Tiga puluh menit sudah aku berdiri di sini. Menunggu kepastian akan hilangnya sepasang sepatu milikku. Sepasang sepatu yang aku yakin disembunyikan oleh cowok kurang ajar yang bernama Steve itu. Namun selama tiga puluh menit aku berdiri di parkiran sekolah ini, tak juga kutemukan sosok cowok itu.
Dapat kurasakan sepinya area parkiran ini. Karena hampir semua siswa mungkin sudah pulang dari sekolah. Kulihat satu persatu kendaraan yang diparkir di tempat ini mulai beranjak meninggalkan lingkungan sekolah. Kecuali mobil itu, mobil jeep yang bercat merah tua dan beberapa kendaraan lainnya. Aku tahu mobil merah itu milik Steve karena aku sering melihatnya mengendarai mobil itu. Jadi dengan adanya mobil itu di parkiran, aku yakin bahwa saat ini cowok itu masih berada di lingkungan sekolah ini.
Rasa jenuh mulai menjalari pikiranku. Berdiri di sini sendirian hanya untuk menunggu cowok menyebalkan itu. Andai saja aku tak kehilangan sepatu itu,maka takkan sudi aku berlama-lama menunggunya di sini.
Di tengah-tengah kejenuhan yang menemaniku, tiba-tiba aku teringat saat jam pelajaran terakhir yang baru saja kulewati. Aku masuk ke kelas tanpa menggunakan alas kaki, dan tentu saja itu menjadi bahan tertawaan semua teman-teman sekelasku. Aku juga teringat saat aku keluar dari ruang seni dan pusing mencari sepasang sepatuku yang tidak ada di tempat semula aku meletakkannya. Berhubung bel telah berbunyi, jadi aku memutuskan untuk masuk ke kelas tanpa bersepatu. Dan itulah sebabnya aku berdiri di sini sekarang ini.
Aku tersadar dari lamunanku ketika aku melihat sosok seorang cowok tinggi yang memakai sweater abu-abu gelap menghampiri mobil merah itu. Tidak salah lagi, itu pasti Steve. Dia mengenakan sweater itu untuk menutupi seragamnya yang kotor karena aku. Dan tanpa membuang waktu lagi, aku segera melangkah menghampirinya.
"Mana sepatu gue?" Aku bertanya langsung tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Cowok itu menoleh ke arahku yang berdiri di belakangnya. "Sepatu?" Ia bertanya. "Ngomong apa sih lo? Nggak ngerti gue," lanjutnya cuek.
"Udah deh, nggak usah pura-pura bego! Gue tau kok, lo kan yang udah nyembunyiin sepatu gue?"
"Oooh.. Sepatu lo yang kotor dan bau itu?" Benarkan tebakanku, kalau cowok ini yang telah menyembunyikan sepatuku.
"Diem lo! Nggak usah komentar apa-apa tentang sepatu gue!" Aku marah dan tidak terima akan ucapannya yang telah menghina sepatuku. "Mendingan sekarang lo kasih tau, di mana lo sembunyiin sepatu gue!"
"Tuh!" Steve berkata pendek sambil mengangkat jari telunjuknya. Tentu aku langsung mengarahkan pandanganku mengikuti ke mana arah jari telunjuk itu tertuju. Jari telunjuk itu tertuju pada puncak pohon flamboyan yang tumbuh di depan ruang seni dan dapat terlihat dari parkiran. Dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat sepasang sepatuku yang tergantung di puncak pohon itu. Aku dapat melihatnya karena warna sepatuku biru dan terlihat mencolok di antara bunga-bunga pohon flamboyan yang berwarna jingga kemerahan itu.
"Kok bisa ada di situ?" Aku bertanya, namun belum sempat cowok itu menjawab aku segera melanjutkan kalimatku. "Pasti lo kan yang udah naro sepatu gue di situ? Sekarang ambil tuh sepatu!"
"Ogah," katanya cuek.
"Gue bilang ambil, ya ambil!" Aku pun juga tak mau kalah. karena bagaimanapun caranya, sepatu itu harus kembali ke tanganku.
"Kalo gue nggak mau, gimana?" Ia bertanya dengan santai.
"Ya gue nggak peduli lo mau apa nggak," aku menggeleng. "Yang jelas, sekarang lo mesti ambil tuh sepatu!" Aku menjawab seakan tak peduli.
"Oke. Gue bakal naik ke pohon itu, terus ambil sepatu lo," kata Steve tenang kemudian kusambut dengan senyuman di bibirku.
"Serius?" Aku bertanya tak percaya. "Nggak nyangka gue, kalo lo sebaik itu..."
"Heh. Heh. Heh! Jangan seneng dulu lo, gue belom selesai ngomong!" Senyumanku memudar ketika mendengar kata-kata itu. "Gue bakalan ngambil sepatu lo, tapi dengan satu syarat." Cowok itu melanjutkan dengan disertai senyuman liciknya.
"Iiiihh... Lo kok gitu sih, nggak ikhlas banget nolongin gue." Aku mengomel sendiri. Bibirku mengerucut menandakan bahwa aku sebal padanya.
Tiba-tiba saja ide jail itu muncul di kepalaku. Ide agar cowok itu mau mengambilkan sepatuku tanpa syarat apa pun. "Kalo nggak niat bantuin gue yaudah, gue bisa sendiri kok..." Aku melanjutkan dengan gaya sok bisaku. Padahal pada kenyataannya, boro-boro naik ke atas pohon, naik tangga aja gue gemetaran.
Kakiku melangkah menjauh dari tempat Steve berdiri dengan tujuan akan mengambil sepatuku yang ada di puncak pohon flamboyan setinggi enam meter itu. Dapat kurasakan tampang tak peduli dalam diri Steve sehingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya dan bergegas untuk pulang ke rumah.
Dua meter di belakang mobil Steve, aku berhenti melangkah dan terduduk di tanah untuk memulai aksiku. Bersiap memasang ekspresi kesakitanku dan mulai berteriak.
"Aaaaaaww... Kaki gue... Gila! Kaki gue sakit banget..." Kata-kata itu kuucapkan dengan volume suara sekeras mungkin agar dapat terdengar oleh telinga Steve.
Sementara itu, Steve yang mendengar teriakanku keluar dari mobilnya dan bergegas menghampiriku.
"Aduh... Kaki gue..." Aku merintih berpura-pura kesakitan sambil mengelus-elus telapak kaki kiriku.
"Kenapa lo?" tanya Steve yang kini sudah berada di hadapanku.
"Nggak tau, kayaknya kaki gue keseleo deh."
"Sini biar gue liat!" Ia membungkuk.
"Nggak usah! Nggak usah! Gue bisa kok ngatasin ini sendiri, mendingan lo ambil sepatu gue aja sana!" Aku segera menolak bantuannya.
Cowok itu kembali berdiri lalu tersenyum menatapku. "Bangun lo! Lo pikir gue bakal dengan mudahnya percaya sama sandiwara murahan lo itu, hah?" Ia bertanya kasar.
Aduh... Ini cowok susah banget sih buat dikibulin. Gagal deh semuanya.
"Lain kali, kalo lo mau nipu gue pake ini nih!" Ia mengetuk-ngetuk sisi dahinya dengan jari telunjuknya.
Aku bangkit berdiri karena udah nggak ada gunanya lagi aku berpura-pura sakit. Toh dia juga udah tau kalo aku cuma pura-pura agar ia mau mengambilkan sepatuku. Aku mengibas-ibaskan rok abu-abuku untuk menghilangkan debu dan tanah yang menempel di situ lalu mengalihkan pandanganku ke kedua bola mata milik Steve.
"Ya udah! Syaratnya apaan?"
Steve tak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu menyentuh pipi kanannya dengan jari telunjuknya. Tanda bahwa syaratnya aku harus mencium pipinya terlebih dahulu. Ckck.. Kurang ajar nih cowok. Aku berdecak dalam hati.
"Oh, lo mau gue tampar? Sini!" Aku mengangkat tangan dan bersiap untuk menamparnya. Namun ia menangkis tanganku dan menggagalkan usahaku untuk menamparnya.
"Apaan sih lo? Bukan itu maksud gue, bego!"
"Terus maksud lo apa?"
"Lo serius nggak ngerti maksud gue?"
Aku menggeleng, berpura-pura tidak mengerti maksudnya.
"Maksudnya, lo mesti cium gue dulu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA [Completed]
Teen FictionDance. Begitu banyak hal yang membuat Stella akhirnya membenci satu kata itu. Salah satunya adalah ketika ibunya yang ingin menjadi dancer professional itu, mendapatkan tawaran untuk pergi ke Paris demi meraih cita-citanya. Kala itu, Stella baru ber...