Part 10

1.4K 113 0
                                    

Fatma menutup Mushaf Al-Qurannya, seusai nderes (muraja'ah), ia duduk di kursi meja belajar. Tepat di hadapannya, hamparan sawah hijau menyajikan keindahannya. Beberapa capung berterbangan ke sana ke mari. Orang-orangan sawah tersusun rapi berjajar-jajar. Gadis itu menerawang jauh ke birunya langit. Bernostalgia indah, masa-masanya di pesantren dulu. Perjuangannya, sahabatnya, dan cintanya.
Satu nama terlintas begitu saja di benaknya.

"Gus Zahid, bagaimana kabarmu di sana ?" lirihnya. Air mata itu menetes lagi. Tahun demi tahun sudah berlalu tapi Fatma masih merasa bahwa Gus Zahid ada di sisinya.

Lamaran Faqih datang begitu tiba-tiba hingga Fatma bingung harus menjawab apa karena dirinya belum begitu yakin. Dirinya takut jika pernikahannya dengan Faqih masih terganggu oleh bayang-bayang rasa cintanya kepada Gus Zahid.
Tapi sampai kapan kamu gini, Fatma ? Sampai kapan kamu menunggu yang takkan pernah datang ? Sampai kapan kamu menunggu yang tak pasti ? Padahal seseorang yang sudah pasti kini ada di depan matamu. Pikirnya.

"Aku sudah 27 tahun sekarang. Sudah 6 tahun aku menutup hati, sampai kapan aku terus menutup hati ?" Fatma membatin. Gadis itu beranjak dari duduknya, menemui ayahnya yang kini sedang menonton televisi di ruang tengah.

"Ayah.." panggilnya. Ayahnya menoleh.
"Mm.. Ayah punya nomor Putra yang beberapa hari lalu datang ke sini ?" tanya Fatma.
"Oh, ada. Awalnya ayah kira kamu mau kenal dulu sama dia, jadi ayah simpan nomornya." Lelaki itu meraih handphonenya, lalu menyerahkan nomor kontak seorang yang Fatma maksud.

"Nak.." panggil ayahnya. Fatma menatap wajah pria itu, yang kini sudah tak muda lagi.
"Jangan terlalu berharap pada yang sudah pergi. Jangan terlalu meratapi apa yang sudah berlalu. Karena kita tidak akan pernah menetap di masa lalu, bukan ? Kita sekarang ada di masa kini. Dan kita di masa kini akan membentuk kita yang ada di masa depan. Jadi setidaknya biarkan masa lalu itu tersimpan saja. Jika kamu merindukannya, buka saja lembaran masa lalumu. Tapi jangan tulis tinta di sana karena itu berarti jiwamu masih di sana, di masa yang sudah berlalu. Nak, masa lalu itu sudah menjadi tulisan di sebuah buku dalam hidupmu, sehingga kamu masih bisa membacanya, mempelajarinya, mengingatnya, tanpa ada maksud untuk menetap kembali di dalamnya." ujar ayahnya. Ayah Fatma masih seperti biasanya. Bijak, mampu menenangkan hati, dan mampu membuat Fatma berpikir dua kali.

Fatma menelepon nomor itu.  Tapi ternyata Fatma sudah menyimpan nomornya dari dulu. Sejak lama sekali. Nomor itu ternyata tak pernah ia hapus. Bahkan di daftar panggilan. Ternyata Fatma pernah berkali-kali meneleponnya, tapi tak pernah mendapat jawaban. Nomor itu masih ada di daftar kontaknya. Tertera nama Orang Tak Dikenal pada layar handphone Fatma.
"Dia.. Faqih ? Selama ini yang mengirimiku pesan ternyata Faqih ? Tapi kenapa ia tak pernah bilang ?" Terdengar nada tersambung dari handphonenya.

"Assalamualaikum." ujar Fatma.
"Waalaikumsalam. Fatma ya ? Ada apa?" jawab lelaki itu. Suaranya masih sama. Masih bening seperti dulu. Batin Fatma.
"Eh, iya, maaf kalo ganggu. Bisa ketemu sebentar ?" tanya Fatma.
"Mm.. Gimana ya ? Ini aku sebenarnya baru persiapan mau ke Jakarta. Tapi yaudah, nggakpapa kalau cuma sebentar. Di mana ?"
"Di cafe kopi yang dekat rumahku, tau kan ?"
"Cafe situ. Ya.. Tunggu 15 menit ya." jawab Faqih. Fatma menutup teleponnya lalu bersiap-siap menuju tempat itu.

Segelas kopi sudah terhidang di meja. Fatma memperhatikan jam tangannya sedari tadi. Ini sudah lewat 15 menit tapi lelaki itu belum juga datang. Dilihatnya trotoar jalan raya. Tampak seorang lelaki berjas hitam berjalan ke arah cafe itu.

"Assalamualaikum." sapanya lalu duduk di bangku depan Fatma.
"Waalaikumsalam."
"Jadi gimana ?" tanya Faqih.
"Mm.. Pertama aku mau bilang makasih untuk pesan-pesan misterius berisi motivasi selama ini."
"Jadi kamu dah tau ? Benar juga kan kataku. Suatu saat kamu pasti tau." Lelaki di depannya menatap Fatma seolah melupakan kejadian lamaran beberapa hari yang lalu. Fatma hanya mengangguk pelan, mengiyakan.
"Sama aku mau membahas sesuatu." celetuk Fatma. "Soal lamaran itu. Aku belum berpikir matang tentang jawabanku." lanjutnya. Faqih menatap Fatma lagi. Tak percaya dengan perkataan gadis itu.
"Aku.. aku minta waktu untuk berpikir dulu. Karena waktu itu ayah bilang kalo anak teman ayah mau kenalan aja, jadi aku nggak berpikir ada rencana itu." Faqih diam. Fatma juga berhenti bicara.
"Aku ada proyek di Jakarta. Awalnya mereka bilang cuma 2 bulan. Tapi kemarin dari pihak yang di Jakarta bilang kalo mereka minta tambahan waktu, jadi ditambah waktu lagi. Mungkin sekitar 3 bulan atau lebih. Jadi, selama itu kamu bisa memikirkan jawabanmu. Aku nggak memaksa kamu mengubah jawabanmu dari jawaban yang awal. Karena Allah pasti sudah mengatur alurNya." jawab Faqih. Belum sempat Fatma menjawab, handphone Faqih berdering, tanda telepon masuk.
"Pak, ini sudah ditunggu di kantor." ucap lawan bicaranya. Faqih hanya mengiyakan, lalu minta ditunggu sebentar lagi. Faqih menutup teleponnya lalu bangkit dari duduknya, pamit untuk pergi ke kantor.
"Oiya, Fatma." Baru beberapa langkah, Faqih berhenti. Fatma melihat ke arahnya. Setelah itu, sebuah ucapan terlontar dari mulut Faqih. Membuat Fatma tak bisa berhenti mengembangkan senyumnya.

"Lagipula aku sudah terbiasa menunggumu."

***
Assalamualaikum..
Hai hai.. Nggak kerasa besok dah Senin. Semangat menjalankan rutinitas seperti biasanya..
Vote dan comment yaa..

L-Safina

#2. Nantikanku di Batas WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang