Lelaki itu masih berdiri di depan pintu masjid. Menatap Fatma seperti sebelumnya, lekat. Mendengar senandung shalawat itu. Tersenyum, lalu cemberut lagi. Perlahan, lelaki itu mulai menyadari ada yang tak beres dengan dirinya. Aku kenapa? Batinnya lalu melangkah pergi, kembali menikmati malam penuh berkah itu, malam Jumat.
Fatma masih bersenandung ketika lelaki itu meninggalkan pelataran masjid. Membuatnya bersyukur berulang kali karena ia tak perlu kikuk lagi diperhatikan macam itu. Malam masih menaungi pulau Jawa dan Fatma masih mengikuti kegiatan malam itu, Barzanji.
"Ah, aku ngantuk."ujar Anis, teman sekamar Fatma.Kegiatan telah usai dan semua santri putri telah kembali ke kamar. Sementara dari pondok putra masih terdengar bunyi terbangan dan sholawatan.
Fatma menggelar kasur lipatnya, menutup jendela dan gorden kamarnya. Penghuni kamar itu sudah terlelap semua, kecuali Fatma. Entah mengapa, matanya masih enggan untuk terlelap.Ia buka handphonenya dan mendapati foto bunda, ayah, dirinya, dan kakaknya ketika di pantai. Tersenyum bahagia, melepas tawa, menikmati kebersamaan.
Aku kangen bunda, batin Fatma.
Satu persatu bulir airmatanya menetes. Isaknya mulai terdengar namun segera ia bungkam mulutnya dengan selimut, takut ditanyai macam-macam jika ada yang mendengar. Rasa rindu itu semakin membuat badannya gemetar karena tangis. Fatma tak tau apa obat dari rindunya kali ini.Pintu kamar Fatma yang semula tertutup kini terbuka. "Mbak.. Mbak Fatma?" Fatma mengusap air matanya lalu bangun. Tampak Salma berdiri di ambang pintu sambil membawa kertas putih.
"Ini diutus Bu Nyai nulis data santri, soalnya yang santri baru belum direkap, Mbak. Kalo bisa besok pagi ya mbak ngasihnya." Fatma mengangguk lalu mengambil kertas itu. Salma kembali ke kamarnya seusai menutup pintu kamar Fatma."Sahabatku, kalo suatu saat kita ditinggal pergi, entah itu sementara atau selamanya, kita harus ikhlas. Sabar, terus senyum. Karena senyum, sedih itu bisa terobati." Kata-kata Faqih kembali terngiang oleh Fatma. Fatma tersenyum, lantas menarik nafasnya dalam-dalam.
"Kehilangan itu memang menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi jika menganggap kehilangan itu sebagai beban, Fat." ujar Faqih suatu waktu. Fatma mematikan lampu kamarnya lalu berdoa dan memejamkan matanya.
***
Hari sudah pagi. Fatma tengah disibukkan dengan data santri, menyalinnya dalam lembaran kertas putih yang diberi Salma. "Nah, selesai." Fatma berjalan menuju dapur, hendak memberikan kertas itu kepada Bu Nyai karena beliau biasa mengecek bahan dan alat masak ketika pagi hari.
"Mbak, Bu Nyai di mana ya ?" tanya Fatma kepada Hilda. "Kayaknya di ndalem, Fat." jawabnya. Fatma berjalan pelan menuju kediaman Bu Nyai. Berharap Gus Zahid tak ada di sana saat ini. Berharap orang yang kemarin melihatnya dari pelataran mushola sedang tak ada di sana sekarang.Harapannya pupus tatkala seorang lelaki bersarung hijau tua, berkoko hijau polos, dan tanpa peci itu tengah duduk di ruang tamu membaca sebuah buku. Fatma mengetuk pintu dengan ragu.
"Assalamualaikum." ujarnya. Gus Zahid melihat ke arahnya lantas menjawab salamnya. Melihatnya sebentar, lalu bertanya, "Ada apa ?"Fatma terus berusaha untuk tidak kikuk. "Mm.. Apa Bu Nyai ada?" tanyanya.
"Ibuk baru ke pasar." jawab lelaki itu singkat lalu menatap kembali bukunya.
"Yasudah, titip ini, data santri." Fatma menyerahkan kertas itu kepada Gus Zahid dan pamit untuk kembali ke pondok.Gus Zahid meletakkan buku dan kertas itu di meja. Lalu pergi keluar dari rumahnya. Menikmati sawah yang sekarang terlihat hijau, terbentang luas. Ia tak begitu suka pemandangan sawah saat malam, gelap.
Hanya orang aneh yang suka sawah saat malam, batinnya.
***
Rumah keluarga pesantren sepi. Bu Nyai masih di pasar dan Pak Kyai sedang ke luar kota. Sementara itu, sebuah lengan meraih kertas bertuliskan data santri putri. Jemarinya menelusuri nama demi nama di dalamnya. Kemudian berhenti pada satu nama. Fatma Munawaroh."Mbak, ini sayurnya tak bawa ke aula ya." ujar Fatma.
"Iya, Fat. Nanti nggak usah ke dapur lagi ya, ini tinggal nunggu nasi. Aku yang bawa aja." ujar Hilda. Fatma mengangguk lantas membawa wadah berisi sayur itu ke aula pondok.Fatma kembali ke kamarnya. Mengambil baju ganti, alat mandi, dan handuk. Hendak menuju kamar mandi namun ia terganggu dengan handphonenya yang sedari tadi berbunyi.
Fatma meraih handphonenya dan membuka passwordnya. Tampak tulisan, 1 pesan baru.
Klik. Muncul sebuah nomor tak dikenal, dan SMS yang berbunyi,Hidup memang tak mudah, tapi bukankah tak semudah itu menyerah kalah ? Jangan kalah pada hari dan teruslah merajut mimpi.
Jangan tanya ini siapa karena ini bukan seperti yang engkau bayangkan. Cukup diam saja dan lanjutkan hidupmu.
:)Fatma menatap layar handhponenya dengan bingung. Ini siapa ?
***
Perjalanan masih panjang. Selamat membaca, Kawan.
Salam kenal.. Vote dan comment sangat dibutuhkan..L-Safina
KAMU SEDANG MEMBACA
#2. Nantikanku di Batas Waktu
EspiritualSilakan membaca Cintaku Terhalang Dinding Pesantren dulu, karena cerita ini adalah lanjutan dari cerita tersebut. Terima kasih, salam kenal, dan selamat membaca.. L-Safina *** Gadis itu membuka mushaf Al-Qurannya. Membaca dengan nada khas. Nada yang...