Bab Dua (Next Part)

22.9K 1.8K 53
                                    



  "Maksudnya, lo mesti cium gue dulu!"

  "APPAAAA?" Aku berteriak heboh dan berpura-pura kaget mendengar kalimatnya. "Gue? Cium lo?" Aku lalu tersenyum mengejeknya. "Nggak usah ngiimpi deh lo! Sampe kiamat juga gue nggak bakal mau cium lo. Najis!"

  "Ya udah. Gue pulang." Steve berbalik badan dan berjalan menuju ke tempat di mana mobilnya diparkir. Aku lalu mengekor di belakangnya.

  "Hah? Nggak boleh! Enak banget lo mau lari dari tanggung jawab gitu aja." Aku mengomel namun tak diperdulikan olehnya. Kupercepat langkahku  sehingga dapat menyalipnya. Kutarik dasi abu-abu yang melingkar di lehernya lalu kuseret dia dengan sekuat tenagaku menuju ke pohon di mana sepatuku tergantung di puncaknya.

  "Heh! Gila lo, liar banget sih jadi cewek. Lepasin gue!"

  "Ogah." Aku menjawab sambil terus menyeretnya.

  "Kalo gini terus, gue bisa mati, bego!"

   "Hahaaa... Nggak usah lebay deh lo!"

  "Lepasin gue, atau gue bakal kasar sama lo!" Ia berkata dengan memberikan penekanan di setiap katanya. Tapi aku tak perduli. Aku terus menyeretnya hingga jarak yang tersisa tinggal beberapa meter lagi dari tempat yang kutuju.

  "Gue nggak akan lepasin lo, sebelum lo amb—" Kalimatku terputus ketika aku mendapati tangan kanan cowok itu bertumpu dan memegang erat pohon palem di belakangnya. Kutarik dasinya sekuat tenagaku sementara dia pun berusaha tetap bertumpu pada pohon palem yang ada di belakangnya. Dan tentu saja tenaganya jauh lebih kuat dari tenagaku sehingga membuatku terhempas ke depan dan mendarat di pelukannya.

  Kedua bola mata kami saling bertatapan seperti kejadian di ruang seni tadi. Kembali dapat kurasakan detak jantung serta hembusan napasnya karena tak ada jarak lagi yang memisahkan kita berdua. Namun berbeda dengan kejadian tadi siang saat kurasakan detak jantungnya yang normal dan tenang, kali ini jantungnya berdetak lebih cepat dan tak beraturan. Begitu pula dengan detak jantungku yang semakin tak menentu.

  Aku tersadar ketika tiba-tiba bibir Steve menyentuh, menekan dan mengecu phalus bibirku. Mataku terbelalak, sementara matanya terpejam dengan tenang. Hangat bibirnya begitu terasa di ujung bibirku. Namun dengan segera aku tersadar bahwa ini semua tidak boleh terjadi.

  Aku dorong tubuh Steve, lalu aku sendiri mundur selangkah dari posisiku sebelumnya. Aku terdiam. Shock menyadari kejadian yang baru saja aku alami bersama Steve.

  Apa yang telah kami lakukan? Bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan itu bergantian dan terus menerus hadir dalam pikiranku.

  Entah telah berapa lama aku melamun, dan tanpa kusadari tiba-tiba Steve sudah berada di depanku dengan menenteng sepasang sepatuku di tangan kirinya.

  "Nih, sepatu lo udah gue ambil." Ia menjatuhkan sepatuku di depan tempatku berdiri. Sementara aku masih berdiri dengan tatapan kosong lurus ke depan.

  "Hey! Kenapa sih lo? Sakit?"

  "Tadi itu..." Aku mulai berkata perlahan. "Bibir lo, sama bibir gue..." Terdapat getaran dalam kalimatku yang terpotong-potong.

  "He'em." Steve mengangguk, mengerti akan maksud kalimat yang tidak sempat kuteruskan.

  "Berarti kita ciuman dong?"

  "Ya bisa dibilang gitu," jawab Steve dengan disertai senyuman.

  "Nggak. Nggak mungkin!" Aku membantah. "Gue nggak mungkin ciuman sama lo."

  "Ya udahlah, terima aja! Kenyataannya kan kita ciuman?"

  "Diem lo! Di antara kita nggak terjadi apa-apa. Nggak pernah, dan nggak akan pernah terjadi apa-apa!" Aku meyakinkan diriku sebisa mungkin bahwa tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan Steve.

STELLA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang