Part 11 (END)

2.5K 140 63
                                    

Faqih sudah berangkat ke Jakarta sejak kemarin. Menyisakan Fatma bersama kenangan dan pilihannya. Kini lelaki itu harus benar-benar menerima apa jawaban dari Fatma. Tanpa paksaaan dan tanpa keraguan.

Sudah hampir 10 tahun Faqih menanti gadis itu. Menolak cinta dari gadis lain yang datang silih berganti selama dia menuntut ilmu di luar sana. Karena selain Fatma, belum ada gadis yang mampu menjatuhkan hatinya lagi. Namun jika pada akhirnya jawaban Fatma masih sama dengan sebelumnya, biarkan Allah yang mengatur bagaimana Faqih menjalani sisa hidupnya tanpa gadis yang telah dinanti selama ini. Begitu banyak gadis yang datang silih berganti di kehidupannya. Salah satunya adalah Ila. Gadis sholehah, cantik, dan sukses. Sungguh cocok jika dipasangkan dengan Faqih, begitu kata rekan kerjanya.

Namun selama ini Ila hanya menunjukkan perhatiannya kepada Faqih tanpa pernah menjelaskan perasaanya kepada lelaki itu.

Ila adalah teman kuliahnya dulu. Sama-sama berasal dari Indonesia. Hanya saja selama ini Ila memilih untuk ikut ibunya di Turki karena ke dua orangtuanya sudah lama bercerai. Gadis itu kini sedang duduk di depan Faqih. Di sebuah tempat makan yang cukup terkenal di Jakarta. Tampak meja mereka sudah penuh dengan makanan yang dipesan.

"Oiya, gimana kabarmu, Qih ?" tanya Ila. Satu hal lagi yang Faqih ingat tentang gadis itu, dia ceria. Berbeda dengan Fatma yang memilih diam jika tak diminta bicara.
"Kabarku ? Masih sama kayak dulu. Alhamdulillah masih diberi kesempatan bernafas sama Allah." ujarnya. Gadis di hadapannya kini tertawa.
"Kamu ini. Masih sama kayak dulu. Selalu menjawab dengan hal yang berbeda. Oiya, kamu di sini berapa lama ? Tinggal di mana ?" Gadis bermata lebar itu menyeruput minuman di hadapannya.
"Aku di sini ada proyek selama kurang lebih 3 bulan, La. Dari pihak kantor sudah menyewa apartemen di dekat kantor clienku, jadi kalo ada urusan penting di kantor nggak terlalu diburu waktu." jelas Faqih. Gadis di hadapannya hanya mengangguk, tanda mengerti.
"Jadinya keputusan ayahmu gimana ? Katanya dulu sempat mau dijodohkan sama anak rekan kerjanya." tanya Faqih.
"Nggak jadi, Qih." jawabnya pelan.
'Lhoh ? Kok bisa ? Kenapa ?" tanya Faqih.
"Aku yang nolak. Aku nggak mau dijodohin. Karena aku mau mencari pilihanku sendiri."
"Jadi, siapa ?" tanya Faqih. Gadis itu menatapnya.
"Siapa apanya ?"
"Ya siapa pilihanmu itu." jelas Faqih.
"Mm.. Ada sih. Tapi aku belum begitu berani, Qih." jawab Ila.
"Lhoh emangnya si dia udah punya pilihan yang lain ?" tanya Faqih.
"Setauku sih belum. Tapi ya nggak tau." ucap Ila lalu menyeruput minumnya lagi.
"Kalo kamu dah yakin dan dianya juga lagi nggak dekat dengan siapapun, bilang aja kali, La. Nanti keburu telat. Kasian juga orang tuamu kalo harus menunggumu terus." jelas Faqih. Ila hanya mengangguk, mengerti.
"Nah, aku dah ditelepon nih. Aku pamit dulu ya. Assalamualaikum." ujar Faqih lalu beranjak pergi setelah Ila menjawabnya.

Dari arah meja itu, sepasang mata melihat Faqih yang semakin menjauh dari hadapannya. Lalu sebutir air mata menetes begitu saja. Pemilik itu tak mengusapnya, membiarkan air itu menetes satu demi satu. Membiarkan pedih di hatinya merambat begitu saja.
"Harus sejelas apa lagi aku memberitahu padamu ?" lirihnya.

Faqih memasuki ruangan itu. Merapikan jas hitamnya. Berjalan seperti orang sukses pada umumnya. "Assalamualaikum, Pak." sapanya kepada yang ada di dalam ruangan.
"Waalaikumsalam, silakan masuk, Pak Faqih." ujar pria itu.
"Gimana perjalanannya ? Maaf baru bisa ketemu sekarang. Kemarin itu saya menjemput anak saya di bandara." lanjutnya.
"Alhamdulillah perjalanannya aman, Pak. Saya juga baru saja ketemu teman lama saya sewaktu kuliah." jelas Faqih. Pria itu mengangguk.
"Gimana kalau langsung kita mulai saja rapatnya ? Kita ke ruang rapat ya sekarang." Pria itu memanggil sekretarisnya dan mengajak Faqih menuju ruang rapat. Semoga semua berjalan lancar. Aamiin, Yaa Rabb. Batin Faqih.

Petang sudah datang. Matahari sudah berganti dengan bulan dan beberapa bintang. Faqih baru saja melaksanakan sholat Maghrib di mushola kantor itu. "Pak Faqih, dipanggil manajer ke kantor." panggil seorang asisten kantornya. Faqih mengangguk, lalu melipat sarungnya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Nah, sini, Pak Faqih." Faqih duduk di kursi depan meja manajer.
"Gimana kalau kita makan malam bersama di rumah saya ? Kebetulan untuk menyambut anak saya yang baru sampai di Indonesia, menyusul saya."
"Wah, Alhamdulillah kalau gitu, Pak. Hitung-hitung menghemat uang makan." celetuk Faqih. Pria di depannya tertawa renyah.
"Ayo. Pak Faqih bawa mobil ?" tanya pria itu, Faqih mengangguk.
"Yasudah nanti saya tunjukkan arahnya." Manajer kantor itu dan Faqih berjalan beriringan menuju tempat parkir.

#2. Nantikanku di Batas WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang