Aku hanya duduk diam di samping Meta. Satu porsi ketoprak yang kini tersaji di hadapanku tidak kusentuh sedikit pun. Pandanganku lurus ke depan, kosong dan tanpa fokus pada suatu apa pun. Aku duduk tegak dengan tangan kiri yang menopang daguku sementara tanganku yang lain hanya dapat memutar-mutar sedotan dalam gelas yang berisi es teh di dalamnya.
"Lo nggak makan, Stell?" tanya Meta setelah ketoprak yang ia pesan telah habis dilahapnya.
Aku menggeleng lemas, "Kalo lo mau, makan aja!" Aku menggeser piring berisi ketoprak yang kupesan itu hingga berada di depan Meta.
"Ogah ah, gue udah kenyang."
"Oooh..."
"Eh, liat deh! Itu Steve kan?" tanya Meta dengan pandangannya yang mengarah ke pintu kantin. Dan ketika aku ikut melirik, aku juga dapat melihat kedatangannya.
Steve berjalan santai menuju ke tempat yang biasa ia dan teman-temannya tempati. Di sudut utara kantin yang dekat dengan jendela. Kulihat di sana teman-temannya telah berkumpul dan menyambutnya dengan antusias.
"Oke. Sekarang gue bakal labrak tuh cowok. Lo mau ikut apa nggak?" Aku bangkit berdiri dari tempat dudukku kemudian diikuti oleh Meta yang juga bangkit dari tempat duduknya.
"Berhubung gue sahabat yang baik, gue ikut sama lo!" Ia menjawab dengan semangat empat-limanya. "Lagian kapan lagi coba, gue bisa ngeliat cowok-cowok cakep itu dari deket kalo nggak sekarang. Ia nggak?" Tanyanya kemudian dilanjutkan dengan cekikikan ala Meta.
"Dasar lo! Emang si Rangga mau dikemanain?" Aku bertanya menggodanya.
"Ya Rangga kan kalo malam minggu. Kalo sekarang beda lagi, Say.." Ia kemudian tertawa lepas. Membuatku akhirnya ikut tertawa bersamanya.
"Ya udah ah, buruan!" Aku meraih es teh yang ada di meja dan meminumnya hingga tak tersisa kemudian menyeret lengan Meta dengan paksa.
Aku bergegas menuju ke tempat Steve dan teman-temannya berkumpul. Aku berjalan di depan, sementara Meta hanya mengekor di belakangku. Fokus pandanganku tertuju pada cowok berseragam putih abu-abu yang duduk membelakangiku. Steve tentunya. Siapa lagi kalau bukan dia.
Aldo. Salah satu teman Steve yang ikut berkumpul bersamanya sepertinya menyadari kedatanganku. Ia kemudian memberi isyarat agar Steve berbalik badan. Dengan isyarat itu, Steve akhirnya menoleh ke belakang dan melihatku tengah berjalan menuju ke tempatnya.
Cowok itu kemudian mengganti posisi duduknya. Berbalik badan, dan membelakangi meja panjang yang sebelumnya ada di depannya. Ia menyambut kedatanganku dengan tersenyum menyeringai dan menatapku lekat-lekat.
Aku yang kini telah berada di depannya segera menyemprotnya dengan api kemarahan yang ada di diriku. Aku sudah tak peduli lagi dengan semua siswa yang ada di kantin ini. Entah mereka semua memperhatikanku atau tidak, aku tak peduli. Benar-benar tak peduli!
"Heh! Lo kalo punya mulut tuh dijaga coba!" Aku mulai bicara. Sedikit keras karena didorong rasa emosi yang semakin membakar hatiku. "Ember banget sih jadi cowok."
Steve hanya menanggapi ucapanku dengan senyum yang terlukis sempurna di bibirnya."Sekarang gue tanya, mulut, mulut siapa?" Raut wajahnya kini berubah menjadi serius dengan tatapan yang masih terfokus padaku. "Mulut gue kan? Jadi ya, terserah gue dong! Masalah gitu buat lo?"
"Ya masalah banget buat gue. Coba aja kalo lo bisa jaga tuh mulut, semuanya nggak mungkin jadi kayak gini."
"Coba aja kalo kemaren lo maafin gue, semuanya juga nggak bakal jadi kayak gini." ucapnya dengan tenang namun serius.
Aku menarik napas panjang dan kembali melanjutkan aksiku untuk melabrak cowok yang ada di depanku ini. Sementara Meta yang berdiri di sisiku hanya diam dan mencoba untuk menjadi pendengar yang baik. Sebenarnya nggak ada gunanya juga aku ajak dia ke sini, kalau hanya untuk diam dan mendengarkan tanpa bisa membantu sedikit pun.
"So, sekarang mau lo apa?" Aku bertanya dan menatapnya serius. "Lo mau gue sengsara, gue udah sengsara. Lo mau gue malu, gue juga udah malu. Lo mau gue nangis, kemaren gue udah nangis di depan lo. Atau lo mau gue marah, sekarang gue lagi marah. Apa lagi yang lo mau dari gue, hah?"
Steve bangkit berdiri sehingga kini kami saling berhadapan. Kepalanya sedikit menunduk untuk dapat melihat ekspresi wajahku. Itu semua karena posturtubuh Steve memang lebih tinggi dari aku. "Gue mau lo maafin gue!" jawabnya singkat.
"Oh.. Jadi gini cara lo minta maaf?" Aku bertanya padanya. Aku teringat akan permintaan maafnya kemarin sore yang begitu tulus dan sangat berbeda dengan sekarang ini. "Asal lo tau ya, kalo gini cara lo minta maaf, sampe kapanpun juga gue nggak bakal mau maafin lo!"
"Kalo gitu lo siap-siap aja buat gosip-gosip lain yang pastinya bakal lebih hot dari hari ini!" Ia tersenyum menyeringai. Menampakkan deretan gigi-giginya yang putih dan tersusun rapi. "Asal lo tau, gossip yang hari ini beredar, itu baru permulaan!"
"Gue-nggak-takut!" Aku berkata singkat, padat dan jelas. Kemudian menyeret Meta untuk kembali ke kelas karena waktu istirahat akan segera berakhir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA [Completed]
Teen FictionDance. Begitu banyak hal yang membuat Stella akhirnya membenci satu kata itu. Salah satunya adalah ketika ibunya yang ingin menjadi dancer professional itu, mendapatkan tawaran untuk pergi ke Paris demi meraih cita-citanya. Kala itu, Stella baru ber...