[enam]-Sore Terindah(part II)

89 10 2
                                    

Masih dengan rasa yang sama, bahagia luar biasa walau hanya sesaat melihat sosoknya~

🌷🌷🌷

"Arifah udah sarapan?" tanya tante Riani - ibuknya mas Irham dan mbak Nadia.

Kurang lebih 10 menit yang lalu aku tiba di rumah ini. Semalam mbak Nadia menelfonku, ia mengajakku ke Solo membeli perlengkapan untuk kegiatan KKN-nya di Magelang. Memang harganya agak miring, selain itu aku tau mbak Nadia juga penat. Satu bulan di tempat susah sinyal yang juga masih jauh dari peradaban tentu membuatnya tersiksa.

"Udah buk, tadi bunda pagi-pagi udah masak. Mau ke rumah eyang soalnya hehe," jawabku kemudian.

"Mau ada acara di rumah eyang?" tante Riani ikut duduk di sofa bersamaku.

"Enggak buk, eyang pingin dibikinin brownies."

"Semalem ibuk juga buat, mau dibawa ke tempat KKN-nya mbak Nadia, Arifah mau? Kalau mau ibuk ambilin," tante Riani hampir beranjak dari kursinya, ketika mas Irham muncul dari ruang tengah. Rambutnya masih basah, ia memakai seragam dinasnya. Baju koko dan celana bahan warna hitam.

"Arifah udah bosen kali buk sama brownies, ya nggak Fah?" mas Irham berucap sembari masuk kamarnya.

"Haha bukannya bosen mas, cuma udah nggak berminat saking seringnya buat itu kue," aku terkekeh.

"Sama aja bosen namanya," mas Irham keluar kamar dengan membawa ransel dan pecinya. Setiap pagi, mas Irham masih aktif mengajar di pondoknya dulu. Sedangkan setiap sore, ia juga dipercaya mengampu kegiatan keagamaan di SMA ku dulu.

Kegiatan seperti rebbana, seni kaligrafi, qiro', dan lain sebagainya mulai dihidupkan lagi. Dan mas Irham memang memiliki bakat dalam itu semua, terutama dalam seni kaligrafi. Aku sempat diajarinya ketika masuk semester 3 kemarin. Mata kuliah Khat wa Imla' mengharuskanku membuat sebuah karya kaligrafi di atas asturo sebagai pengganti nilai UAS. Alhamdulillah mas Irham dengan sabar dan telaten mau mengajariku yang super duper cerewet dan tidak sabaran ini.

"Kadang malah baunya bikin mual ya kalau keseringan buat," tante Riani ikut terkekeh.

"Iya buk, apalagi kalau tiap hari bunda buat, wih bisa mabok brownies hahaha."

"Nah iya kan."

"Naad cepetan udah ditunggu Arifah dari tadi juga!" mas Irham mengetuk pintu kamar mbak Nadia.

"Iyaaa bentar, lagi pake jilbab."

"Bukain bentar, kakak minta foot spray!"

"Punya kakak habis?" mbak Nadia membuka pintu kamarnya.

"Hehe ketinggalan kemarin pas futsal," mas Irham nyengir kuda.

"Dasar, itu kan baru beli."

"Ya maaf," mas Irham langsung masuk ke kamar mbak Nadia.

"Ya gitu kalau nggak berantem nggak lega." pak Sultoni muncul dari ruang tengah dengan membawa koran dan kaca mata plusnya.

"Tapi kan waktu Nadia KKN kemarin kak Irham ngaku kalau kangen sama Nadia, hahaha." mbak Nadia tertawa puas.

"Iya kangen giniin nih biar mancung." mas Irham menjepit hidung mbak Nadia.

"Awww!!" mbak Nadia menjerit, jarinya mengusap-usap hidungnya yang memerah.

"Masih pagi juga, seneng banget teriak-teriak!" tegur tante Riani.

"Kakak yang mulai, huuu"

Mas Irham hanya mencebik.

"Irham berangkat ya pak, buk," mas Irham pun menyalami tangan keduanya. "Duluan Fah," lanjutnya.

"Ih Nadia nggak dipamitin? Okee! Ntar nggak Nadia beliin oleh-oleh." mbak Nadia pura-pura merajuk.

"Itu uang dari siapa? Itu uang kakak kali, pede amat nggak beliin oleh-oleh buat yang punya duit."

"Hihi" mbak Nadia meringis.

"Berangkat dulu, assalamualaikum.."

"Walaikumsalam.."

"Hati-hati le,"

"Iya buk."

Ya begitulah, aku sudah merasa nyaman di rumah ini. Mungkin karena mereka sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Terlebih dulu saat mas Irham masih nyantri, bapak juga sering ke luar kota. Jadi aku sering menginap di sini.

***

"Bu guruuuu," sorak Bintang dan teman-temannya ketika aku masuk ke pelataran masjid.

"Assalamualaikum.." aku segera mengucap salam, entah kenapa ada rasa bahagia yang begitu membuncah.

"Waalaikumsalam.."

Mereka segera menyalimi tanganku. Ada sebagian yang menarik-narik tangan dan gamisku. Tak ketinggalan saling mengadu satu sama lainnya. Saling melapor kalau ada yang nakal, ada yang nyubitin, ada yang pelit, dan masih banyak lagi. Tapi sungguh itu hal yang paling menyenangkan di sini.

"Kemarin udah janji kan sama bu guru kalau nggak boleh nakal?" aku bergegas menuju serambi masjid, tentunya diiringi langkah kecil mereka.

"Ustadzah nanti Dadan dulu ya yang ngaji?" ucap Adzan seraya mendongak menatapku, ia menarik-narik lengan gamisku.

"Ehh kan yang dateng duluan akuu," Zahra bersorak dengan suara cemprengnya.

"Iyaa habis Zahra terus aku duluan," Ara menimpali.

"Kan Dadan paling kecil disini," Adzan membela diri tentunya juga mencari pembelaan dariku.

Aku hanya tersenyum.

"Yaudah kita duduk dulu, berdoa dulu, terus bu guru kasih pertanyaan. Siapa yang bisa jawab, ngaji duluan, oke?"

"Okeee," mereka berseru kompak.

Lagi-lagi aku harus mengulum senyum, di serambi sebelah kanan ada mas Najib. Karena hari ini mbak Ulya, Rista, dan Risti berhalangan hadir, sedangkan mbak Nadia, sepulang dari Solo tadi, ia langsung berangkat ke Magelang. Jadi hanya ada aku dan mas Najib sebagai pengajarnya. Mas Najib baru akan berangkat ke Malang minggu depan, sehingga ia masih tetap mengajar TPA.

Tak lama setelah aku memimpin anak-anak untuk berdoa, Habib — anak kelas 3 MI yang diajar mas Najib, menghampiriku.

"Ustadzah Arifah, ustadz Najib bilang, nanti habis ngaji jangan pulang dulu. Nanti ada game baru dari ustadz Najib." Habib berucap dengan tampang seriusnya.

"Ohh yaa, kalau begitu ngajinya dua-dua deh biar cepet," anak-anak segera mengangguk cepat, mereka terlihat bahagia. Sama sepertiku, ini menjadi sore terindah part dua dalam hidupku.

🌷🌷🌷

Alhamdulillah..

Jangan lupa vote dan komentarnya💕💕

Baarakallahu fiikum😘😘

Boyolali, 5 Syawal 1439 H

@rnbwcake

ArifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang