Part 7

1.5K 114 2
                                    

"Zahid Hamizan Rabbani !" Gus Zahid dan Fatma menoleh ke sumber suara.
Fatma tercengang. "Pak Kyai !!"

"Kalian sedang apa di sini ? Zahid ikut bapak ke rumah sekarang. Fatma segera kegiatan ke masjid." Lelaki paruh baya yang sering memakai baju koko dan surban putih itu langsung bergegas menuju ndalem. Diikuti Gus Zahid di belakangnya, meninggalkan Fatma tanpa sepatah katapun. Fatma terpaku, memastikan apakah ini mimpi atau bukan. Tapi ia sadar. Memang itu bukan mimpi.

Fatma hampir menangis. Ia takut, batinnya sangat takut.
Bagaimana dengan Gus Zahid ? Duh, Ya Allah. Kenapa jadi gini ? Kenapa jadi rumit ? Kenapa juga aku harus ke taman ini ?
Fatma terus menyalahkan dirinya sendiri. Terus membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa jadi Gus Zahid malah menjauhinya.
"Kepada seluruh santri putri diharap segera menuju masjid untuk kegiatan malam Jumat." Fatma menarik napasnya. Mencoba menenangkan diri walau sebenarnya firasatnya tak enak. Ia merasa sangat bodoh. Ia merasa tak sopan. Batin Fatma bergejolak. Mencoba membaca istighfar berulang kali. Kegiatan hampir dimulai, ia beranjak menuju masjid.

Sementara itu, beberapa meter dari masjid pesantren, seorang lelaki tengah duduk di ruang tamu. Menundukkan pandangannya walaupun seorang pria paruh baya yang biasa ia panggil bapak tengah ada di hadapannya.
"Coba jelaskan, Le." ujar Pak Kyai kepada putra kesayangannya itu. Pasalnya, tak pernah ia melihat putranya seperti itu. Santri yang menemuinya tadi datang dengan sebuah informasi bahwa putranya sedang janjian untuk bertemu dengan seorang gadis. Hal yang sangat ia takutkan hampir saja terjadi. Hal yang menjadi sebab dibuatnya dinding pembatas yang tinggi antara pondok putra dan putri. Hal yang membuatnya mengingat masa dulu, ketika mengetahui bahwa 2 orang santri sengaja bertemu, bahkan lebih dari 2 kali.

"Maaf, Pak. Tadi ndak seperti yang bapak lihat. Zahid ndak pernah janjian untuk bertemu dengan Fatma. Zahid ndak sengaja ketemu dia di taman itu." jelas Gus Zahid.
"Tapi kenapa tadi ada yang bilang kamu janjian dengan Fatma ?" jawab Pak Kyai. Pria paruh baya itu melihat putranya dengan penuh selidik. Mencurigai sesuatu, tapi ia biarkan berlalu karena memang putranya tak pernah berani sengaja bertemu seorang perempuan. Gus Zahid menatap bapaknya dengan penuh tanya.
"Zahid ndak pernah berani janjian bertemu seorang perempuan, Pak." jelas Gus Zahid.
"Tapi tadi seorang santri putri ke sini. Bilang kalau kamu janjian dengan Fatma."
"Santri putri ? Siapa, Pak ?" Gus Zahid bertanya nama santri itu. Sungguh, apa maksudnya? Padahal jelas-jelas dirinya tak pernah dengan sengaja bertemu Fatma. Selama ini ia hanya berkirim pesan saja. Tak lebih.

Dilihatnya Pak Kyai menggeleng tidak tau karena saking banyaknya santri putri di pondok pesantren itu. Dan rasanya, santri itu jarang aktif dalam kegiatan pesantren sehingga Pak Kyai jarang melihatnya. Mungkin hanya sekali dua kali.
"Yasudah. Kamu boleh masuk." ujar Pak Kyai. Gus Zahid mengangguk lantas ke kamar mandi, mengambil air wudlu, dan membuka lembaran mushafnya.

Tak seperti malam Jumat yang biasanya, kali ini Fatma kurang menikmatinya. Pikirannya sedang melayang mengingat kejadian barusan. Ia jadi teringat kata Firda dulu tentang sejarah dinding yang tinggi menjulang itu. Fatma menunduk. Memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Hingga sebuah keputusan terlintas begitu saja di pikirannya.
Sepertinya, memang nggak baik kalo aku terus berkirim pesan dengan Gus Zahid. Batinnya.

***

Pagi ini cuaca mendung. Udara dingin menyelimuti pondok pesantren. Sebagian dari mereka ada yang bersiap-siap sekolah dan kuliah. Sebagian lagi ada yang keluar mencari sarapan. Fatma masih terduduk di atas kasur lipatnya. Kamarnya sudah sepi. Anis dan Riani sudah berangkat kuliah dari tadi. Fatma mengambil handphonenya, menulis sebuah pesan kepada lelaki itu. Seseorang yang sudah menyita pikirannya satu bulan ini. Seseorang yang sejatinya mampu membuat hati Fatma berdesir dengan setiap kalimat motivasinya. Tapi, sekali lagi ia merasa bahwa dirinya memang tak pantas untuk Gus Zahid.

#2. Nantikanku di Batas WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang