Prolog

63K 2.7K 76
                                    

Tahun 2012...

Matahari menunjukkan kehangatannya melalui sinarnya pagi ini. Embun menunjukkan kesegarannya melalui setiap tetesnya pagi ini. Sementara aku, menunjukkan kegelisahanku melalui derap langkahku pagi ini. Derap langkah yang terburu-buru menuju gerbang utama sekolahku yang akan segera ditutup. Gara-gara salah naik angkot dan terpaksa turun di perempatan jalan, aku jadi berlari 400 meter dari sekolahku.

  Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Jam yang berwarna sebiru langit pagi itu menunjukkan pukul 06.55. Masih ada waktu lima menit untuk menempuh jarak ke sekolahku yang tinggal beberapa meter lagi.

  Aku berhenti dan mengembuskan napas kecewa setelah melihat gerbang itu telah tertutup rapat. Di sana telah berdiri Pak Dedi sang satpam yang siap menjaga pintu gerbang selama 24 jam nonstop.

  "Lha.. Kok gerbangnya udah ditutup sih pak?" Aku bertanya bingung.

  "Wong belnya sudah berbunyi, ya ditutup," jawab Pak Dedi dengan tegas dan medhok. (maklum, orang Jawa tulen).

  "Tapi di jam saya masih jam tujuh kurang lho, Pak?"

  "Ya itu karena jam kamu dholog. Lelet," kata satpam itu menatapku lekat-lekat.

  "Terus gimana dong, Pak?" Aku bertanya. Dahiku berkerut bingung.

  "Ya balik sana!" jawab Pak Dedi singkat.

  "Yah... Kok pulang sih, Pak?" Aku merengek.

  "Atau kamu masuk, tapi harus dihukum." Pak Dedi memberikan toleransi. Toleransi yang tentunya selalu ia tawarkan kepada siapa saja yang datang terlambat.

  "Hukumannya apaan, Pak?" Aku bertanya dengan antusias.

  "Ya saya bicarakan dulu dengan yang bersangkutan."

  Aku berfikir sejenak sebelum mengambil keputusan. Tak perlu lama-lama aku langsung menjatuhkan pilihan.

  "Ya udah deh Pak, aku masuk aja. Nggak papa dihukum juga," jawabku pasrah.

  "Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar!" Satpam itu lalu masuk ke dalam pos Scurity, mengambil buku yang berisi data siswa yang terlambat datang ke sekolah lalu segera kembali menghampiriku. "Siapa nama kamu?" tanyanya kemudian.

  "Stella Pak." Aku menjawab dengan jujur. "Stella Anindita."

  "Kelas?" Beliau bertanya sambil mencatat namaku di buku yang ada di tangannya.

  "XI IPA1." Aku kembali menjawab dengan jujur. Kalau soal ini, aku tidak berani untuk berbohong. Pertama, karena takut dosa. Kedua, takut kualat karena membohongi orang tua. Dan yang ketiga, kalau sampai aku ketahuan berbohong,pasti urusannya akan semakin ribet untuk ke depannya.

  Setelah Pak Dedi mencatat nama dan kelasku, beliau kemudian membuka gembok yang mengunci pintu gerbang lalu mempersilakanku untuk masuk. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menghambur ke arena sekolah dan berlari menuju ke kelasku yang cukup jauh dari pintu gerbang dan terletak di lantai dua gedung selatan.

STELLA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang