Aku berjalan santai menaiki satu persatu anak tangga yang ada di depanku. Suasana di sekolah belum terlalu ramai karena waktu baru menunjukkan pukul 06.35. Aku sengaja datang ke sekolah lebih awal karena takut kejadian yang kemarin kualami akan kembali terulang. Aku tak mau terlambat lagi, aku tak mau dihukum lagi, seakan-akan aku begitu trauma dengan kedua hal itu.
Entah ini benar atau hanya perasaanku saja, tapi yang jelas aku merasa aneh dengan pagi ini. Aku merasa seakan-akan semua orang memperhatikanku sejak aku berada di gerbang depan hingga sekarang aku di ujung tangga menuju ke kelasku. Seakan-akan semua mata itu tertuju padaku, memandang jijik pada diriku. Namun akhirnya aku berhasil meyakinkan diriku bahwa semua itu hanya perasaan biasa yang tiba-tiba saja terlintas dalam benakku.
"Stell... Tunggu!" Suara itu berasal dari ujung tangga bawah. Suara yang familiar di telingaku karena sering sekali aku mendengar suara halus dan renyah itu. Refleks mendengar namaku disebut, aku langsung menoleh ke sumber suara tersebut.
Aku melihat Meta, teman sebangku sekaligus teman curhat dan juga teman masa kecilku bergegas menaiki satu demi satu anak tangga yang baru saja kulalui. Aku berhenti melangkah dan tersenyum ke arah sahabatku itu.
"Stell.. Gue mau tanya sama lo," kata Meta setelah ia sampai di sebelahku. Pandangannya lurus ke wajahku. Kali ini dia begitu serius, membuatku tak bisa lagi menahan tawa karena melihat ekspresi serius itu dari wajah cantiknya.
Aku tertawa di hadapannya. Inilah salah satu faktor kenapa aku begitu suka berada di sekolah. Karena di situ ada Meta. Karena aku bisa tertawa sepuasnya tanpa harus memikirkan kehidupan nyataku, kehidupan rumahku yang membosankan, dan juga dapat melupakan sejenak kejadian menyakitkan yang kemarin aku alami.
"Stell, ayolah... gue lagi serius nih." Ia merengek atau dengan kata lain memintaku untuk berhenti tertawa.
"Iya.. Iya.." Aku menarik napas panjang untuk mengakhiri tawaku. "Lo mau nanya apa?"
"Tapi lo janji ya, lo harus jawab dengan jujur!" katanya tegas.
Aneh. Ada apa dengan gadis ini? Tidak biasanya ia seperti ini. Mendadak serius dan sifat humorisnya mendadak hilang begitu saja. Kembali ke pertanyaannya. Aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan mengangguk sesekali.
Meta menyeretku ke bangku panjang yang ada di depan kelas kami. Ia duduk di bangku itu begitu pula denganku. Aku ikut duduk di sebelahnya yang tak henti-hentinya terus memandangiku. Sementara pandanganku berkeliling ke bawah dan tertuju pada lapangan basket yang tak berpenghuni.
"Gini Stell.." Meta memulai pertanyaannya. "Gue denger, katanya kemaren lo ciuman sama Steve di belakang sekolah." Ia mengungkapkannya secara perlahan-lahan.
Deg. Jantungku berdetak kencang ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut Meta. Dari mana dia tau akan hal itu?"Lo.. Lo denger gossip itu dari siapa?" Aku bertanya menyelidik.
"Yaelah Stell... Asal lo tau ya, gossip ini tuh udah terdengar ke telinga semua siswa kelas sebelas," katanya masih terus memandangku.
Tubuhku bergetar mendengar penjelasan Meta. Wajahku pucat pasi dibuatnya. Bagaimana gossip itu bisa menyebar secepat ini?
Aku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Aku malu. Dan ternyata yang kurasakan mengenai semua mata yang sedang memperhatikanku itu benar adanya. Pasti mereka sedang menjelek-jelekan aku. Menyangka bahwa aku adalah perempuan murahan. Perempuan paling hina di dunia ini. Ya Tuhan.. Cobaan apa lagi sih ini?
"Sekarang pertanyaannya, gossip itu bener apa nggak?" Pertanyaan Meta mengagetkanku. Sekarang apa yang harus aku jawab? Mengingat bahwa aku telah berjanji pada Meta untuk berkata jujur, jadi aku memutuskan untuk menceritakan semua itu padanya.
"Sebenarnya.. Bukan di belakang sekolah. Tapi di bawah pohon palem depan ruang seni." Aku berkata sepelan mungkin agar tak ada orang yang dapat mendengar suaraku selain kami berdua.
"Jadi lo beneran ciuman sama Steve?" tanya Meta kaget. Tanpa disadari, saking kerasnya suara itu sehingga menarik perhatian cewek-cewek yang berjalan di sekitar kelas kami. Otomatis mereka menoleh ke arah kami, menatapku sejenak dan kemudian berlalu begitu saja.
"Aduh Meta... Lo jangan keras-keras dong ngomongnya!" seruku sedikit terlambat karena semuanya sudah terjadi.
"Udahlah... Toh semuanya juga udah pada tau kan?" Ia kembali bertanya. "Lagian jahat banget sih lo jadi temen. Lagi deket sama cowok kok nggak ngenalin ke gue? Gue pecat jadi temen baru tau rasa lo!" Ia mengomel sendiri.
"Semuanya tuh nggak seperti yang lo pikirin, Meta sayang.." Aku menatapnya lekat-lekat dan mulai menceritakan kejadian yang kualami kemarin. Mulai dari kejadian di ruang seni hingga ke klimaksnya yaitu saat Steve mencuri ciuman pertamaku.
Meta dengan serius mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulutku. Berbagai ekspresi muncul bergantian di wajah cantiknya. Mulai dari penasaran, tegang, kaget, nggak nyangka dan akhirnya ikut terharu merasakan semua penderitaan yang tengah kualami saat ini.
"Stell.. Lo yang sabar ya, gue yakin lama kelamaan gossip ini bakalan hilang dengan sendirinya kok," katanya setelah aku selesai bercerita panjang lebar. Tangan halusnya memeluk erat bahuku. Tanda bahwa ia akan selalu bersamaku dan tak akan berhenti untuk menyemangatiku.
Namun aku mengelak dan membulatakan tekad. "Nggak! Gue nggak bisa diem aja kayak gini Met! Gue mesti labrak tuh cowok!" Aku bangkit berdiri dan berkata dengan mantap.
"Oke. Kalo itu keputusan lo, gue setuju." Ia tersenyum dan ikut berdiri di sampingku.
Emosiku mereda ketika kulihat sosok cowok tampan itu semakin mendekat ke arahku saat ini. Dia adalah Andhika, cinta pertamaku. Ruang kelasnya paling ujung, yaitu kelas XI IPA5. Karena ruang kelasku yang paling dekat dengan tangga, jadi mau tak mau ia harus melewati kelasku dulu untuk menuju ke ruang kelasnya. Benar-benar suatu keberuntungan bagiku.
Pandangannya lurus ke depan sementara pandanganku tak bisa berpaling sedikit pun dari wajahnya. Namun akhirnya Tuhan mengizinkan kami untuk saling menatap. Pandangan kami bertemu pada suatu titik yang tentu saja takkan kusia-siakan kesempatan ini. Aku tersenyum semanis mungkin dan melambaikan tangan kepada cowok itu. Namun tak ada respon darinya, ia hanya berlalu dan tak menganggapku ada.
Sudah lebih dari satu tahun aku terus melakukan hal itu. Tersenyum dan melambaikan tangan saat berpapasan dengannya kapan pun dan dimana pun. Namun respon yang kudapat selalu sama. Ia tak pernah menganggapku ada.
"Menurut lo dia cemburu nggak, denger gossip kalo gue ciuman sama cowok lain?" Aku bertanya pada Meta, sementara pandanganku masih mengekor di belakang sosok Andhika yang semakin menjauh.
"Sampe kapan sih lo mau kayak gini terus, Stell?" Meta bertanya putus asa.
"Sampai dia sadar, bahwa akulah satu-satunya cewek yang mencintainya lebih dari siapa pun di dunia ini." Aku menjawab dengan seyakin-yakinnya.
Meta hanya dapat menarik napas panjang dan berat karena melihat kelakuanku. "Hellooo... Bangun. Bangun. Bangun!!" Seru Meta sambil menepak-nepak kedua pipiku, "Mimpi mulu! Nyadar nggak sih lo, tuh cowok sama sekali nggak peduli sama lo?" Aku hanya terdiam dan tak menjawab pertanyaannya. Hingga akhirnya ia kembali mengoceh dan mengoceh.
"Move on Stell.. Move on!" Entah sudah berapa kali ia mengucapkan kata itu semenjak aku putus dengan Andhika. Eits, bukan putus. Andhika tak pernah mengucapkan kata putus, dan begitu pula denganku. Ia hanya menjauh dariku dan memulai hubungan baru dengan Renata, si cewek centil menyebalkan itu. Jadi apa status resmi antara aku dengan Andhika? Mantan? Atau masih resmi menjadi sepasang kekasih? Bingung kan? Jangankan kamu yang nggak tau apa-apa, aku sendiri aja bingung.
"Gue yakin, kalo lo mau membuka hati buat yang lain, pasti deh banyak cowok yang ngantri buat jadi pacar lo, Stell... Cowok yang pastinya lebih baik dari Andhika. Lebih care dan lebih sayang sama lo. Percaya deh sama gue!" ucap Meta dengan tulus. Tapi aku tak peduli. Karena sampai kapan pun, hanya akan ada satu cowok yang dapat mengisi hatiku. Dan cowok itu adalah Andhika, hanya Andhika, dan akan selalu Andhika.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA [Completed]
Teen FictionDance. Begitu banyak hal yang membuat Stella akhirnya membenci satu kata itu. Salah satunya adalah ketika ibunya yang ingin menjadi dancer professional itu, mendapatkan tawaran untuk pergi ke Paris demi meraih cita-citanya. Kala itu, Stella baru ber...