[empat]-sore terindah

119 14 2
                                    

Kita berangkat dari arah yang berbeda menuju satu jalan sama, meski saat ini kita belum bisa berjalan beriringan namun kuyakin suatu hari nanti kita tahu, bahwa tujuan kita adalah sama.

- rnbwcake -

🌷🌷🌷

"Arifah..." mbak Nadia yang barusaja masuk lewat pintu pagar samping masjid melambaikan tangan padaku.

"Mbak Nadiaaa..." aku bersorak kegirangan, maklum kurang lebih satu bulan ini aku tidak bertemu dengannya.

Kak Azzam menepuk jidatnya dan tersenyum kecut ke arahku. Mas Irham yang berada di belakang mbak Nadia melakukan hal yang sama.

"Kan mulai deh," kak Azzam bergegas meninggalkan parkiran dan segera masuk masjid.

"Woy Zam, tunggu napa!" mas Irham berlari kecil untuk menyamai langkah kak Azzam. Karena memang kak Azzam lebih tinggi daripada mas Irham.

Seusai melepas rindu, aku dan mbak Nadia ikut masuk ke masjid. Kami menunaikan sholat ashar berjamaah, selanjutnya rapat kecil atau lebih tepatnya disebut briving materi.

"Oke berhubung anak-anak udah pada dateng langsung kita mulai aja, sudah paham kan?" mas Najib mengitarkan pandangannya pada kami bertiga. Aku, mbak Nadia, dan mbak Ulya. Hari ini Rista dan Risti masih berhalangan hadir karena ada kegiatan di sekolah mereka.

"In syaa Allah mas," mbak Nadia menjawab mantap.

"Bismillah" ucap kami serempak sembari beranjak dari dalam masjid.

...

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..." mas Najib mengucapkan salam dengan lantang.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..." jawaban anak-anak tak kalah lantang.

Setelahnya mas Najib memimpin doa sebelum belajar yang diawali surat Al-Fatihah.

Sedangkan aku? Aku masih berusaha menetralisir rasa di dadaku. Ya ini semua ulah kak Azzam, aku ditugaskan bersama mas Najib untuk mengampu anak-anak usia RA hingga kelas 2 MI. Ia bilang, aku yang paling ke-ibu-an diantara mbak Nadia dan mbak Ulya.

"Hari ini kita punya ustadzah baru loh, ada yang sudah kenal?" tanya mas Najib pada anak-anak.

"Sudaaahhhhh!" teriak anak yang duduk paling depan, namanya Bintang. Ia masih duduk di bangku RA. Dia anak dari tetanggaku yang setiap harinya membantu bunda menyelesaikan pekerjaan rumah.

"Beluuuummm.." teriak yang lain.

"Masa belum?" mas Najib mengernyitkan dahinya, menggemaskan. Itu menurutku, entah penilaian orang.

"Belum ustadz..." tegas mereka.

"Yasudah, kita ta'aruf dulu yaa, kan katanya kalau tak kenal maka..."

"Ta'aruuuuf..." sahut anak-anak kompak.

"Tak sayaaang.." Bintang segera membekap mulutnya ketika sadar jawabannya berbeda dengan teman-temannya.

"Loh kok mas Bintang begitu?"

"Hehe kan kata bu guru di sekolah gitu tadz," ia nyengir memperlihatkan gigi susunya, sangat menggemaskan.

"Kalau disini, kita ta'aruf ya anak-anak" mas Najib berucap sembari tersenyum.

Mas Najib? Mas tau? Kata-kata ta'aruf dan senyum mas Najib semakin membuat jantung Arifah tidak karuan.

"Silakan ustadzah..." mas Najib hanya sekilas menatapku. Aku tau, ia begitu menjaga pandangannya terhadap lawan jenis.

Aku hanya mengangguk, sedikit mencuri pandang padanya. Wajahnya putih bersih, alisnya sedikit tebal. Akan ada sedikit lesung pipit di pipi kanannya ketika ia tersenyum. Tak kupungkiri jika banyak gadis yang menaruh hati padanya.

ArifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang