu ada sebuah penawa...