[dua]-tiga serangkai

169 18 0
                                    

Tak pernah sedikitpun terbersit di pikiranku, dialah yang ternyata mencintaiku.

🌷🌷🌷

"Terimakasih mas," ujar seorang laki-laki kepada pelayan yang baru saja meletakkan gelas berisi es lemon tea di atas meja.

"Sama-sama," balas sang pelayan sembari tersenyum.

Siang ini matahari nampaknya sangat bersemangat. Pun Azzam bersama geng-nya. Perdebatan-perdebatan kecil terjadi semenjak mereka tiba di kafe kurang lebih setengah jam yang lalu.

"Ehh yang namanya anak TPA zaman sekarang udah nggak bakalan mau diajar guru galak kayak pas zaman kita," ucap seseorang beberapa saat setelah menyeruput es lemon tea di hadapannya.

"Bukan gitu maksudnya Najib Zam, toh zaman sekarang nggak mungkin lah ada ustadz kayak zaman dulu yang suka mukul tangan pas kita salah bacaannya," ia mengambil gelas dihadapannya. Seteguk. Dua teguk. Tiga teguk. Mulai membasahi kerongkongannya yang kering. "Yang ada muridnya pulang semuaa," lanjutnya sembari terkekeh.

"Nah terus tadi kok nyebut-nyebut pak Zahroni segala? Tau sendiri kan dulu gue sering ngumpet di gudang kalo disuruh ngaji ke surau? Saking takutnya," Azzam berkomentar lagi.

"Itu mah lo yang lebay. Pak Zahroni bakalan mukul kalo kita emang salah. Dan pada kenyataannya lo emang muridnya yang paling bandel wkwk-"

"Enak aja." Lemon yang dijepitkan di gelas itu dilempar sekenanya ke arah Irham.

"Nah terus siapa yang bakal gantiin kita ngajar anak-anak?" Seseorang yang disebut Najib itu pun mulai buka suara lagi. Ekspresinya tetap tenang dan berwibawa.

"Ehm.. remaja masjid yang putri kan banyak tuh. Kita suruh mereka aja" sahut Irham lagi.

"Kan kamu bilang, Nadia lagi KKN di Magelang. Terus yang lain juga jarang kan pulang ke rumah. Mereka semua kos. Dan pulangnya cuma seminggu sekali." Najib menimpali.

"Eh Zam. Arifah tiap hari pulang kan kuliahnya?" tanya Irham.

Makhluk yang duduk disampingnya itu sama sekali tak menggubris pertanyaannya. Ia menyipitkan matanya demi melihat rombongan gadis bergamis dan berkerudung besar yang sedang duduk di gazebo depan kafe. Ya! Mereka memang memilih balkon lantai dua. Karena udaranya cukup segar untuk menghilangkan kepenatan mereka.

"Jaga pandangan Zaaammm.." Irham berbisik tepat di telinga kiri Azzam.

"Ehh apasih?"

"Apasih-apasih.. Dibawah ada apaan?" Irham mencomot kripik kentang di hadapannya.

"Hehe nggak ada apa-apa kok. Gue kirain-" kalimatnya menggantung, mengingat sosok di depannya ini adalah seorang hafidz Al-Qur'an. Bisa-bisa ceramah di kajian Subuh tadi kembali diulang oleh Najib demi menyelamatkan Azzam dari cinta yang salah. Eh bukannya cintanya yang salah, tapi caranya mencintai.

"Siapa? Ulya?" Pertanyaan Najib membuat Azzam melongo.

"Lo kenal sama Ulya? Tumben Jib. Biasanya kan lo ga pernah tau nama tetangga kita yang cewek. Yang lo tau cuma nama adik gue sama adiknya Irham doang kan?"

"Yakali si Ulya pinter, cantik, baik," sahut Irham.

"Psssttt.. jaga hati!" Protes Azzam.

"Eh apaan? Gue cuma mendiskripsikan sosoknya Zam."

"Jangan-jangaaan lo udah dijodohin yak Jib ama si Ulya? Yaahhh kalah start gueee." Azzam mengusap wajahnya kasar

"Apasih jodoh-jodohin? Aku mau lanjut S2 dulu Zam.. lagian Ulya itu sepupu aku. Dia anaknya omku. Sekarang dia semester 7 dan lagi nyelesain skripsinya. Nahh kebetulan Abahnya buka cabang resto baru di deket sini. Toh rumahnya yang dulu udah lama mau di jual. Makanya mereka pindah ke sini. Biar deket juga sama kakek nenek."

"Owalaaaah sepupu to, hehe Alhamdulillah deh."

"Fia mau lo kemanain Zam?"

"Fia siapa?" Azzam balik bertanya.

"Ali-fiaa tetangga depan rumah gue ituh."

"Yee lo gatau beritanya Alifia udah di jodohin?"

"Seriusan lo? Sama siapa?"

"Ya mana gue tau? Tadi dirumah bunda bilang gitu sama Arifah."

"Kok bunda bisa tau?"

"Yaa namanya ibuk-ibuk. Berita di tukang sayur itu lebih hot ketimbang berita di infotaimen."

"Ssstt udah-udah kita itu kesini mau bahas pengajar di TPA bukan malah bahas mereka," Najib menyudahi obrolan Azzam dan Irham yang mulai melenceng dari tujuan awal.

"Ehiya tadi lo bilang Ulya tinggal ngrampungin skripsinya kan? Gimana kalo dia aja. Ntar gue ngomong deh sama Arifah biar bantuin Ulya." Kali ini ide Azzam dibalas anggukan cepat oleh Najib.

"Eh Ham. Anak kembarnya mbak Moona namanya siapa?" Tanya Najib.

"Rista sama Risti?"

"Mereka udah masuk Aliyah kan? Mereka ikut ngajar juga nggak papa tuh."

"Bener juga Ham." Azzam mengiyakan usulan Najib.

"Oke juga." Irham mengangguk-anggukkan kepala.

"Oke berarti tinggal Arifah ya?" Najib memastikan.

"In syaa Allah nanti aku sampein ke Arifah. Dia pasti mau kok. Tau sendiri kalo pas jadi panitia tujuh-belasan dia yang paling sering di krubutin anak-anak kecil."

"Keibuan," cletuk Irham. Ia mulai senyum-senyum sembari menerawang jauh.

"Apaan Ham?"

"Eh enggak kok, itu tuh yang gendong anak kecil tuh." Irham menunjuk seorang wanita di pelataran kafe.

"Ya emang itu ibunya kalik."

"Siapa tau tantenya atau kakaknya atau tetangganya atau-" Irham mulai gelagapan.

"Atau apa? Kok jadi nggak nyambung gini sih lo?"

"Apasih? Nyambung. Enak aja ga nyambung."

"Sssstttt udah.. itu makanannya udah dateng." Najib bergegas menyut-down netbooknya lalu memasukkannya ke dalam tas.

Mereka pun menyudahi obrolan mereka dan mulai menyantap makanannya masing-masing.

🌷🌷🌷

Alhamdulillah..

Jangan lupa vote dan komentarnya💕💕

Baarakallahu fiikum😘😘
Boyolali, 27 Ramadhan 1439
@rnbwcake


ArifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang