Fatma menutup Mushaf Al-Qurannya, seusai nderes (muraja'ah), ia duduk di kursi meja belajar. Tepat di hadapannya, hamparan sawah hijau menyajikan keindahannya. Beberapa capung berterbangan ke sana ke mari. Orang-orangan sawah tersusun rapi berjajar-jajar. Gadis itu menerawang jauh ke birunya langit. Bernostalgia indah, masa-masanya di pesantren dulu. Perjuangannya, sahabatnya, dan cintanya.
Satu nama terlintas begitu saja di benaknya."Gus Zahid, bagaimana kabarmu di sana ?" lirihnya.
***
Gadis remaja itu membuka mushaf Al-Quran kesayangannya. Mengulang-ulang hafalannya. Persiapan untuk nderesan sore atau muraja’ah sore bersama Bu Nyai, seorang Hafidzah yang menginspirasinya untuk tetap istiqomah menghafal Al-Quran.
Sesekali ia mengintip ayat untuk memastikan bahwa bacaannya benar. Memejamkan mata lalu membuka mata lagi, mencoba berkonsentrasi dan mengingat hafalannya. Gadis piatu yang ditinggal ibunya beberapa tahun yang lalu. Gadis remaja yang pernah patah hati karena lelaki yang ia kagumi menikah dengan sahabatnya sendiri. Seorang gadis yang ditinggal pergi sahabatnya tanpa dipamiti.
Ya. Fatma Munawaroh. Masih tentang lika-liku hidupnya sebagai seorang penghafal Al-Quran. Jatuh hati, kehilangan orang yang disayangi, ditinggal pergi. Tak sedikit butir air bening yang keluar dari mata indahnya.
“Aku lelah dengan semuanya,” gumamnya suatu waktu. Hingga hidayah dari Sang Pemberi Hidayah merengkuhnya, menghampiri batinnya.
“Aku… ingin menghafal Al-Quran,” batinnya di tengah sujud malamnya.***
Adzan Shubuh sudah berkumandang sejak 5 menit yang lalu. Kamar mandi sudah ada yang memakai, antrean di depannya pun kini hampir sepanjang 3 meter.
"Mbak kamar mandi, masih lama nggak ?" tanya seorang santriwati di depannya. Sementara yang di dalam kamar mandi menjawab, "Sebentar, baru mau sikat gigi."Santri lain ada yang menunggu sambik jongkok dan tidur. Ada yang menunggu sambil cemberut karena menunggu terlalu lama. Ada pula yang memutuskan untuk ke luar barisan antri dan wudlu di masjid saja.
Fatma, yang untungnya sudah berwudlu sejak tahajud tadi, memakai bawahan rukuhnya dan mengambil Al-Quran coklatnya. Melangkah menuju masjid bersama sandal ungu kesayangannya.Semuanya hampir berubah. Tanpa Husna, yang selalu menemaninya di pesantren. Tanpa Ridwan dan untaian aksaranya. Tanpa Faqih dan nasihatnya. Tanpa Mbak Firda, teman sekamarnya yang kini sudah boyong (keluar dari pesantren).
Masjid masih sepi. Santri putri belum ada yang datang. Santri putra mungkin ada yang masih terlelap. Fatma memasuki masjid itu. Muadzin yang tadi adzan juga tak tampak di shaf putra. Atau mungkin Fatma yang belum melihatnya karena satir masjid yang tinggi sehingga shaf putra tak tampak seutuhnya, hanya sebagian saja.
Fatma duduk, meletakkan sajadah di depannya dan membuka mushafnya. Ia belum memulai bacaannya tetapi seseorang sudah lebih dulu membaca Fatihah. Suaranya menggema di seluruh penjuru masjid. Suara yang khas dan belum pernah Fatma dengar. Nadanya pun seperti nada yang biasa dibaca imam saat sholat. Tapi, Fatma belum pernah mendengar suara yang seperti ini selama sholat berjamaah di masjid pesantren. Suara itu berasal dari shaf putra. Fatma sadar, sedari tadi ia tak sendiri.
Fatma mencoba mengacuhkan suara itu. Tapi suaranya yang menggema, membuat Fatma mengikuti bacaan yang dibaca lelaki itu. "Juz 6 awal," lirihnya.
"Sepertinya ia juga lagi nderes." tebaknya karena sesekali lelaki itu berhenti lalu melanjutkan lagi.Satu persatu santri memasuki masjid. Shaf demi shaf mulai terisi dan iqomahpun dikumandangkan. Masing-masing dari mereka membaca bacaan sholatnya. Mengkhususkan pikiran kepada Sang Pencipta Akal. Mengkhidmatkan suasana kepada Sang Pencipta Kehidupan.
Sholat shubuh telah selesai. Doa bersama sudah dilantunkan. Saatnya setoran hafalan bagi santri tahfidz dan ngaji kitab bagi santri non tahfidz / santri kitab. Fatma sudah mengantre untuk setoran. Berulang kali ia membaca halaman yang akan ia setorkan. 1 lembar dari hafalan yang kemarin dan 1 halaman dari tambahan hafalan yang ia buat tadi malam.
Fatma sudah ada di urutan ke dua. Setelah ini, Fatma maju untuk menyetorkan hafalannya. Untuk setoran dan nderesan sore biasa disimak langsung oleh Bu Nyai. Fatma maju ke hadapan Bu Nyai dan menyetorkan hafalannya. Tapi sebelum mulai, seorang santriwati masuk ke pendopo dan menghampiri Bu Nyai.
"Bu Nyai, niku Gus Zahid sampun dugi. Wau dereng kepanggih Ibuk. (Bu Nyai, itu Gus Zahid sudah datang. Tadi belum bertemu Ibuk.)" ujarnya. Bu Nyai menuju ndalem sebentar.Kasak-kusuk santri tahfidz di belakangku sedikit terdengar. Aku pun menoleh dan bertanya, "Gus Zahid itu putranya Ibuk?" Teman satu kompleknya, Zahra, mengangguk. "Gus Zahid dapat beasiswa ke Kairo, Mbak. Jadi jarang pulang. Katanya pulangnya setiap lebaran, waktu santri-santri pada mudik." jelasnya.
"Hafidz Quran, suaranya bagus, pinter, anaknya Kyai pula." tambah Salma, teman sekamarku.Apa yang nderes di Masjid tadi itu Gus Zahid ya ? Batin Fatma.
"Mbak Fat, Ibuk, Mbak." Bu Nyai kembali ke pendopo. Fatma segera memulai setorannya. Sedikit bagian yang lupa dari setoran yang ia buat tadi malam. Tetapi dibantu oleh Bu Nyai dan disambung kembali oleh Fatma. Seusai setoran, Fatma salim ke pada Bu Nyai."Nduk, tolong buatkan kopi untuk Pak Kyai dan Zahid, beliau ada di ruang tamu ndalem." ngendika Bu Nyai.
Deg ! Fatma tersontak. Bertemu dengan Pak Kyai jarang bisa di lakukan oleh santriwati pondok pesantrennya. Karena beliau yang sangat aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan berkunjung ke luar kota.
Fatma segera menuju dapur dan membuatkan 2 cangkir kopi hitam.
Apa mungkin Gus Zahid itu yang tadi ? Ah, entah, batinnya.
Fatma berjalan menuju ndalem. Baru sampai halaman depan, seseorang berdiri tepat di hadapannya. Hanya berjarak 35 cm dari tempatnya berdiri.
Spontan, Fatma mendongakkan kepalanya. Lelaki berkoko biru langit, bersarung biru tua, dan berpeci hitam sedang berdiri di hadapannya. Menatap Fatma. Lekat.
Santri putra, batin Fatma.***
Assalamualaikum.. L-Safina kembali.. Jadi, gimana part 1 nya ? Ditunggu kelanjutannya ya..
Vote dan comment sangat dibutuhkan.. Kalau ada salah, tulis di komentar ya, biar bisa dibenahi.. Terima kasih..Salam kenal,
L-Safina
KAMU SEDANG MEMBACA
#2. Nantikanku di Batas Waktu
SpiritualSilakan membaca Cintaku Terhalang Dinding Pesantren dulu, karena cerita ini adalah lanjutan dari cerita tersebut. Terima kasih, salam kenal, dan selamat membaca.. L-Safina *** Gadis itu membuka mushaf Al-Qurannya. Membaca dengan nada khas. Nada yang...