Stage 3 : Aby Stranger

703 61 26
                                    

17 Mei 2050

"Siapa namamu?" tanya seorang lelaki berambut coklat. Tatapannya kosong dan gelap seolah menunjukkan ekspresi lelah yang sudah berkepanjangan, tangannya terlihat sedang memainkan pulpen di atas meja yang beralaskan kain kusam nan tak terawat.

"Aby Stranger, Sir." Jawabku pada lelaki yang berumur sekitar pertengahan dua puluh tersebut.

Lelaki itu mengangkat dagu dan tersenyum samar, kini wajahnya terlihat lebih jelas, ada beberapa kesamaan yang baru kusadari beberapa detik yang lalu, kami sama-sama memiliki bola mata berwarna hazel. warna yang sangat jarang ditemui. Kini, ia sedang menatapku dengan ekspresi datar. Ya, lebih baik datar ketimbang dia melamun, pikirku sesaat. Wajahnya yang berbentuk diamond face dengan model rambut potongan classic undercut menambah kesan tegas pada wajahnya.

"Nama yang menarik Nn. Stranger." Ucap lelaki tersebut dengan nada yang cukup menantang. Apa maksudnya?

"Come on, Draky! Namamu juga lebih konyol darinya." Ucap refleks seorang wanita yang lebih tua darinya, sontak membuat seisi satu ruangan tersenyum samar.

"Ehm, namaku Drake!" tegasnya sembari berdeham kecil tanda kekalahannya sekaligus mempertegas siapa nama aslinya.

Drake? Akan kuingat nama itu. Aku membatin.

"Baiklah, ku akui itu. Aku hanya mencari hiburan sedikit. Kuharap kau tidak salah paham padaku, Nn. Stranger." Ucap Drake sembari tersenyum tetapi terlihat sedikit terpaksa. "Kita akan lebih sering bertemu Nn. Stranger, kau boleh keluar."

"Aku lolos seleksi?" tanyaku tak percaya.

"Menurutmu? Kupikir keahlianmu lumayan, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik ke depannya."

"Uhm, okay, thank you Sir." Balasku.

Aku memantapkan langkahku dan berjalan keluar ruangan. ku tarik gagang pintu yang tampak berkarat dan sangat kotor tersebut. Ugh, jujur saja aku sangat benci dengan besi yang berkarat. Tapi, kini aku menyentuh dan menariknya dengan seluruh jemariku. Aku sadar, kini bukan waktunya untuk memikirkan egoku, semuanya telah berubah, kalau aku hidup hanya dengan ego saja, dijamin aku tidak bisa bertahan hidup di dunia yang menyeramkan ini.

"Bagaimana? Kau berhasil?" tanya seorang anak perempuan. Entah, aku tak tahu mengapa dia sangat antusias terhadap diriku. Anak yang aneh!

"Tentu, seorang Aby tidak pernah gagal!" jawabku dengan tegas.

"Uwoh, kau memang hebat, Aby!" jawabnya sembari memacungkan kedua jempolnya tepat dihadapanku.

"Ya, memang." Ucapku sembari memutar sedikit bola mataku, jujur saja, cukup menjengkelkan menjawab pertanyaan–pertanyaannya yang tidak berbobot, menurutku.

"Oh, sekarang giliranku, doakan semoga aku lolos seleksi ya."

"Ah, ya, good luck." Ucapku sedikit senang. Entah, senang karena aku bisa lepas dari ocehan mulutnya yang tidak berbobot atau memang aku senang karena dia adalah teman.

Namanya Emily, biasanya kami anggota Camp F6 memanggilnya Lily, aku sendiri juga tidak tahu mengapa namanya bisa menjadi Lily, yang ku tahu Lily sangat tidak suka dan menjadi sedikit risih ketika kami memanggilnya dengan nama aslinya. Dia tidak pernah memberi tahu apa alasannya dan bagaimana masa lalunya. 

Lily adalah anak yang menurutku cukup menyenangkan, ya, tapi cukup menjengkelkan ketika ia sudah berbicara terlalu banyak. Tak satupun dari anggota yang ada di Camp F6 mengetahui bagaimana masa lalunya. Pertama kali aku bertemu dengan Lily adalah di panti asuhan, tempat mom meninggalkanku. Tapi, walaupun begitu aku tetap ingin berteman dengannya, tidak peduli dia dulu adalah anggota mafia terlatih dari Eropa atau apapun itu, setiap orang pasti punya masa lalu yang tidak mau diekspos dan diketahui orang, bisa kupahami itu. Selagi ia masih mempunyai hati nurani, tidak masalah begaul dengannya.

Lily berasal dari asia, dengan postur tubuh yang mungil dan kulit putih khas asia, bisa dikatakan menjadi ciri khas dari dirinya, sifatnya yang periang cocok dengan style nya. Wajah mungil, lincah, dan dengan gaya rambut terurai dengan sedikit sentuhan seni kepang di dahinya. Satu yang menjadi pertanyaanku, bagaimana dia bisa dengan santai menghias rambutnya disaat dunia sudah tidak beres.

Semenjak pengeboman di Newburgh 15 tahun silam membuat masyarakat menjadi bersaing- saing untuk bertahan hidup, satu hal yang cukup menarik dari Lily adalah ketika kutanya, "Mengapa kau selalu gembira?" dia menjawab, "Hidup hanya sekali. Tidak bisakah kita sedikit menikmatinya?" 

Krekkk... Suara pintu terbuka, suara pintu yang terdengar macet dan tidak beraturan itu sangat menjengkelkan jika harus didengarkan berulang-ulang, ingin rasanya kuhancurkan pintu itu!

"ABYYYY, AKU LOLOSSS..."

"Hey, bersikap wajarlah, aku juga senang tapi tidak sampai sepertimu." ucapku sembari jengkel, tapi dengan perasaan terselubung senang pula. Setikdaknya aku ada teman saat nanti pelatihan.

Untuk saat ini, banyak masyarakat yang memang berlomba-lomba untuk mengikuti tes pelatihan. Jujur, sebenarnya aku muak dengan pelatihan dan semacamnya. Tapi, itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan perlindungan lebih.

Bagi orang mengikuti pelatihan, akan dilindungi oleh pemerintah, dua kali lipat lebih ketat dibandingkan oleh warga biasa, melihat dari kondisi lingkungan yang tidak aman, tentu saja, banyak orang yang berlomba-lomba, semata-mata mereka cinta negara, padahal mereka hanya ingin perlindungan. Ugh, berwajah dua memang.

kami dilatih  menyusun strategi dan penyerangan terhadap orang-orang yang kami kenal memiliki kelainan bipolar, kami diajar untuk tidak memandang mereka sebagai manusia lagi saat mereka teridentifikasi virus, kita wajib untuk membunuh dan melenyapkannya.

Bahkan, kami diajarkan untuk bisa membunuh teman sendiri. Jika, memang mereka telah dikonfirmasi telah terkontaminasi oleh virus yang tak dikenal dari para penderita bipolar tersebut.

Keji memang. Tapi inilah kenyataannya. 

***

Jangan lupa vote dan comment yaaaaaa.... Thankyou...^^

- Kimi J 

Bipolar Disorder : Part of Aby StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang